EkonomiOpini

Petani Miskin Nikmati Keadilan Melalui Kebijakan Perhutanan Sosial

NusantaraNews.co – Satu kebijakan pembangunan era Presiden Jokowi sangat pro rakyat miskin adalah Perhutanan Sosial (PS). Tetapi, atas dalih kepentingan lingkungan, ada saja kelompok orang menolak bahkan berupaya membatalkan kebijakan pro rakyat miskin ini secara hukum.

Prakarsa dan konsep kebijakan Perhutanan Sosial sebenarnya bukan hal baru. Pada tahun 1972, era Presiden Soeharto, prakarsa dan konsep idealis ini sudah muncul. Baru era Jokowi prakarsa dan konsep ini lebih dioperasionalkan dengan regulasi untuk tingkat nasional, yakni Permen Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No.P. 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Tujuan Perhutanan Sosial adalah menjadikan hutan mensejahterakan rakyat, bermakna menyatukan kembali masyarakat dengan alam dan budaya mereka dengan tetap memperhatikan pengelolaan hutan lestari. Ada 30 ribu desa di sekitar dan di dalam hutan yang memerlukan pendekatan ini.

Pendekatan Perhutanan Sosial ini merupakan salah satu bagian dari tiga pilar kebijakan pemerataan ekonomi yakni mengurangi kondisi ketimpangan penguasaan lahan yang tidak adil menuju kondisi lebih adil. Kebijakan Perhutanan Sosial berlaku di seluruh Indonesia. Khusus di Pulau Jawa disempurnakan ketatalaksanaan berdasarkan kondisi lapangan dengan Permen LHK No.P.39 Tahun 2017 ttg Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Permen LHK ini dimaksudkan untuk memberikan pedoman dalam pelaksanaan perhutanan sosial di wilayah kerja Perum Perhutani. Tujuannya, memberikan IPHPS (Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial) kepada masyarakat dan petani miskin untuk memanfaatkan kawasan hutan di wilayah kerja Perum Perhutani guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kelestarian hutan.

Sasaran kebijakan di Pulau Jawa ini adalah petani miskin tinggal di sekitar atau di dalam areal kerja Perhutani, tidak memiliki tanah atau paling luas kurang 0,5 Ha. Setiap KK akan mendapatkan IPHPS ini maksimal 2 Ha. Status hukum tanah hutan itu dipinjamkan, bukan dibagi-bagi apa lagi dimiliki petani penerima IPHPS. Lama waktu IPHPS 35 tahun, dievaluasi oleh Pemerintah 5 tahun sekali. Dalam proses evaluasi ini sangat ditentukan Pemerintah dalam hal ini Kementerian LHK. Perum Perhutani sendiri tidak memiliki peran berarti dalam menentukan dilanjutkan atau tidak pemegang IPHPS.

Disamping menerima IPHPS, petani miskin ini juga mendapatkan pendampingan, bantuan bibit, pupuk, teknologi, dan juga kredit perbankan. Negara hadir di tengah2 masyarakat IPHPS membantu sepanjang implementasi kebijakan ini.

Baca Juga:  Sokong Kebutuhan Masyarakat, Pemkab Pamekasan Salurkan 8 Ton Beras Murah

Permen LHK No. P.39 Tahun 2017 ini akan menimbulkan dampak positif terhadap kondisi dan kualitas keadilan sosial bagi masyarakat miskin di sekitar dan di dalam wilayah kerja Perum Perhutani di Pulau Jawa. Permen LHK ini akan menciptakan keadilan sosial bagi petani miskin yang selama ini tanpa lahan atau dapat memanfaatkan lahan hanya maksimal 0,5 Ha menjadi dapat memanfaatkan lahan 2 Ha. Ada perubahan struktur pemanfaatan lahan untuk sumber mata pencaharian masyarakat atau petani miskin di Pulau Jawa.

Dampak positif ini sungguh sesuai dengan amanat kemerdekaan rakyat Indonesia sebagaimana tertuang di dalam Pembukaan dan UUD 1945. Disebutkan: Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Juga di UUD 1945, Pasal 33,menyebutkan: Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara (Ayat 2). Selanjutnya: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Ayat 3).

Baca Juga:  Bupati Nunukan Serahkan Bantuan Sosial Sembako

Melalui Permen LHK ini Pemerintah membuat petani miskin semakin banyak dapat memanfaatkan tanah hutan negara 2 Ha.

Disamping itu, dengan diizinkan petani miskin memanfaatkan tanah negara 2 Ha, maka terjadi peningkatan martabat dan harga diri keluarga petani miskin. Secara psikologis, mereka merasa jauh lebih aman dan bermartabat karena punya tanah 2 Ha untuk dimanfaatkan hingga level anak2.

Dampak positif kebijakan perhutanan sosial di Pulau Jawa ini dapat menjadi pertimbangan bagi semua pihak berkepentingan dengan pengelolaan hutan lestari. Bagi penolak dan pemohon pembatalan secara hukum kebijakan perhutanan sosial ini sungguh tak beralasan. Mengapa? Karena kebijakan ini pro rakyat miskin dan meningkatkan kondisi keadilan sosial bagi petani miskin.

Penulis: Ramli Kamidin (Aktivis ILUNI dan Lembaga Komunikasi Informasi Perkotaan)

Related Posts

1 of 11