Esai

Perspektif Tunggal Warisan Orde Baru

Perspektif Tunggal Warisan Orde Baru
Ilustrasi Orde Baru. (Foto: Youtube)

Perspektif Tunggal Warisan Orde Baru

Oleh: Chudori Sukra, Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI) Jakarta

Ketika seseorang berbuat baik dan jujur, otak manusia akan mengeluarkan serotonin dan oksitosin, zat kimia pengirim sinyal (neurotransmitter) yang membuat manusia merasa lega, nyaman dan bahagia. Proses evolusi otak manusia – menurut teori ilmu neurologi – sangat berbeda dengan makhluk-makhluk hidup lainnya, terutama pada otak bagian depan (cortex prefrontal). Sedangkan, evolusi otak binatang terhenti pada otak bagian tengah (sistem limbik), setelah usainya masa evolusi pada otak bagian belakang (paleo cortex).

Dominasi otak bagian tengah dan otak belakang pada binatang inilah yang membuat keputusan yang diambil binatang hanya digunakan untuk menyerang musuh, bertahan untuk hidup, atau untuk makan. Ia selalu dibayang-bayangi ketakutan dan kecemasan akan hak hidup yang akan dirampas makhluk lain. Sifat binatang senantiasa mendahului untuk menyerang lawannya terlebih dahulu. Fungsi otak tengah dan belakang yang begitu dominan, membuat binatang tidak memperhitungkan benar maupun salah, berdampak positif atau negatif dari tindakan yang dilakukannya.

Oleh karena itu, manusia disebut ‘homo sapiens’, satu-satunya makhluk hidup yang punya hati nurani dan mampu bersikap arif dan bijak. Evolusi otak depan pada organ tubuh manusia juga menunjukkan bahwa nilai kearifan dan kejujuran hanya ada pada makhluk yang bernama manusia. Bukankah dalam ajaran agama ditegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang berbahasa dan bernalar (al-insanu hayawanun natiq)?

Tanpa kemampuan berbahasa dan bernalar, evolusi prefrontal cortex seakan stagnan dan jalan di tempat. Hanya menuruti apa kata petuah sang penguasa maupun sang guru (mursyid). Sebagai pengasuh pesantren yang turut menghadiri acara peluncuran buku Pikiran Orang Indonesia, saya merasa bersyukur adanya inisiatif orang Indonesia yang menghimpun data-data sejarah yang cukup akurat. Bagaimana sistem kekuasaan di republik ini – selama tiga dekade lebih — mampu memperalat orang-orang yang berpikir dangkal demi menjaga kelestarian popularitasnya. Otak manusia Indonesia, sebagaimana rakyat Jerman di masa Hitler, benar-benar dilumpuhkan agar terhenti evolusinya pada sistem limbik dan otak bagian belakang. Tokoh utama yang ditampilkan penulis Banten, Hafis Azhari dalam novelnya Pikiran Orang Indonesia (baca: Agama Tanpa Akal dan Hati Nurani, Kompas, 21 November 2018) tak ubahnya dengan otak kaum teroris dan radikalis. Ia telah disetting sedemikian rupa, agar menerima fakta-fakta kebenaran yang sesuai dengan pikirannya, betapapun rendahnya kualitas kebenaran itu.

Bahaya Perspektif Tunggal

Ketika seorang penguasa melumpuhkan fungsi otak depan bangsanya – sengaja atau tak sengaja – maka pola pikir suatu bangsa akan terjebak pada perspektif tunggal belaka. Mereka mudah mengklaim sesuatu secara hitam-putih. Sementara pemerintah yang baik tentu akan berkorban untuk melayani umat, berupaya sekeras mungkin mencerdaskan dan mendewasakan rakyatnya.

Di sisi lain, hasil pemikiran yang terhenti evolusinya pada otak bagian tengah (limbik) ia akan sibuk mengembangkan mekanisme pertahanan untuk menolak fakta lain yang mengancam pendapatnya, betapa pun valid dan akuratnya kebenaran itu. Sikap politik dari pemerintah militerisme Orde Baru, yang meninabobokan jutaan generasi bangsa, melumpuhkan daya nalar dan akal sehat, dengan memanfaatkan kedunguan dan ketidakadilan sebagai motor penggeraknya, sampai saat ini masih terus bermutasi dari waktu ke waktu.

Oleh sebab itu, kalau ada mahasiswa sastra yang bertanya kepada saya, mengapa bangsa yang berpopulasi ratusan juta ini masih juga belum melahirkan satu orang pun – kecuali Pramoedya – yang karya-karyanya diakui dunia? Jawaban saya simpel saja, bahwa banyaknya pertanyaan serupa, sama artinya jika kita bertanya tentang nasib ilmuwan, akademisi, ekonom, teknolog, seniman, hingga pesepakbola negeri ini yang juga belum bisa menemukan hanya sebelas orang untuk bersaing di tingkat dunia.

Padahal sejatinya, kodrat evolusi otak manusia, jika diarahkan dan dibimbing semestinya, akan terjadi perkembangan yang luar biasa agar dapat fokus pada bidang yang digelutinya. Untuk itu, kita mengetuk peran dan tanggung jawab para orang tua, pendidik, dan para pemimpin agar turut andil untuk menumbuh-suburkan fungsinya. Hal ini sehaluan dengan pernyataan cendikiawan muslim Komaruddin Hidayat, bahwa nilai-nilai humanitas dan kesantunan memang berseberangan dengan doktrin-doktrin agama yang diajarkan, jika pemahamannya mengalami salah tafsir. Bisa juga ditambahkan, jika pola pikir yang diajarkan hanya bertumpu pada fungsi otak tengah dan belakang, tanpa menghiraukan perkembangan otak bagian depan.

Gugatan ini menjadi valid manakala Said Aqil Siradj melontarkan ungkapan bersayap. Mengapa seorang atheis yang non-religius, sanggup untuk memelihara nilai-nilai kemanusiaan ketimbang mereka yang merasa dirinya saleh dan taat beragama, tetapi tega melakukan tindakan teror dan perusakan?

Terorisme dan Kedangkalan Berpikir

Para pelaku tindakan teror yang marak beberapa tahun terakhir ini, sangat berkaitan erat dengan ketidakmampuan sebagian masyarakat dalam menalar dan berpikir rasional. Dunia pendidikan wajib mengutamakan kemampuan siswa agar berpikir logis dan rasional, karenanya mereka tidak terjebak pada perspektif tunggal yang mengkerangkeng daya nalar mereka.

Menurut pakar ilmu neurosains, Taufiq Pasiak, yang juga memimpin Masyarakat Neurosains Indonesia (MNI), otak anak-anak didik kita bersifat plastis dan mudah dibentuk. Struktur otak dapat berubah akibat kondisi lingkungan yang berubah-ubah pula. Setiap lembaga pendidikan (dan pesantren) wajib menciptakan situasi yang kondusif agar terjadi pemekaran otak anak-anak didik kita, hingga nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas kemanusiaan mesti menjadi acuan utama bagi pemenuhan sistem pengajaran dan pendidikan di negeri ini.

Kita dapat memahami bagaimana seorang Imam Samudra, Ali Imron dan Amrozi merasa kewalahan menanggapi pertanyaan para wartawan, jika pertanyaan itu menyangkut dimensi pemikiran yang lebih mendalam. Misalnya, bagaimana seandainya korbannya adalah orang-orang tak berdosa, bagaimana jika ada anak-anak yang terkena serpihan granat atau bom yang diledakkan?

Seorang teroris yang akan bertindak, memiliki kualitas yang berbeda dalam proses percepatan mengambil keputusan hingga akhirnya melakukan suatu tindakan. Kecepatan berpikir sangat bergantung dari kebiasaan seseorang menggunakan otaknya atau tidak, terbiasa berpikir dangkal atau mendalam. Karena itu, seorang teroris – dalam ilmu neurosains – adalah orang yang dungu dan bebal, sebab ia tidak mahir dalam mengukur risiko dari tindakannya. Celakanya, jika teroris yang bebal itu dapat memimpin suatu kelompok atau jamaah tertentu yang memengaruhi pola-pikir ribuan anggotanya, terlebih jika ia memegang kewenangan dalam soal pendanaan.

Sebagaimana para pelaku teror atas nama negara yang tergambar dalam novel Pikiran Orang Indonesia, mereka pun tergesa-gesa dalam berpikir, serta terburu nafsu bertindak untuk mengambil hak hidup orang lain. Ia tidak mampu memikirkan risiko dari tindakannya karena cara berpikirnya yang enteng dan tergesa-gesa tadi. Di sisi lain, ada juga tipikal pelaku teror yang lebih memilih bertindak dulu baru kemudian dipikirkan. Hal ini menunjukkan bahwa stimulus yang ada langsung direspons dengan tindakan impulsif yang terkadang bersifat destruktif, sampai akhirnya menimbulkan penyesalan. Hal ini dibuktikan dari ekspresi dan gestur seorang Ali Imron dan Amrozi dalam menjawab pertanyaan para wartawan.

Mental Warisan Orde Baru

Kita bisa memahami pola pendidikan di masa Orde Baru yang melahirkan generasi bangsa selevel Imam Samudra hingga Amrozi. Dalam ilmu neurosains dijelaskan mengenai fungsi sistem limbik di otak bagian tengah yang membuat seorang teroris berani melakukan tindakan tergesa-gesa tanpa mengukur risiko. Sistem limbik ini cenderung merespons hal-hal yang berkaitan dengan kecemasan dan ketakutan. Karena itu, rasa takut dan phobia terhadap hantu fasisme, komunisme, kapitalisme, akan memekarkan rasa takut yang berlebihan, sampai-sampai seorang anak-bangsa tega mendahului kekerasan seberapa besar pun risiko yang akan ditanggung olehnya.

Sistem limbik itu terus merespons adanya pihak-pihak yang membahayakan hidupnya hingga mencapai titik kritis. Delusi yang diderita seorang teroris sehaluan dengan penderita paranoid dan skizofrenia yang menganggap “mereka” bukanlah “aku”. Mereka seakan layak untuk disapu dan dimusnahakan karena jenis mereka adalah “liyan” (orang lain). Emosi yang berhubungan dengan rasa khawatir dan rasa takut inilah yang membuat para tokoh dalam novel Pikiran Orang Indonesia benar-benar nekat melakukan tindakan semata-mata untuk kenyamanan pribadi, kelompok dan atasannya. Mereka mempertahankan citra komunitas dan keyakinannya yang telah dipupuk selama bertahun-tahun.

Delusi kejiwaan yang mencapai taraf paranoid hingga skizofrenia – sebagaimana tokoh Arthur Fleck dalam film Joker – pola pikirnya akan sampai pada kesimpulan bahwa seisi dunia ini dipenuhi orang-orang jahat dan sesat, karenanya layak untuk diluluhlantakkan secara serentak.

Tak beda jauh dengan dominasi otak kaum koruptor yang tak pandai mengukur risiko. Ketika mereka berhadapan dengan sesuatu yang menuntut kejujuran dan kebenaran, pikiran sadarnya akan terusik. Hal ini membuktikan, meskipun ada bagian otak mereka yang condong pada kebohongan, sesungguhnya struktur otak manusia – pada umumnya – telah didesain Sang Pencipta agar berlaku dan bertindak jujur dan benar.

Otak depan yang proses evolusinya hanya dialami oleh makhluk manusia, sangat berperan aktif dalam menimbang, menganalisis, mengambil keputusan, hingga memperhitungkan baik atau buruk, untung atau rugi dan seterusnya. Proses ini dapat pula dikatakan sebagai proses berpikir dan menalar, ketika stimulus yang muncul diseleksi, sampai kemudian dipikirkan tentang perlunya tindakan yang akan dilakukan. Jika tindakan yang akan dilakukan menimbulkan kerusakan, maka akan terjadi pertentangan batin yang sebenarnya sudah ada penolakan dalam dirinya.

Proses menalar dan berpikir dengan akal sehat inilah yang dilakukan Haris, tokoh utama dalam novel Pikiran Orang Indonesia yang telah mengalami metamorfosis dari pola pikir Disraelli dan Orde Baru (right or wrong is my country) menuju pemikiran manusia beradab dan berperikemanusiaan (right or wrong is right or wrong).

Related Posts

1 of 8