EsaiPuisi

Perpuisian Sigit Emwe, Puisi Yang Menitipkan Suasana Hatinya Kepada Suasana Kosmis

Esai: Abdul Wachid B.S.

Ada kalanya seorang penyair itu begitu telaten mengamati hal-hal yang tidak diperhatikan oleh orang lain. Hal yang diperhatikan itu, boleh jadi, memang benar-benar hal kecil, atau hal yang sederhana, atau hal yang kecil atau sederhana namun ada makna di dalamnya yang tidak sederhana dan tidak kecil.

Penyair yang demikian itu, tentu akan telaten mengamati objek yang bagi orang lain itu sebagai hal yang kecil dan sederhana. Tetapi, karena sang penyair pikirannya tidak sederhana, tetapi karena hati sang penyair tidaklah sederhana, maka objek yang sederhana itu menjadi sesuatu yang ketika sang penyair mengungkapkannya ke dalam bahasa puisi menjadi ada makna di dalam puisinya. Ada hikmah di dalam puisinya. Hikmah adalah pengetahuan yang didasarkan atau bersumber dari “Cinta”.

Boleh jadi, sang penyair mengungkapkan ke dalam bahasa sajaknya berdasarkan kepada fenomena yang dia indra sebagai suatu realitas alam dan realitas budaya yang bisa kita lihat dengan mata. Akan tetapi, karena pandainya sang penyair itu mengungkapkannya berdasarkan kepada hubungan yang bersifat maknawi, maka ungkapan-ungkapannya berdasarkan kepada objek itu menjadi terkesan mengandung perlambangan. Padahal, boleh jadi, sang penyair telah mengatakannya “apa adanya”, sebagaimana sajak pertama di dalam buku puisi karya Sigit Emwe berikut ini.

      PAGI
pagi dingin  itu adalah suara
Mu
Yang mengalun lewat
semushaf huruf
suci
memanggilku
pagi dingin itu adalah cahaya
Mu
yang terbesit
dalam bening
ajaran-Mu
menyinariku
pagi dingin itu adalah keharuman
Mu
yang terangkum
dalam wangi
taman bunga
membiusku
sementara malam semakin
terasa panjang
   Purwokerto, Bilik Kreasi ‘ Maret 2003

Sigit Emwe bukanlah penyair yang produktif, tetapi mengabaikan karya puisinya, saya kira menjadi disayangkan sebab puisinya memiliki keunikan dan kekhasan. Di samping itu, sajak-sajak penyair yang lahir dan bertempat tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah, ini sering menghiasi harian Suara Pembaruan, Jakarta, salah satu koran yang menjadi barometer pemuatan puisi di Indonesia. Selain menulis karya sastra, Sigit Emwe berprofesi sebagai guru bahasa dan sastra Indonesia dan Jawa di SMA Negeri 1 Purbalingga.

Di dalam sajak tersebut, Sigit Emwe cermat mengungkapkan gerak hatinya terhadap sesuatu yang setahap demi tahap dia ungkapkan, untuk mewakili perasaannya sebagai “manusia biasa”, yang di satu sisi memiliki file kesadaran bahwa ada kebenaran di balik keindahan, sekalipun tidak jarang bahwa keindahan itu pun akan begitu mudah membius kita sebagai manusia.  Karenanya, “pagi dingin itu adalah cahaya/ Mu/ yang terbersit/ dalam bening/ ajaran-Mu”, namun pada akhirnya “membiusku”, dan karenanya pula menjadikan “malam semakin/ terasa panjang”.

Baik, “pagi”, “suara”, “hurup suci”, maupun “memanggilku” pada bait pertama sajak di atas, yang boleh jadi tidak ada keinginan untuk menjadikannya sebagai lambang. Akan tetapi, nyata di dalam sajak dengan tipe seperti itu, setiap kata sebagai kata, setiap kata yang mewakili fungsi makna, kesemuanya itu dapat dipersepsi dan diposisikannya sebagai lambang. Lambang-lambang di dalam sajak seperti itu tidaklah dengan sengaja dibuat oleh penyair untuk memberi efek makna, namun yang pertama kali “kejujuran” sang penyair yang secara cermat memilih objek-objek itu, bahwa objek-objek itu memberi suasana hatinya, atau suasana hati sang penyair itulah yang menjadikan dia menuliskan objek-objek itu demi mewakili suasana hatinya. Jadi, menjadi nyambung, saling memberi dan menerima antara alam hati sang penyair dan alam yang di luar sana, antara mikrokosmos dan makrokosmos.

Sajak-sajak Sigit Emwe dibangun dengan kesadaran serupa itu. Sekalipun hubungan-hubungan itu pun antara “Ada Yang Seperti Tiada”, seringkali tidak jelas, samar-samar. Akan tetapi, oleh penyair selalu dicobanya untuk memberi makna, bersandar kepada “mungkin” yang eksistensialisme ala Goenawan Mohamad, atau sebaliknya bersandar kepada “barangkali” yang tawakal ala Amir Hamzah.

     ADA YANG SEPERTI TIADA
seperti juga mereka
mengekalkan cinta lewat nada

pun dengan cinta ini, dik
kuabadikan cinta pada selembar daun yang
di pucuknya embun menetesi rindu
yang memburu

pun dengan cinta ini, dik
dengan jemari kuubah cinta
menjadi puisi suci
barangkali

namun semalam, dik
angin mengetuk-ketuk pintu
mengguncang daunku, dan membius
lima jemariku yang kudus

   Purwokerto, Bilik Kreasi ‘ Januari 2003

Sajak “Ada Yang Seperti Tiada” di atas memberikan gambaran tentang hubungan suasana hati dan suasana di luar hati yakni suasana yang meruang dan mewaktu. Simak bait terakhir dari sajak tersebut “// namun semalam, dik/ angin mengetuk-ketuk pintu/ mengguncang daunku, dan membius/ lima jemariku yang kudus.” Di dalam puisi semacam ini, tema-tema keabadian menjadi penting, seperti kelahiran, cinta, dan kematian, dititipkan suasananya kepada objek-objek yang dianggap mampu mewakili suasana hati penyair, sebagaimana juga ada di dalam sajak berikut ini.

    KEPADA WAKTU
aku coba labuhkan rindu pada senja
meski dedaunan kering jatuh tanpa suara
ada jarak yang coba kita lipat
ada belenggu mengikat
begitu erat

kepada waktu yang mengguratkan rasa
aku terus berharap kepadanya
ada nyayi sunyi yang menjelma melodi
ada nyeri membawaku
ke taman surgawi

kepada waktu
aku mematri jiwa dalam nestapa
meski jejak terus menguban
menantimu dalam ketiadaan
dalam waktu yang terus berlalu

  (Surakarta, Juli 2012)

Musuh utama perpuisian semacam ini adalah pemakaian metafora yang usang, metafora yang sudah seringkali dipakai oleh penyair sebelumnya dan sudah menjadi trade merk-nya, misalnya Selembar Daun karya Wing Kardjo, atau Selembar Daun Jati karya Ulfatin Ch. Bagaimana agar penyair juga sah bicara tentang kematian namun tidak melulu dititipkan kepada “dedaunan kering jatuh tanpa suara”.

Salah satu di antara keberhasilan sajak Sigit Emwe ketika penyair menitipkan suasana hatinya kepada suasana kosmis yang dibangun di dalam dunia sajaknya adalah sajak “Aku Ingin Berhenti Kepada Titik”. Memang, “titik” sebagaimana fungsinya ialah menjadi tanda kesenyapan dari sebuah kalimat. Sajak berikut ini unik, dan berhasil membangun metafora yang selayaknya usang dengan perlambangan “titik”, namun penyair mampu menghembuskan suasana baru dalam mempersepsi dan memposisikan kata “titik” sebab “…/tiada lagi titik-titik lain/ …” Kekuatan kesejukan dari hembusan nyawa dari sajak ini sehingga hidup, puncaknya justru di bait kedua, dan ketika menuju bait ketiga meredup, persis mewakili suasana tidur yang tiada berkesudahan : “…/dari abjad-abjad suci/ menuju spasi abadi/…”

    AKU INGIN BERHENTI PADA TITIK ITU
aku ingin berhenti pada titik itu
titik di mana telah aku eja huruf-huruf dengan lafal cinta
tiada lagi titik-titik lain
seperti tik-tak-tik-tak huruf-huruf hitam yang aku tulis

aku ingin berhenti pada titik itu
titik di mana semua orang suci memindahkan diri
dari abjad-abjad suci
menuju spasi abadi

aku ingin berhenti pada titik itu
titik di mana cintanya ada bersamaku.

  (Purbalingga, Bilik Lentera November 2012)

Abdul Wachid B.S., lahir 7 Oktober 1966 di Bluluk, Lamongan, Jawa Timur. Achid alumnus Sastra Indonesia Pascasarjana UGM (Magister Humaniora), jadi dosen-negeri di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto, dan sekarang sedang studi Program Doktor Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Negeri Sebelas Maret Solo.

Buku-buku karya Achid : (1) Buku puisi, Rumah Cahaya (1995). (2) Buku esai, Sastra Melawan Slogan (2000). (3) Buku kajian sastra, Religiositas Alam : dari Surealisme ke Spiritualisme D. Zawawi Imron (2002). (4) Buku puisi, Ijinkan Aku Mencintaimu (2002). (5) Buku puisi, Tunjammu Kekasih (2003). (6) Buku puisi, Beribu Rindu Kekasihku (2004). (7) Buku kajian sastra, Membaca Makna dari Chairil Anwar ke A. Mustofa Bisri (2005). (8) Buku esai, Sastra Pencerahan (2005). (9) Buku kajian sastra dan tasawuf, Gandrung Cinta (2008). (10) Buku kajian sastra, Analisis Struktural Semiotik: Puisi Surealistis Religius D. Zawawi Imron(2009). (11) Buku puisi, Yang (2011). (12) Buku puisi, Kepayang (2012). (13) Buku puisi, Hyang (2014).

Website: www.wachid.8m.com; E-mail: [email protected] dan [email protected]; Twitter @abdulwachidbs; Facebook: www.facebook.com/abdulwachidbs

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 183