Perokok yang Nasionalis; Menyumbang Cukai dan Pajak Ke Kas Negara

Aksi Komunitas Kretek Tolak Hari Anti Tembakau Sedunia/ Foto: Dok. Aktual.com

Aksi Komunitas Kretek Tolak Hari Anti Tembakau Sedunia/ Foto: Dok. Aktual.com

Catatan Hari Anti Tembakau Sedunia 31 Mei 2017

Di hari ke 5 bulan Ramadan yang damai ini, kita semua, wa bil khusus penentang rokok yang ideologis, merayakan hari penting—Hari Anti Tembakau Sedunia. Lho, kenapa para penentang rokok, pemuja ideologi kesehatan, kok menyerang tembakau? Tanya mereka saja, mengapa membenci rokok sekaligus memusuhi petani di pelosok-pelosok desa Temanggung, Madura, Jawa Timur, yang tulus ikhlas lillahi ta’ala menanam tembakau sebagai amanah Tuhan.

Perdebatan soal itu, kita singkirkan dulu. Kita bahas secara serius, akademik, ilmiah dan obyektif tentang sumbangan para perokok kepada negara. Perokok-perokok nasionalis yang dimusuhi rezim kesehatan dan di cap haram oleh kaum agamawan eksrem kanan, ternyata diam-diam, berkontribusi besar bagi keuangan negara. Cukai rokok yang mencapai 140-an trilyun rupiah tahun kemarin, yang besarya jauh melampaui pajak migas, belum lagi pajak rokok yang belum banyak diketahui oleh publik.

Konsumen rokok sebagai warga negara Indonesia yang dijamin hak-hak asasinya merasa dirugikan dengan munculnya pajak rokok. Di dalam UU No 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), pajak rokok sebagai pungutan atas cukai rokok yang dipungut pemerintah masuk dalam jenis pajak provinsi. Lantas dimanakah letak keberatan atas pajak rokok, dan siapakah yang paling dirugikan?

Rokok sebagai barang legal—setidaknya tidak ada norma yang melarangnya dalam memproduksi, mengedarkan dan mengonsumsinya—mendapatkan perlakuan yang diskriminatif dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Tidak terkecuali dalam UU PDRD. Rokok sebagai barang yang memiliki sifat dan karakteristik tertentu, menurut rezim UU 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas UU No 11 Tahun 1995 tentang Cukai, dikenai pungutan cukai. Jadi cukai dalam pengertian tersebut merupakan pungutan terhadap barang-barang yang sifat dan karakteristiknya meliputi; konsumsinya perlu dikendalikan, peredarannya perlu di awasi, pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif, pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Maka akan terjadi pungutan ganda atau pajak ganda ketika dalam UU PDRD menetapkan rokok menjadi obyek pungutan pajak daerah provinsi. Obyek yang sama (rokok) dikenakan pajak yang berbeda, yakni cukai yang dipungut oleh pemerintah pusat, dan pajak daerah oleh pemerintah daerah provinsi. Pertanyaannya, dimana letak konsistensi norma hukumnya? Rokok yang memiliki karakteristik tertentu dikenai pungutan cukai, ataukah dikenakan pajak dalam konsumsinya?

Tentu wajar saja jika muncul upaya hukum melalui constitutional judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk menguji UU No 28 Tahun 2009 tentang PDRD, karena pasal yang berkaitan dengan pajak rokok bertentangan dengan asas keadilan dan kepastian hukum.

Dalam hal ini pajak ganda terjadi karena adanya perebutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jika UU PDRD benar-benar dijadikan payung hukum dalam pembentukan perda-perda pajak rokok di daerah, maka tentunya akan lahir banyak perda pajak rokok yang sekedar copy paste dari daerah satu dengan daerah lain. Dimanakah letak otonominya jika terdapat keseragaman dalam hal pajak daerah (rokok)? Bukankah urusan fiscal (keuangan) adalah sepenuhnya milik pusat dalam konsepsi unitarian state?

Prinsip hukum menyatakan bahwa tidak boleh ada pungutan pajak yang dilakukan dua kali (ganda) atas suatu obyek yang sama karena akan memberatkan setiap orang atau badan yang terkena pajak. Kasus yang sama dapat dilihat dalam Putusan MK Nomor 52/PUU-IX/2011 mengenai pengujian UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, khususunya mengenai pajak hiburan berupa permainan golf yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Di dalam Pasal 26 UU PDRD disebutkan bahwa obyek pajak rokok adalah konsumsi rokok yang meliputi sigaret, cerutu dan rokok daun. Sementara itu dalam Pasal 27 UU PDRD, subyek pajak rokok disebutkan adalah konsumen rokok. Tetapi yang menjadi wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importer rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Menurut Rochmat Soemitro, subjek pajak berbeda dengan wajib pajak. Subyek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subyektif. Subjek pajak baru menjadi wajib pajak kalau dia sekaligus memenuhi syarat-syarat obyektif.

Dalam mata rantai industry rokok, yang secara de facto membayar cukai adalah konsumen, walaupun secara teknis pembayaran cukai dibayar dimuka oleh pabrik. Demikian juga yang terjadi dalam UU PDRD yang menyebutkan “Pajak Rokok dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.”. Artinya teknis pemungutan pajak rokok bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. Bahkan institusi yang berwenang memungut pajak rokok sama dengan instansi yang memungut cukai rokok. Teknis transfernya dari pusat ke daerah pun mirip dengan Cukai beserta konsep Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT)nya. Pasal 27 ayat (4) UU PDRD menyatakan “Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk”.

Telusuri Berita Terkait:  Tembakau

Dalam hipotesis penulis, pajak rokok yang diatur dalam UU PDRD ini substansinya adalah cukai sebagaimana dalam UU No 39 Tahun 2007. Ada beberapa alasan, pertama; pajak rokok dan cukai sama-sama dipungut oleh instansi yang sama. Kedua, pembagian dari pusat ke daerah, baik cukai maupun pajak rokok memakai mekanisme transfer yang sama. Bedanya, kalau cukai menggunakan istilah Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau DBHCHT), sementara dalam UU PDRD transfer dari pusat ke daerah disebut pajak daerah. Ketiga, dalam DBHCHT peruntukannya ditentukan oleh UU Cukai, bersifat spesifik, salah satunya untuk program kesehatatan akibat dampak asap rokok dan pemberantasan cukai palsu. Di dalam UU PDRD Pasal 31 juga disebutkan bahwa pajak rokok dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang.

Dimanakah letak ketidakpastian hukumnya? Pajak itu pungutan yang tidak boleh memberikan kontraprestasi langsung kepada pembayar pajaknya. Karena pajak itu memiliki fungsi budgeter untuk pembangunan infrastruktur secara umum, tidak boleh bersifat spesifik. Tetapi mengapa dalam hal ini UU PDRD mengarahkan pajak rokok untuk tujuan yang spesifik pembangunan kesehatan? Penulis menawarkan hipotesa, bahwa sebenarnya UU PDRD lahir karena keinginan untuk menaikkan tarif cukai rokok sudah mentok, sehingga tidak ada cara lain untuk mengendalikan peredaran rokok dengan cara melahirkan pajak rokok. Namun sayangnya pajak rokok lahir dengan cara yang melawan hukum dan mengabaikan asas keadilan dan kepastian hukum. Artinya UU PDRD khususnya norma yang mengatur pajak rokok bisa diartikan perampokan atas nama negara. Di Inggris terkenal adagium “No taxation without representation”, dan falsafah pajak Amerika mengenal “Taxation without representation is robbery”. Pajak rokok yang lahir tanpa aspirasi masyarakat yang menuntut keadilan adalah perampokan.

*Gugun El Guyanie, penulis adalah pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU DIY.  

Exit mobile version