Pertamina Sehat, Garuda Kuat

Gedung Pertamina. (Foto: Wikimedia)
Gedung Pertamina. (Foto: Wikimedia)

Pertamina Sehat, Garuda Kuat: Sebuah Catatan Khusus Akhir Tahun 2019 Dan HUT Pertamina ke-62

Oleh: Defiyan Cori, pemerhati ekonomi konstitusi

Pada tanggal 10 Desember 2019, Pertamina sebagai the leading energy national company yang memegang mandat konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 memperingati 62 Tahun eksistensinya berkontribusi bagi pembangunan tanah air Indonesia. BUMN kebanggaan milik rakyat, bangsa dan negara Indonesia ini dalam perjalanan pasang surutnya telah mampu tegak dan kokoh beroperasi melayani kebutuhan konsumen, daerah-daerah, bangsa dan negara bahkan negara lain menggerakkan kegiatan ekonominya. Menarik kiranya, dalam momentum peringatan ke-62 Tahun Pertamina ini publik mengetahui sejarah berdirinya Pertamina menjadi perusahaan milik negara.

Terutama apabila menghadapi isu dan permasalahan energi  dengan berbagai potensi pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia untuk diolah menjadi sumber energi baru dan terbarukan (new- renewable energy) sangatlah variatif. Dan, juga dikaitkan dengan permasalahan beban defisit minyak dan gas bumi (migas), yaitu besarnya impor migas untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dibanding produksi dalam negeri, tudingan mahalnya harga jual avtur produk Pertamina yang diarahkan oleh rekan sesama Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu Garuda Indonesia, termasuk hak monopoli yang berada dalam penguasaan Pertamina selama ini. Untuk itu perlu kiranya publik memahami bagaimana sejarah dan pentingnya masa depan BUMN Pertamina bagi kelangsungan pemenuhan kebutuhan energi bangsa dan negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang sampai Merauke.

Untuk apa Pertamina dan Garuda hadir?

Pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Indonesia berada dalam masa transisi dari era kolonialisme menuju era kemandirian. Salah satu agenda penting era pemerintahan Soekarno adalah mengganti struktur penguasaan ekonomi kolonial dengan membangun dasar atau pondasi bagi perekonomian nasional. Beberapa asset ekonomi strategis yang dahulu di bawah penguasaan negara Belanda juga beralih ke tangan negara Indonesia.

Di antaranya adalah Garuda Indonesia dan Pertamina yang merupakan bagian dari pelaksanaan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 28 Desember 1949 di Den Haag, setelah penerbangan KNILM (maskapai milik Belanda) yang telah bubar pada bulan Maret 1942 bersamaan dengan Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. KLM IIB diserahkan kepada pihak Indonesia beserta 20 unit pesawat Dakota, lalu diganti namanya menjadi Garuda Indonesian Airways (GIA) (hari tersebut dijadikan sebagai hari jadi de facto Garuda Indonesia), di mana satu Dakota beregistrasi PK-DPD yang membawa Presiden Soekarno terbang dari Jogjakarta (ibu kota perjuangan) menuju Jakarta (ibu kota negara).

Namun, penerbangan komersil perdana Garuda Indonesia dari Yogyakarta menuju ke Jakarta pada tanggal 26 Januari 1949, yang kemudian dianggap sebagai hari jadi Garuda Indonesia.

Sedangkan pendirian Pertamina adalah berdasarkan UU No.44 Prep Tahun 1960 tentang Minyak dan Hasil Tambang pada 26 Oktober 1960 yang diterbitkan oleh Presiden Soekarno menggantikan UU Pertambangan Kolonial, Indische Mijnwet tahun 1899. Undang-Undang ini diterbitkan atas permasalahan yang terjadi saat itu, yaitu banyaknya partikelir (swasta) yang memiliki izin konsesi dengan dasar hukum Indische Mijnwet 1899 tetapi belum melakukan kegiatan penambangan dan dianggap merugikan peluang akan potensi ekonomi yang dapat dihasilkan negara.

Hal penting yang diatur dalam UU ini yaitu, menetapkan kekuasaan dan mengusahakan pertambangan diselenggarakan oleh pemerintah melalui perusahaan pertambangan migas negara dalam bentuk kuasa pertambangan. Kebijakan ini melahirkan perusahaan negara (PN) yaitu PN Pertambangan Minyak Nasional (Permina), PN Pertambangan Minyak Indonesia (Permindo), dan PN Gas Bumi Nasional (Permigan). Undang-undang ini menekankan peningkatan peran negara dan DPR dalam kontrak kerja sama yang mengubah sistem konsesi menjadi sistem kontrak karya (KK) atau Contract of Works (CoW’s) dengan pembagian bersih 60% untuk Indonesia dan 40% untuk asing. Undang-undang ini juga mengesahkan KK kontraktor perusahaan minyak asing tersebut selama 20 tahun hingga 30 tahun ke depan.

Secara umum, undang-undang ini telah cukup mengakomodasi Pasal 33 UUD 1945, yaitu bahwa semua mineral, termasuk minyak bumi, adalah milik seluruh rakyat dan hanya diatur oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Penguatan dari pernyataan tersebut tertulis dalam pasal-pasal UU No. 44 tahun 1960 yaitu semua minyak dan gas yang ditemukan di wilayah teritorial Indonesia adalah aset nasional yang diatur oleh negara; pertambangan minyak dan gas bumi hanya dilakukan oleh negara dan dilaksanakan oleh perusahaan negara.

Kementerian Pertambangan dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor perusahaan jika diperlukan; kontrak karya perusahaan negara dan kontraktor lainnya harus dilegalisasikan hukum; kewenangan untuk menambang tidak termasuk di dalamnya hak-hak permukaan tanah; jika ada hak tanah lain yang bukan hak negara dan berbenturan dengan kegiatan otoritas tambang, maka pemilik tanah akan mendapatkan kompensasi.

Penguatan peran negara yang dilegalkan dalam Undang-Undang ini mendorong nasionalisasi tiga perusahaan minyak asing besar yang beroperasi di Indonesia pada saat itu yaitu Shell, Stanvac dan Caltex Pacific Indonesia. Ini dimungkinkan karena kontrak karya harus dilegalisasikan secara hukum. Walaupun ketiga perusahaan tersebut keberatan dan melakukan negosiasi ulang dengan pemerintah pada tahun 1963, pada tanggal 1 Juni 1963 ketiga perusahaan minyak asing tersebut menandatangani perjanjian dengan pemerintah Indonesia di Tokyo atau yang dikenal sebagai Tokyo Heads of Agreement. Dan, inilah sistem kontrak karya pertama antara tiga perusahaan negara dengan tiga perusahaan minyak asing, yaitu: PN Pertamina dengan PT Caltex Pacific Indonesia, California Asiatic Oil Company (Calasiatic), dan Texoco Overseas Petroleum Company (Topco); PN Permina dengan PT Shell Indonesi; PN Permigan dengan PT Stanvac Indonesia.

Selanjutnya pada era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto disahkan UU No.8 Tahun 1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara. Undang-undang ini lebih dikenal publik sebagai UU Pertamina yang menggantikan UU No.44 Tahun 1960. Pertamina ditetapkan sebagai satu-satunya perusahaan minyak negara yang diharapkan dapat mendatangkan pendapatan negara dari sektor migas kepada pemerintah orde baru yang berkuasa saat itu.

Penetapan UU No. 8 Tahun 1971 menegaskan kembali kedudukan Pertamina sebagai entitas perusahaan negara yang memiliki 2 (dua) tanggung jawab berbeda (1) sebagai pengelola sumber daya migas; (2) sebagai perangkat negara yang berkewajiban memberikan pelayanan dalam penyediaan BBM bagi publik. Fungsi pertama membuka peluang bagi Pertamina sebagai representasi dari negara untuk melakukan kegiatan ekspor migas dengan tujuan mengisi kas negara. Fungsi kedua menempatkan Pertamina sebagai stabilisator sosial ekonomi publik.

Undang-undang ini juga menegaskan peran Pertamina secara legal untuk menentukan PSC dengan perusahaan minyak asing yang tidak lagi melalui persetujuan DPR. Secara umum dapat dikatakan Pertamina berperan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dan negara dalam mengelola serta mengawasi kegiatan kontraktor asing. Konsesi pertambangan untuk perusahaan asing masih dalam bentuk Kontrak Kerja sampai dengan tahun 1966, dan kemudian  dibawah kepemimpinan Direktur Utama Ibnu Sutowo, Pertamina mengembangkan jenis terbaru dari kontrak konsesi pengeboran, yaitu Production Sharing Contract (PSC). Pada tahun 1966 ini juga perjanjian PSC pertama kali ditandatangani dan diimplementasikan oleh Independent Indonesian American Petroleum Company (IIAPCO), sebuah kelompok operator minyak independen yang berasal dari Amerika Serikat. Maka sejak saat itu seluruh kontrak konsesi pengeboran masuk ke dalam bentuk PSC.

PSC memiliki beberapa karakteristik. Pertama, PSC berisi klausa manajemen yang memaksa para kontraktor untuk melakukan konsultasi secara rutin dengan Pertamina dan meminta persetujuan atas beberapa masalah terkait dengan operasi dasar. Dampak bagi kontraktor atau perusahaan asing adalah mereka harus beroperasi dengan cara-cara yang transparan dan mengembangkan sebuah proses pembelajaran untuk para pejabat Pertamina terkait dengan masalah operasional dan termasuk di dalamnya transfer teknologi.

Kedua, PSC diharapkan dapat menjadi penyelesaian damai bagi pemerintah dan perusahaan minyak asing, karena setelah cost recovery, produksi migas akan dibagi menjadi dua.

Ketiga, PSC memuaskan aspirasi nasional untuk otonomi negara yang lebih luas lagi bagi pengelolaan minyak dan gas bumi sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.

Keempat, PSC menjamin bahwa para kontraktor hanya akan berhubungan dengan satu entitas bisnis dari pemerintah Indonesia, yaitu BUMN Pertamina.

Dalam operasionalisasinya, perjanjian PSC ini mendorong perusahaan minyak asing yang memiliki teknologi, organisasi, dan risiko kapital yang diperlukan untuk menemukan dan mengembangkan blok-blok migas. Jika cadangan minyak ditemukan melalui kegiatan eksplorasi, maka akan diperhitungkan cost recovery dan dibagi antara Pertamina (65%) dan kontraktor asing (35%). Kecenderungan selanjutnya yang terjadi adalah, bagian (porsi) Pertamina akan selalu meningkat dan bagian (porsi) kontraktor asing akan terus menurun.

Kontrak kerja KKS/PSC antara Pertamina dan pihak kedua mendorong akumulasi kapital yang besar membuat Pertamina pada posisi pemegang kuasa pertambangan dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilisator penyedia BBM untuk publik seperti yang diamanatkan dalam UU No. 8 Tahun 1971. Kedudukan Pertamina lebih bercorak politis dan kuat sebagai sebuah korporasi konstitusional dengan kemampuan yang relatif non-kompetitif pada masa itu. Kebijakan ni tentu saja dapat dipahami dan berkaitan dengan implementasi turunan dari mandat ayat ke-2 pasal 33 UUD 1945 cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

Garuda Dan Pertamina Masa Depan

Ada hal yang aneh dan cukup menyita perhatian publik pada akhir Tahun 2018 terkait polemik mahalnya tiket pesawat dengan menuding mahalnya harga avtur yang dijual oleh BUMN Pertamina oleh Menteri Perhubungan, dan pada bulan Nopember 2019 disampaikan juga oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Padahal dengan terbitnya Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 17 tahun 2019 tentang Formula Harga Dasar dalam Perhitungan Harga Jual Eceran Jenis BBM Umum Avtur yang Disalurkan Melalui Depot Pengisian Pesawat Udara, pasca Direktur Utama Pertamina dipanggil Presiden ke istana negara pada Hari Kamis tanggal 14 Februari 2019 mestinya alasan avtur penyebab mahalnya tiket pesawat (terutama Garuda Indonesia) sudah berakhir.

Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menindaklanjuti Kepmen ESDM ini pada tanggal 16 Pebruari 2019 telah merevisi harga jual avtur eceran di dalam negeri dari Rp 8.210 per liter menjadi Rp 7.960 per liter atau turun sejumlah Rp 250 per liter (3,4%). Meskipun pada saat itu harga jual avtur eceran di dalam negeri yang dijual oleh Pertamina sebelum keputusan Pemerintah masih lebih murah dibandingkan harga jual avtur eceran di Singapura, yaitu Rp 10.760 per liter atau selisih harga lebih mahal dari harga jual avtur eceran Pertamina sejumlah Rp 2.550.

Namun, sebagaimana ketentuan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation) dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN, termasuk dalam hal ini adalah kajian kelayakan (feasibility) finansial atau margin bagi BUMN, jika kebijakan harga tersebut tak layak, maka pemerintah harus mengkompensasi intervensi politik dalam penetapan harga tersebut.

Dengan berbagai tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh PT Pertamina (Persero), namun kinerja kewajiban pajak dan dividen kepada negara justru mengalami kenaikan pada Tahun 2018 sebesar 12,8% dibandingkan dengan setoran pada tahun 2017.

Berdasarkan laporan keuangan Pertamina, pada Tahun 2018, Pertamina mencatatkan total kontribusi perusahaan untuk APBN mencapai Rp 120,8 triliun yang terdiri dari 93% setoran pajak dan 7% dividen. Kontribusi dividen ini merupakan kinerja Pertamina tahun 2017 yang kemudian dibayarkan pada tahun 2018, sementara pada tahun 2017, setoran Pertamina hanya sekitar Rp 107,1 triliun.

Total kontribusi Pertamina untuk APBN pada tahun 2018 ini tercatat sebagai setoran terbesar sepanjang sejarah BUMN energi ini berdiri dan beroperasi selama 62 Tahun. Setoran pajak yang cukup signifikan dikontribusikan dari anak perusahaan di sektor hulu di antaranya Pertamina EP Cepu (Rp 8,08 triliun), PT Pertamina EP (Rp 7,4 triliun), Pertamina Hulu Grup dan PT Pertamina Hulu Energi (Rp 3,6 triliun), PT Pertamina Hulu Indonesia (Rp 3,5 triliun).

Berdasar kinerja dan pengalaman penjajahan negara lain di bidang ekonomi sumber daya alam Indonesia ini, serta sejarah beroperasinya Pertamina dan Garuda Indonesia, semestinya sinergisitas BUMN dapat terbangun dengan sesuai bisnis inti (core business) masing-masing tanpa saling menuding dan menegasikan.

Pertamina sesuai kompetensinya, akan menyediakan harga avtur yang terjangkau oleh Garuda Indonesia sebagai maskapai yang menghubungkan jalur-jalur penerbangan antar pulau, sementara Garuda bisa menyediakan sarana untuk memasok BBM ke wilayah-wilayah terluar, terdalam, dan tertinggal melalui bandara-bandara yang ada yang tak mungkin dilakukan oleh pihak swasta. Kolaborasi ini dapat dijalin dengan baik agar kontribusi Garuda Indonesia sebagai BUMN untuk menyediakan kepentingan publik (PSO) juga berjalan.

Demikian pula halnya dukungan bagi kinerja masing-masingnya akan lebih optimal, apabila Pertamina betul-betul fokus dalam bidang energi yang menyediakan BBM dengan harga jual produk lebih kompetitif (tak mengurusi bisnis sektor lain) dan Garuda Indonesia fokus dalam penyediaan jasa transportasi udara dalam membawa penumpang sampai ke pelosok tanah air. Sinergisitas dan kolaborasi BUMN ini merupakan perwujudan dari prinsip ekonomi yang dijalankan sebagai usaha bersama sesuai perintah konstitusi ekonomi ayat 1, Pasal 33 UUD 1945.

Last but not least, dengan mencermati perjalanan sejarah kedua BUMN strategis yang dimiliki oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia, bahwa pengusaan cabang produksi penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak adalah sebuah keniscayaan konstitusi (hak monopoli) sebagai bagian dari perlawanan kapitalisme, liberalisme dan kolonialisme di masa lalu.

Selain itu, juga berperan dalam membantu keuangan negara dan melayani konsumen yang nota bene adalah rakyat Indonesia, terutama sekali dalam mencapai tujuan kemakmuran bersama, bukan orang per orang. Inilah alasan kuat dan mendasar bahwa pasar migas, khususnya avtur yang dipasok juga untuk maskapai Garuda Indonesia tidak bisa diberikan pada korporasi swasta atau asing.

Jika dianggap perlu, maka manajemen (Direksi dan Komisaris) kedua BUMN ini (ditambah beberapa BUMN strategis lainnya) dalam pengelolaannya dapat di bawah kendali Presiden langsung, sehingga isu mafia yang berkembang pada Pertamina dan Garuda Indonesia dapat dieliminasi.

Selamat Hari Ulang Tahun ke-62 Pertamina milik bangsa, semoga semakin sehat sehingga mampu bekerjasama dengan Garuda Indonesia (yang juga punya prestasi dunia) dan BUMN lainnya menjadi kekuatan ekonomi bangsa dan negara.

Exit mobile version