Politik

Pertanyaan Penting Tentang UUD 1945 Asli untuk Pakar Hukum Tatanegara

UUD 1945 Asli/Ilustrasi Nusantaranews
UUD 1945 Asli/Ilustrasi Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mantan Anggota DPR dari Fraksi PAN periode 1999-2004 M. Hatta Taliwang mengajukan pertanyaan penting tentang UUD 1945 asli untuk Pakar Hukum Tatanegara Refly Harun dan Abdul Kadir Karding yang membahas hal tersebtu di salah satu acara tv swasta nasional, Senin (19/8/2019) pagi.

“Karena Anda menyebut amandemen UUD45 sebanyak 4 kali itu adalah amanat rakyat maka kami bertanya apakah mereka yg terlibat amandemen itu telah melakukan hal hal misalnya PDIP, GOLKAR, PPP, PAN, PBB, PKS, PKB dll sudah melakukan Kongres atau Munas dan memutuskan untuk melakukan amandemen? Atau urusan sepenting itu cuma diputuskan segelintir elit partai?,” tanya Hatta Taliwang dalam pernyataan resmi yang diterima, Senin (19/8).

Baca Juga:  Masyarakat Rame-Rame Coblos di TPS, Jatim Bisa Lumbung Suara Prabowo-Gibran

Hatta juga mempertanyakan, apakah utusan Golongan telah bertanya ke golongan yg diwakilinya, misalnya NU/ Muhammadiyah telah memutuskan Amandemen itu via Muktamar? Apakah Utusan Daerah itu telah melakukan musyawarah di daerahnya dan memutuskan untuk melakukan amandemen?

“Apakah ada Rapim ABRI waktu itu yang memutuskan urusan seurgent itu yang memutuskan bahwa Fraksi ABRI di MPR RI akan mendukung, menolak atau abstain dalam rangka amandemen UUD 45. Dan Apakah proses yang ditempuh partai partai, utusan Golongan, Utusan Daerah dan Fraksi ABRI legitimate atau sah?,” tanyanya.

Lebih lanjut, Aktivis pro demokrasi dan anti korupsi ini menyampaikan, berkaitan dengan Amandemen UUD45, apakah ada Keputusan yang telah membatalkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana RI secara sah menggunakan UUD45 18 Agustus 1945. “Apakah sebuah Dekrit yang sudah berlaku dianggap tak pernah ada dan bisa diabaikan?,” ucapnya.

Baca Juga:  Siapkan Comander Call, PKS Jatim Beber Kesiapan Amankan Kemenangan PKS dan AMIN

Refly dalam talkshow tersebut, lanjutnya, menganggap bahwa UUD 45 itu otoriter karena tak ada check and balance dan telah terbukti 2 (dua) Presiden bisa dijatuhkan oleh MPR RI. Untuk itu, Hatta Taliwang bertanya kepadanya, apakah Presiden Soekarno saat itu benar telah menjalankan UUD 45 sesuai semangat dan teks UUD 45? Bukan Soekarno menjalankan kekuasaan menurut seleranya karena itu mendapat kritik dari Bung Hatta dan Liga Demokrasi?

“Apakah Soeharto saat itu menjalankan UUD 45 sesuai teks dan jiwa UUD 45? Bukankah Petisi 50 menuduh Soeharto menyimpang dari UUD 45? Soeharto menjalankan kombinasi sistem kekuasaan Jawa dan Militerisme? Apakah bisa kesalahan atau dosa Penguasa, dilimpahkan pada sistem UUD45 yang sama sekali tidak dilaksanakan dan klopun dilaksanakan hanya covernya saja, bukan substansinya?,” tanya Hatta bertubi-tubi.

“Terhadap Presiden yang diduga telah melakukan pelanggaran UUD 45 lalu di proses, lalu terbukti bersalah kemudian dihukum dan diberhentikan oleh MPR RI apakah salah dan tak boleh? Bukankah kekuasaan itu ada sistem reward dan punishment,” imbuh Derektur Institut Soekarno Hatta Komunikasi Politik UMJ ini.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

Menurut dia, Refly selalu membanggakan check and balance dlm kekuasaan. Dia menganut paham liberal. Karena check and balance itu berdasarkan hukum permintaan dan penawaran yg dlm ekonomi disebut persaingan bebas.

“Persaingan yang akan membentuk keseimbangan.Padahal faktanya persaingan itu melahirkan dominasi, bukan keseimbangan,” tegasnya.

Terkait dengan UUD Amandemen Hatta Taliwang mengutip pernyataan Pengamat Ekonomi Politik, Salamuddin Daeng yang menyebt bahwa, UUD Amandemen itu memang berdasar prinsip check and balance. Atas dasar itulah membagi cabang cabang kekuasaan secara setara satu dengan lainnya. Masing masing cabang kekuasaan memperjuangkan kepentingan sendiri sendiri, berusaha memperbesar kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan agar tidak diambil yang lain. Terjadi pertarungan internal. Dalam rangka apa? Dalam rangka kekuasaan semata. Kekuasaan mengabdi pada siapa ? Ya pada pribadi, keluarga dan golongan semata. Perhatikan prilaku kekuasaan dan aktor kekuasaan era reformasi . Ribut demi negara atau diri dan kelompoknya ?

Buat apa saling menyeimbangkan (balance) sementara yg diperlukan bangsa ini meningkatkan produktivitas, perbaikan dan kemajuan bangsa dlm bidang sosial, budaya, ekonomi, politik kehormatan bangsa(penghargaan internasional) dll. Filosofi dasar kita adalah musyawarah, kebersamaan, bukan individualisme, bukan persaingan bebas.

“Bung Refly sepertinya kurang mendalami filosofi masyarakat Indonesia. Tergila pada liberalisme Barat,” tandas Hatta Taliwang. (red/nn)

Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,147