Pertunjukan Sulap

Pertunjukan Sulap
Pertunjukan Sulap

Pertunjukan Sulap

Di setiap akhir pertunjukan seperti biasa saya keluarkan burung merpati dari dari kantong jubah maupun lubang topi. Sengaja saya tampilkan di ujung pertunjukan karena anak-anak suka sekali pada binatang mungil seperti merpati. Sama halnya ketika saya masih kecil, suka sekali pada binatang merpati, tikus berbulu putih maupun kelinci.
Oleh: Muhamad Pauji

 

Cara-cara menampilkan adegan di akhir pertunjukan menjadi penting, termasuk kata-kata yang diucapkan agar berbekas dalam pendengaran dan hati para penonton. Setelah saya melepas burung-burung merpati, saya biarkan anak-anak memberinya pakan. Seperti itulah yang biasa saya lakukan, agar muncul rasa empati anak-anak pada binatang, sehingga terasah jiwa humanitas dan kemanusiaan yang mendalam.

Tapi dasar, anak-anak zaman sekarang. Sepertinya alot sekali membangun perasaan dan kesadaran mereka. Meskipun tetap saja saya mengakhiri pertunjukan dengan trik-trik mengeluarkan burung merpati dari kantong jubah maupun lubang topi. Biar sajalah, sebab trik semacam itulah yang paling saya sukai.

Jadi, ketika memainkan trik itu, mata saya terfokus pada penonton. Tangan kanan saya masukkan ke kantong jubah hingga kepala merpati terasa lembut di telapak tangan. Lalu… adakadabra! Keluarlah merpati-merpati beterbangan dengan jinak. Seketika anak-anak bergembira memperebutkan pakan yang sudah saya sediakan dalam baskom kecil, lalu burung-burung itu pun mematuk-matuk pakan yang dilemparkan anak-anak itu.

Saya tersenyum gembira, anak-anak tertawa-tawa bersuka-cita, dan memang seperti itulah lazimnya dunia anak-anak.

Dalam memainkan trik itu, saya bisa berbangga diri, bahwa belum pernah satu kali pun saya gagal menampilkannya. Tiapkali tangan saya menyentuh kepala-kepala merpati yang menggemaskan di kantong jubah, saya merasa seperti seorang nenek penyihir. Meskipun saya hafal betul trik-trik itu, dengan jubah berkantong besar atau rongga kosong di atas meja dan segala peralatan dan piranti yang dibutuhkan, bagi saya tetap saja seperti dipermainkan oleh kekuatan sihir sungguhan.

Pada hari Jumat pagi, saya memainkan pertunjukan dalam acara ulang tahun anak seorang kiai bernama Sangsang Mustofa di daerah Pandegelang, Banten. Pihak yang mengundang saya adalah istri sang kiai, berarti ibu dari Sangsang. Konon anak itu dinamai Sangsang karena kedua kakinya selalu menyentak-nyentak saat bayi, dan tak mau diam. Setelah dikurung di loteng selama beberapa waktu, katanya kakinya tiba-tiba sembuh dan tidak lagi menyentak-nyentak seperti semula.

Pada saat pertunjukan berlangsung, saya benar-benar dibuat kesal dan jengkel pada para undangan. Anak-anak yang menonton sangat menyebalkan. Sebagian anak membelakangi saya sambil menonton film kartun Spongbob. Si bocah yang berulang tahun bahkan tidak ada di ruang depan, tempat pertunjukan digelar. Ia malah sibuk bermain video game terbaru di ruang tengah. Penonton saya semakin berkurang dan berkurang lagi. Kini, yang tersisa tinggal lima bocah. Saya dibanjiri keringat di dalam setelan jubah sulap yang saya kenakan.

Saya ingin cepat-cepat menyudahi pertunjukan lalu segera pulang ke rumah. Sudah tiga dan empat trik saya mainkan, tapi tidak ada respon positif dari anak-anak. Dua anak malah terkekeh-kekeh menarik-narik jubah sulap dari belakang. Seketika itu, tangan saya menghilang di kantong jubah, tapi entah kenapa, mata saya tiba-tiba terpancang pada seorang gadis gemuk dan pipi tembem, yang mengenakan kacamata berbingkai hitam.

Sekarang tangan saya menyentuh kepala merpati, tapi merpati itu sepertinya tidak bergerak-gerak seperti biasanya. Dan, adakadabra! Saya mengangkat satu burung merpati dari kantong jubah, namun yang ada di tangan saya hanya kepalanya yang berdarah-darah, tanpa ada tubuh dan kakinya!

Si gadis gemuk menjerit-jerit melihat tangan saya berlumur darah. Saya berusaha mengendalikan situasi sedapat mungkin. Mata tetap terfokus pada penonton. Saya segera beralih mempermainkan trik kelinci yang keluar dari topi, setelah mengelap tangan saya dengan tisu yang saya minta dari tuan rumah.

eolah tidak ada apa-apa. Penonton sudah duduk dengan tenang dan tertib. Sebagian besar seakan tidak menyadarinya. Kini, tangan saya berayun ke udara, mata saya tetap tertuju pada penonton. Dan ketika seekor kelinci saya keluarkan dari lubang topi, tiba-tiba pergelangan tangan saya basah. Saya sempat memegang tubuh kelinci mungil itu. Tetapi, ketika saya angkat ke atas, tahu-tahu hanya tubuhnya saja yang terangkat, sementara kepala kelinci itu terputus entah ke mana?

Darah berceceran ke mana-mana. Berantakan menggenangi meja dan lantai. Si gadis gemuk berteriak-teriak histeris. Anak-anak menuju ruang depan, meninggalkan televisi dan video game mereka. Mereka bertepuk tangan dan bersorak-sorai melihat jubah saya bersimbah darah. Si bocah yang berulang tahun, juga ikut bertepuk-tangan dan membunyikan suitan dengan jemarinya.

Siang itu, saya tak bisa menyantap makan siang yang disediakan tuan rumah. Masih bertanya-tanya, kenapa semuanya itu bisa terjadi? Ada apa dengan merpati dan kelinci itu? Apakah anak-anak ingusan sanggup memainkan trik tertentu yang membuat saya tak sanggup menebaknya? Apa yang mereka mainkan?

Tentu saja sebagian dari mereka tidak menyadari, dan menganggap bahwa kelinci yang terpenggal kepalanya, juga merpati yang tak ada tubuhnya, bahkan darah yang berceceran, seolah-olah menjadi bagian dari trik sulap yang saya mainkan.

Malam harinya saya tak bisa tidur. Masih terus dibayang-bayangi oleh kejadian tadi yang tidak saya mengerti. Bolak-balik saya periksa peralatan dan piranti sulap, tapi tak ada penjelasan yang masuk akal kenapa semuanya itu bisa terjadi. Bahkan saya tidak menemukan di mana gerangan kepala kelinci dan tubuh merpati itu.

Keesokan paginya saya pergi ke toko sulap dan menceritakan tragedi tersebut. Penjaga toko juga bingung dan geleng-geleng kepala. Sebelum pamit, saya membeli tiga kelinci lagi, lalu seorang penjaga menawarkan kura-kura. “Tinggal bilang ke anak-anak bahwa ini adalah kura-kura ninja. Mereka pasti senang,” katanya meyakinkan.

Tapi saya tetap membeli tiga kelinci. Sesampainya di rumah ada dua pesan masuk. Keduanya menawarkan pertunjukan sulap pada hari Selasa dan Rabu. Saya menyatakan siap, dengan tarif bayaran seperti biasa.

Hari Selasa tiba. Anak seorang pengusaha berusia delapan tahun berulang tahun di daerah Rangkasbitung, masih wilayah provinsi Banten. Namanya Pengki Atut Hasanah. Konon, ia dipanggil Pengki karena sering sakit-sakitan saat masih bayi. Kekebalan tubuh dan imunitasnya semakin kuat setelah ia dimasukkan ke dalam wadah pengki (tempat sampah) dengan hanya meminum susu sapi yang masih seteril. Tapi entah kenapa, selama pertunjukan di rumah pengusaha itu, saya merasa gundah dan stres sepanjang pertunjukan. Saya kehilangan hasrat. Dengan terpaksa saya tetap memainkan trik topi. Tangan dan pikiran saya tertuju pada topi. Saya pun merogoh lubang topi pelan-pelan. Tatapan tajam penonton membuat tubuh saya gemetar. Tapi aneh bin ajaib, sepertinya saya tidak menemukan kepala atau telinga kelinci, melainkan hanya seonggok tubuh besar dan berbulu tebal.

Adakadabra! Ketika saya angkat, bobotnya lebih berat dari seekor kelinci. Ternyata… ternyata tubuh itu adalah bangkai seekor kucing tak berkepala, dengan darah yang berceceran dari potongan lehernya!

Sejak peristiwa itu, saya merasa kapok. Saya tidak mau memainkan trik sulap lagi. Memikirkannya saja, membuat tangan dan bulu kuduk merinding. Akhirnya, saya memutuskan untuk berhenti manggung, walaupun penghasilan saya terputus secara tiba-tiba. Tapi biarlah, saya tidak peduli. Kadang-kadang saya masih mengenakan jubah sulap di rumah, tapi hanya iseng-iseng saja, dan tangan saya gemetaran ketika tak sengaja saya masukkan ke dalam kantong. Kemudian, saya pun menjaga jarak dari dunia sulap.

Kadang-kadang juga masih terbayang dalam ingatan, khususnya mengenai bangkai burung merpati, kelinci dan bangkai kucing itu. Siapa yang mempermainkan itu semua? Siapa yang bermain sulap terhadap tukang sulap seperti saya?

Boleh jadi ketiga peristiwa yang saya alami itu merupakan pertanda, bahwa saat ini bukan zamannya lagi memainkan trik burung atau kelinci. Bahkan sudah bukan zamannya bermain sulap, bermain akrobat politik untuk membohongi dan mengelabui orang-orang. Lebih baik saya menjadi pedagang es teler atau es dawet saja di Pasar Jombang Wetan, Banten. ***

*Penulis: Muhamad Pauji, esais dan cerpenis generasi milenial, aktivis OI (Orang Indonesia), menulis artikel dan cerpen di berbagai media massa lokal, nasional dan media daring.
Exit mobile version