OpiniRubrika

Pesimisme dan Optimisme Umat di Tahun Politik

FUI gelar Aksi 212/Foto Andika/Nusantaranews
FUI gelar Aksi 212/Foto Andika/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO – Optimisme umat di tahun politik belum berkesebangunan dengan perubahan. Kondisi faktual ini jelas tergambar pada kematangan politik umat. Seringnya umat masih pada jalan emosional di tahun politik. Akibatnya, mudah ditelikung penumpang gelap di tikungan tajam.

Di sisi lain, pesimisme terkait perubahan dari umat tergambar dengan sikap apolitik. Umat sudah jengah dengan sikap politisi yang culas, rakus, dan korup. Meski ada beberapa politisi yang bersama rakyat, tak lantas menghapus memori umat. Pesimisme perubahan menuju kehidupan lebih baik, dikarenakan orang dan sistem yang digunakan untuk perubahan tidak berkesesuaian dengan fitrah manusia.

Baca Juga:

Dalam rangka membedah pesimisme dan optimisme umat (Islam), ada beberapa faktor pendukung yang dijadikan hipotesa. Perihal pesimisme dan optimisme ini merupakan dua hal beriringan di tengah demokratisasi yang menemui kegagalan di negeri-negeri Islam. Begitu pun, politik demokrasi bukanlah sistem terbaik. Malahan sistem terburuk di antara sistem politik yang pernah diterapkan di negeri ini. Pasalnya, demokrasi secara ide bertumpu pada rakyat. Rakyat sekadar diwakili segolongan dan kebijakannya pun senantiasa jauh dari aspirasi umat.

Pesimisme Umat

Umat dan rakyat sadar, penguasa yang sering mengklaim berdiri di atas semua golongan, tampaknya jauh dari harapan. #2019GantiPresiden pun ditanggapi dengan pernyataan sumir. #2019GantiPresiden direspon beragam, mulai makar, tak konstitusional, dan upaya kriminalisasi melalui alat-alat negara. Kaos #2019GantiPresiden akhirnya memunculkan kaosphobia.

Baca Juga:  Wabub Nunukan Resmikan Resort D'Putri Pulau Sebatik

Pemimpin yang diharapkan kearifannya dalam merespon sikap politik umat, tak jua menunjukan itikad baik. Bukankah selama ini penguasa mengklaim sebagai demokrat sejati? Artinya siap dikritik dan dirubah sesuai kehendak rakyat? Serta siap ketika rakyat menuntut perubahan dan pergantian pemimpin.

Respon fatal sikap politik dan menjadi blunder bisa diamati pada tahun 2016-2017. Aspirasi umat yang merupakan bentuk koreksi dianggap ditunggangi kepentingan politik, makar, dan menggulingkan presiden. Aksi 212 dan lanjutannya bisa menjadi bukti, serta ada upaya kriminalisasi. Puncaknya 2017 pencabutan SK BHP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh kemenkumham. Pencabutan SK BHP yang lebih dipenuhi unsur politik, bukan hukum.

Dua hal itulah yang akhirnya umat menyimpulkan bahwa pesimis jika 2019 dipimpin dengan sikap pemimpin yang tak pro rakyat. Gambaran sikap itu seperti demokrasi proletar seperti kacamata dalam komunisme. Sistemnya demokrasi dan kebijakannya terasa mendzalimi rakyat dan umat.

Sikap pesimisme umat di tahun politik ini bisa diamati dalam beberapa hal. Pertama, sikap di media sosial. Banyak status ataupun komentar yang menyudutkan pemimpin. Tatkala Presiden disamakan dengan Umar bin Khattab, netizen ramai merespon dengan alasan masing-masing. Penyamaan dua orang yang tidak sebanding. Begitu ketika Presiden menaiki sepeda motor cooper. Netizen ramai menyebut dengan istilah Dilan. Tak tanggung-tanggung kreatifitas meme berupa gambar yang merespon.

Baca Juga:  Polisi di Sumenep Bantu Warga Dorong Kendaraan Terjebak Banjir

Kedua, sikap di kehidupan sosial. Rakyat sebagai obyek penderita kebijakan sering merasakan dan mengeluh. Respon yang dilakukan pejabat sebagai pihak yang mengrusi umat sering menyakiti perasaan rakyat. Semisal, beras mahal di pasaran, malah bilang tawar aja! Cacing di kaleng makarel, malah bilang cacing mengandung protein.

Rakyat dalam percakapannya sudah tak sabar ingin ganti pemimpin baru. Hal ini wajar sebagai bentuk umpan balik dan respon. Jadi, pejabat jangan merasa lebih tahu dalam urusan publik dan politik. Hindari sikap merendahkan rakyat dengan kebodohan politiknya. Di sisi inilah, umat kian memiliki kesadaran untuk bangkit dan melakukan perubahan. Pertanda ini akhirnya dimaknai negatif oleh pemerintahan.

Kedewasaan dalam anatomi politik bangsa ini sesungguhnya masih dipertanyakan. Pemerintahan belum menjadi pihak yang mengurusi rakyatnya dengan sempurna. Sementara rakyat dan umat, belum memiliki panduan politik yang sahih.

Optimisme Umat

Umat sebagai entitas manusia menyadari bahwa perubahan sesuatu yang pasti. Ini bukan hal mimpi di siang bolong. Ini perihal optimisme dalam mewujudkan kehidupan lebih bermartabat. Ada indikasi optimisme umat dalam menghadapi perubahan politik.

Pertama, umat kian melirik istilah politik Islam. Banyak masjid yang digunakan untuk pencerdasan politik. Meski pihak lain menyinggung politisasi masjid. Padahal mereka lupa, bahwa upaya pengebirian politik umat adalah bentuk kekalahan intelektual dan sikap kekurangdewasaan politik.

Kedua, demokrasi yang berasas liberalisme, tidak lagi dilirik. Umat sudah paham, sistem politik demokrasi yang dipraktikan mendekati machivellisme. Demokrasi yang sudah di titik nadhir kian diobral untuk dijual. Sikap politik penguasa yang sering undemokartik menambah gumpalan kuat umat untuk meninggalkannya.

Baca Juga:  Alumni SMAN 1 Bandar Dua Terpilih Jadi Anggota Dewan

Ketiga, ada oase keinginan umat untuk kembali kepada syariah dalam bingkai Khilafah. Umat sudah mengindra bahwa inilah masa pemerintahan dikatator di belahan dunia. Di tambah akhir zaman mendekati kiamat. Maka sebagaimana kabar nabinya, akan ada Khilafah at-Tsaniyah sesuai metode kenabian. Keyakinan itu dilandasi oleh keimanan dan fakta kegagalan pemerintahan demokrasi dalam mengurusi umat dan mengabaikan rakyat.

Keempat, umat kian sadar untuk bersatu padu. Kekuatan umat Islam, baik pemikiran ataupun ajaran Islam, menjadi daya dorong menuju perubahan. Umat kini mengabaikan perbedaan dalam urusan cabang. Mereka fokus pada tujuan demi izzul islam wal muslimin.

Memandu Optimisme

Wahai umat yang memiliki optimisme kesadaran perubahan. Niat ikhlasmu haruslah dipupuk dengan iman dan jalan kenabian. Buang jauh-jauh demokrasi palsu itu. Islam telah memiliki seperangkat aturan jelas dan lugas yang mampu menyelesaikan problem kehidupan.

Bakarlah optimisme dengan perjuangan ideologis yang berbasis aqidah Islam. Hindari sikap pragmatisme dan bujuk rayu keduniawiaan. Umat sesungguhnya sudah berdiri di garda terdepan untuk mati demi Islam. Karenanya, jangan korbankan nyawa dan darah mereka sia-sia.

Keinginan perubahan itu pun jangan sekadar emosional. Sekadar ganti presiden atau orang. Harus pula diikuti untuk pergantian pemimpin yang amanah dan bertaqwa. Bersamaan sistem yang adil dan syamil. Itulah syariah Islam.

Penulis: Hanif Kristianto, Analis Politik dan Media

Related Posts

1 of 3,150