Melihat Prediksi Pertumbuhan Global 2030

Tabel GDP Dunia

NUSANTARANEWS.CO – Jim O Neill dalam sebuah tulisannya yang berjudul “The Future of Economic Growth” memaparkan bahwa ekonomi tetap merupakan ilmu sosial sehingga dalam perkembangannya dipastikan akan selalu ada kesenjangan antara teori ekonomi dan kondisi ekonomi di dunia nyata. Meski begitu, bukan berarti lalu teori ekonomi tidak dapat memprediksi sebuah pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.

Secara khusus, O’Neill menjelaskan bahwa jika seseorang memiliki data valid terkait berapa banyak populasi usia kerja suatu negara akan tumbuh atau menyusut dan seberapa banyak produktivitasnya akan meningkat – maka dengan dua variable tersebut seseorang akan dapat memprediksi pertumbuhan ekonomi suatu negara di masa depan dengan keyakinan yang cukup besar.

Variabel pertama dapat diprediksi secara wajar dari tingkat pensiun dan kematian suatu negara; sementara yang kedua lebih tidak pasti. Disamping itu, faktor penurunan produktivitas di negara maju sejak 2008 memang masih misteri ekonomi hingga hari ini.

Benarkah misteri? O’Neill kemudian menciptakan akronim BRIC (Brasil, Rusia, India, dan Cina) dan N-11 negara-negara berkembang yang paling padat penduduknya untuk mengamati pertumbuhan PDB sejak tahun 1980-an. Kebanyakan N-11 adalah negara-negara di Asia dan Afrika, termasuk Indonesia.

Berdasarkan proyeksi pertumbuhan global tahun 1980-an sampai 2030, O’Neill mencoba mengamati kesenjangan antara apa yang diperkirakan dan apa yang telah terjadi dalam setiap dekade. Pada dekade keempat (2011-2020) – diperkirakan pertumbuhan akan lebih dari 4% karena kebangkitan Cina dan BRIC. Prediksi pertumbuhan tersebut dihasilkan berdasarkan pada pertumbuhan dekade sebelumnya (2001-2010) yang lebih kuat dari periode 1991-2000 yang mencapai 3,3%. Hal inilah yang kemudian membuat para ekonom menyimpulkan bahwa ekonomi global telah mencapai potensi penuhnya.

Sekarang perhatikan apa yang sebenarnya terjadi. Pertumbuhan di Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Cina, dan India telah mendekati apa yang diprediksi. Tetapi hal sebaliknya justru terjadi di Zona Euro, Brasil, dan Rusia yang meleset dari prediksi – mungkin karena terlalu optimis membaca potensi jangka panjang ekonominya.

Begitulah sifat ilmu sosial. Pertumbuhan dan produktivitas yang kuat akan sangat tergantung pada berbagai faktor, termasuk kebijakan yang dimiliki. Jadi sungguh menggembirakan bila tingkat pertumbuhan pada dekade 2021-2030 sesuai dengan apa yang telah diprediksikan.

Untuk catatan, AS dan Inggris telah mengalami pertumbuhan yang mendekati level seperti apa yang sudah diprediksikan, meski dengan tingkat produktifitas yang rendah, namun disisi lain terjadi peningkatan yang cepat dalam lapangan kerja – di mana tingkat pengangguran mencapai posisi terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Sayangnya, kebijakan publik yang berbalik arah menentang imigran, secara matematis tidak mungkin mendorong pertumbuhan lapangan kerja yang sama dalam satu dekade mendatang. Oleh karena itu, agar pertumbuhan dapat terus berjalan maka produktivitas harus ditingkatkan.

Belakangan, fokus perhatian dunia banyak diarahkan kepada Cina. Mengapa? Sebab berdasarkan prediksi dua dekade sebelumnya, Cina terlihat berambisi untuk menggapai pertumbuhan di atas 5% pada periode 2021-2030. Alasannya sederhana yakni pertumbuhan tenaga kerjanya akan memuncak. Pertumbuhan tahunan 5% di Cina bila dikonversi secara nominal sebetulnya setara dengan pertumbuhan 15-20% di Jerman.

Hal yang sama, India diprediksi akan tumbuh pada tingkat yang jauh lebih cepat daripada Cina. Pertanyaannya mungkin adalah apakah India mampu menerapkan reformasi untuk meningkatkan produktifitas. Bila ya, maka India diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi utama dalam dekade berikutnya. Bila gagalpun, India tetap akan melampaui Inggris dan Perancis sebagai kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia. Bahkan kemungkinan akan menyusul Jerman pada tahun 2025.

Sementara Brasil dan Rusia harus mengurangi ketergantungan mereka pada siklus harga komoditas, sebab kedua negara ini hanya akan mengalami pertumbuhan yang kuat selama ada lonjakan harga. Rusia sudah mengalami dekade yang mengecewakan akibat dari demografinya. Sedangkan Brazil, dapat mengalami pertumbuhan jika mulus melaksanakan reformasi sosial dan kesehatan yang sulit.

Adapun Zona Euro, memang prediksinya terlampau optimis, meskipun telah diperkirakan akan mengalami penurunan potensi pertumbuhan sebesar 1,5%. Jika Jerman tidak beralih ke model pertumbuhan yang lebih didorong oleh kebutuhan domestik, proyeksi itu mungkin akan menjadi benar. (Agus Setiawan)

Exit mobile version