Budaya / SeniEsai

Perubahan Sedikit demi Sedikit, dalam Peradaban dan Puisi

– Puisi Esai Provinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo

Apa yang akan terjadi dan akan ada dalam peradaban 100 tahun dari sekarang? Jika pertanyaan ini dijawab oleh leuhur kita seratus tahun lalu, kita tersenyum. Betapa kadang peradaban berkembang secara tak terduga.

Di tahun 1899-1910, sekelompok artis dipimpin pelukis Jean Marc Code membuat lukisan menduga apa yang akan terjadi tahun 2000an, seratus tahun sejak mereka hidup. Kita hidup di tahun 2000an. Segera kita tahu seberapa benar atau salah imajinasi mereka.

Merekapun membuat lukisan dalam kartu membayakangkan apa yang akan terjadi di tahun 2000an, seratus tahun sejak mereka hidup. Ini lukisannya. Di udara, ada manusia seperti capung, menggunakan sayap terbang di udara. Ia bercakap dengan manusia lain juga di udara yang ada di kendaran lain.

Mereka sudah membayangkan akan ada semacam teknologi yang bisa membuat manusia terbang dan saling bercakap. Kita tahu betapa benar prediksi itu. Tapi ada yang tak terbayangkan oleh artis seliar apapun imajinasi mereka.

Benar manusia bisa terbang ke udara, tapi bukan manusia dengan sayap. Berkembang kendaraaan yang kita sebut pesawat. Benar manusia bisa bercakap di udara walau terpisah berbeda kendaraan. Tapi lewat kotak kecil bernama handphone.

Seratus tahun lalu, sehebat apapun imajinasi, manusia tak terbayangkan akan hadir kotak kecil bernama handphone. Lalu melalui kotak kecil itu manusia bisa bercakap jarak jauh, bahkan dengan saling melihat wajah.

Tahulah kita betapa masa depan selalu tak terduga. Apa yang kita kira mustahil, ternyata mungkin. Ini sendiri sudah memberikan kita gambaran. Jangan pernah membatasi diri kita sendiri dalam berimajinasi dan berkreasi. Masa depan adalah lapangan terbuka.

***

Di sisi lain, seliar apapun imajinasi, perubahan di dunia nyata selalu terjadi perlahan: sedikit demi sedikit. Ini yang disebut Karl Popper dengan Piecemeal approach.

Memang ada slogan seperti revolusi, perubahan cepat. Memang ada semacam mutasi, lompatan penemuan yang sangat berbeda dengan sebelumnya. Tapi ini hanya kasus yang sangat, sangat, dan sangat khusus saja.

Peradaban umumnya berjalan dan berubah pelan- pelan saja. Para pembaharu, inovator membawa perubahan sedikit- demi sedikit pada apa yang ada.

Manusiapun terbagi. Ada yang nyaman hanya menggunakan dan mengeskplor saja apa yang sudah ada. Namun ada pula yang lebih tergerak ingin berkreasi menambahkan sesuatu yang baru. Hal baru itu bukan sama sekali baru, tapi ia dikombinasikan secara baru.

Hal yang paling mudah kita lihat pada dunia makanan. Sudah ditemukan ice cream. Sudah ada pula buah durian sejak lama. Sudah ada pula buah alpukat. Seseorang sudah bisa membawa sesuatu yang baru di dunia makanan, ketika ia berhasil menciptakan ice cream rasa durian dan ice cream rasa alpukat.

Datang lagi pembaru lain. Sedikit saja yang ia lakukan. Jika sebelumnya satu ice cream rasa durian, dan satu ice cream rasa alpulkat, ia membuat ice cream dua rasa sekaligus: rasa duren plus rasa alpukat.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Begitulah peradaban berubah. Piecemeal approach, perubahan sedikit demi sedikit itu terjadi di semua dimensi kehidupan.

***

Di dunia puisi, puisi esai hadir juga dengan kebaruan itu. Tentu sudah ada pendahulunya: puisi balada, prosa liris, esai yang puitis, ataupun puisi yang panjang. Peradaban tulis menulis sudah berlangsung sepuluh ribu tahun. Apapun sudah tersedia dan ada pendahulunya.

Tapi puisi esai menambahkan sesuatu di sana. Ada catatan kaki yang membawa kisah nyata masuk ke dalam puisi. Bahkan ada data di catatan kaki mengenai peristiwa sosial yang masuk ke tubuh puisi selayaknya makalah ilmiah.

Ada pula drama dalam puisi esai. Panjang pula puisinya. Bahasanya mudah walau diupayakan indah.

Berdasarkan masing masing elemen, tak ada yang baru. Tapi ketika ia dikombinasikan menjadi satu kesatuan, lalu dituliskan sebanyak ratusan kali, eng…ing..eng…: jadilah ia satu kombinasi yang baru.

Aduhai! Ternyata format puisi esai itu sangat cocok untuk mengkisahkan sebuah peristiwa sosial nyata yang difiksikan. Ada catatan kaki di sana untuk mengeksplor kisah nyata itu. Puisi minimal 2000 kata, cukup panjang untuk menciptakan drama.

Bahkan puisi esai itu mudah pula dipindahkan ke dalam film layar lebar.

170 penyair, penulis, peneliti, dosen, akademisi, jurnalis, aktivis di 34 provinsi membuat ikhtiar. Mereka memotret batin Indonesia, peristiwa yang riel yang difiksikan. Dalam 34 buku akan terpotret jeritan, harapan, kisah rakyat dari Aceh hingga Papua.

Dalam tulisan lima seri sebelumnya sudah saya ringkaskan isi puisi dari 22 provinsi. Kini saya tambahkan lagi isi puisi dari 2 provinsi lain: Sulawesi Utara dan Gorontalo. Praktis dari 34 provinsi seluruh Indonesia, 70 persen puisi dari penyair dan penulis sudah siap dimatangkan untuk publikasi.

***

Ini kisah batin provinsi yang digambarkan aneka puisi di 2 provinsi.

PROV Sulawesi Utara

1. Pitres Sombowadile: Cerita Pala Siau

Siapa yang mengira? Di abad 17, Pulau Siau di Sulawesi Utara pernah dikosongkan penduduknya. Itu era penjajahan. Penduduk pulau itu dipekerjakan sebagai budak ke pulau lain, pulau Banda.

Di sana, di pulau Banda, mereka berkebun pala, rempah yang terkenal. Di bawah pengawasan militer, mereka diancam kerja paksa. Namun dalam ketertindasan, mereka mendapat pengetahuan cara berkebun pala yang baik.

Zaman berubah. Mereka kembali ke Pulau Siau. Mereka terapkan pengetahuan berkebun Pala. Ternyata Pulau Siau adalah tanah terbaik dunia untuk rempah Pala. Berkah rezeki tiba, tak terduga sebelumnya.

Mereka dari kaum budak tumbuh menjadi makmur. Namun kemakmuran membawa persoalan baru.

2. Sawiyah Al’ Idrus: Maruatoy Anak Yang Terbuang

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Dalam legenda Mongondow, Maruatoy adalah anak terbuang. Namun ia perkasa dan akhirnya membuka hutan menjadi wilayah Bolang Mongondow. Sebuah keluarga mengambil nama Maruatoy untuk anaknya.

Tak diduga sang anak bernama Maruatoy mengalami situasi terbuang yang sama. Namun ia terbuang dari lingkungan pergaulan teman temannya, yang sedang gila dengan “ehabond.” Itu sejenis lem yang memberikan efek menghayal.

Maruatoy masa kini mengikuti Maruatoy sang legenda, tumbuh mencari makna dan orang yang berguna.

3. Deisy Wewengkang: Andika Pahlawan Tanah Adat Mongondow

Tanah adat menjadi fenomena di Mongondow. Dalam puisi esai ini, tanah itu menjadi penyebab konflik masyarakat adat versus pengusaha besar pendatang dan aparat pemerintah daerah.

Di tanah adat itu berdiri dua pabrik semen kelas dunia. Perusahaan dari Cina mengelolanya dan membawa serta pula banyak pekerja imigran asing. Penduduk lokal merasa tersisih dan tidak menikmati lapangan kerja yang tersedia.

Sedikit saja ada masalah segera menyulut konflik yang emosional. Andika warga lokal yang semula begitu antusias dengan hadirnya pabrik besar itu, lalu berubah menjadi seorang pemimpin penentang yang gigih.

4. Hamri Manoppo: Percikan Darah Biru

Sumpah Paloko dan Kinalang bagian dari adat yang diwariskan turun temurun. Ini perjanjian antara rakyat kecil dan para bangsawan. Rakyat setia pada bangsawan dan raja. Sebagai balasnya, hidup rakyat terangkat.

Namun kisah berbeda kini menimpa rakyat kecil Halimah. Ia rakyat yang bekerja pada bangsawan yang semena-mena. Kesetiannya pada Sumpah Paloko dan Kinalang disalah gunakan. Ia diperkosa dan hamil.

Halimah pun terbuang kembali ke kampung halaman. Lahirlah putri bernama Aisyah berpetualang mencari ayahnya.

***

PROV Gorontalo

1. Ihya’udin Jazimi: Serambi Madinah: Dulu dan Sekarang

Gorontalo dikenal sebagai serambi Mekkah. Wilayah ini kental dengan budaya yang bersumber dari ajaran Islam. Namun zaman berubah. Gorontalo kini dikenang sebagai wilayah peringkat kelima penyalah gunaan narkoba.

Puisi ini mengkisahkan renungan seorang warga yang melihat betapa daerahnya sudah sangat berubah

2. Bagus Setiawan S: Tumbilotohe: Aku Bersamamu

Tumbilotehe nama dari tradisi di Gorontalo yang sudah hadir sejak abad ke 15. Itu perayaan menjelang Idul Fitri, beberapa hari terakhir bulan puasa. Di hari itu, di sepanjang jalan, serentak dinyalakan lampu minyak di malam hari.

Berdasarkan kisah tradisi, itu hari penduduk yang mayoritas bergama Islam keluar rumah. Dahulu sebelum ada listrik, tradisi pasang lampu membuat malam begitu beda. Lingkungan menjadi terang.

Masyarakat saat itu menyerahkan zakat fitrah, power of giving, sekaligus sholat tarawih bersama. Tradisi itu masih hidup. Namun terasa sudah hilang makna. Zaman sudah berubah.

3. Nurdin D Siu: Maulid Nabi yang Mulia

Hari itu banyak dibacakan kalam dikili. Ini istilah yang merujuk pada aneka syair yang sering dibacakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Gorontalo dikenal sebagai wilayah yang sangat dalam goresan Islam. Namun Islam yang hidup di sana adalah Islam yang damai. Suasana banyak berubah ketika mulai masuk pemahaman Islam yang radikal.

4. Ilham Ampo: Pahlawan Nani Watabone: Lapuknya Keteladanan.

Tak banyak yang tahu. Gorontalo sudah lebih dulu mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia sebelum Soekarno Hatta. Nani Watabone pejuang Gorontolo ikut memporak porandakan penjajahan Belanda. Tanggal 23 Januari 1942, pahlawan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Puisi ini mengeksporasi ketokohan dan teladan yang dibuat Nani Watabone. Namun keteladanan itu semakin hilang dari masyarakat Gorontalo masa kini.

5. Irvan Arifin: Thiyaro Lowanga Nahati Wawu Kalisuwa.

Di Gorontalo tradisi adat Lowanga, Nahati dan Kalisuwa berakar mendalam. Tradisi ini meyakini ada hari yang membawa berkah atau kesialan. Aneka hajatan besar yang dibuat harus memperhitungkannya.

Puisi ini mengeksplor pengalaman seorang penganut Islam. Betapa ia terpana karena banyak kasus keyakinan agamanya berbeda dengan tradisi adat lokal.

***

Saya masih menunggu sisa puisi esai dari 30 persen provinsi lainnya. Memang ada gerakan petisi yang menentang puisi esai. Namun itulah hukum besi sosial. Semakin ia ditentang, selama penentangannya tak berdasar, justru penentangan ini menjadi tambahan marketing gratis bagi puisi esai.

Bagaimana dengan puisi esai setelah ditentang? Gerakan ini jalan terus bahkan semakin melengggang menuju jalan tol.

Terlepas dari penentangan kaum petisi,, para founding fathers and mothers puisi esai ini secara sadar ataupun tidak, mengerjakan dua isu besar peradaban yang disinggung di awal tulisan. Ada ikhtiar menambahkan sesuatu yang baru sekecil apapun, di dunia puisi.

Dan juga mereka tidak kuatir dengan penjara pakem atau konvensi yang ada. Sering dinyatakan, puisi itu satu dunia. Esai itu dunia yang berbeda. Keduanya tak bisa digabung.

Melihat sejarah peradaban, tak ada aturan yang ditulis di batu. Semua berubah.

Bahkan, betapa apa yang terjadi di depan kadang tak terbayangkan. Seperti kisah para pelukis 100 tahun lalu yang menggambarkan di tahun 2000an manusia terbang seperti capung.

Hebatlah mereka yang tak ingin dipenjara oleh konvensi yang ada. Apalagi untuk kasus puisi esai. Tak ada dana pemerintah atau asing di sana. Tak ada hukum yang dilanggar. Tak ada paksaan untuk menulis.

Yang ada hanya kebebasan berkreasi dan ikhtiar membawa sesuatu yang baru. Berhasil atau tidak, biarlah sejarah menjadi hakimnya. Tapi sebuah gerakan civil society yang swadana ini sungguh sesuatu.

Dengan bahasa agama, jika gerakan puisi esai ini berhasil, “pahalanya” dua. Jika gagal, “pahalanya” satu. Sengaja kata pahala itu diberi tanda kutip karena ia kiasan saja.

Di situlah romantisnya mereka yang punya passion menginginkan sesuatu yang baru. Berhasil ataupun gagal, dapat “pahala.”

Penulis: Denny JA

Related Posts

1 of 17