EkonomiHukum

Permen ESDM Nomor 10 dan 12 Dinilai Sebagai Bentuk Kontrol Negara Atas Listrik

Anggota Komisi VII DPR RI, Dony Maryadi Oekon/Foto Via Rakyatjabar/Nusantaranews
Anggota Komisi VII DPR RI, Dony Maryadi Oekon/Foto Via Rakyatjabar/Nusantaranews

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, telah menandatangani dua Peraturan Menteri (Permen) ESDM terkait pengaturan jual beli dan penyediaan tenaga listrik sistem ketenagalistrikan yakni Permen ESDM Nomor 10 Tentang Pokok-pokok Dalam Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Baru Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.

“Aturan (itu) diterbitkan dengan maksud agar terdapat kesetaraan risiko aspek komersial antara PLN dan IPP untuk seluruh jenis pembangkit listrik. Sementara, untuk pembangkit EBT yang intermiten dan Hidro di bawah 10 MW diatur dalam peraturan tersendiri,” ungkap Anggota Komisi VII DPR RI, Dony Maryadi Oekon, dalam Seminar Nasional bertema Dampak Permen Nomor 10 dan 12 Tahun 2017 Terhadap Pengusahaan Panas Bumi di Indonesia yang digelar Rumah Berdikari, Jakarta, Kamis (23/03/2017).

Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan, pengaturan jual beli tenaga listrik ini merupakan bentuk kontrol negara dalam penyediaan listrik untuk kepentingan umum. “Ini sebagai tindak lanjut dari Amar Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 111/PUU-XIII/2015 mengenai Pasal 10 Ayat 2 dan Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Ketenagalistrikan,” ujar Dony.

Baca Juga:  Loloskan Ekspor Kepiting Berkarapas Kecil, Pengusaha dan Balai Karantina Ikan Diduga Kongkalikong

Lebih jauh, Anggota DPR dari Dapil Garut dan Kabupaten/Kota Tasikmalaya itu menuturkan, pola kerja sama yang diatur dalam Permen ini menggunakan prinsip Membangun, Memiliki, Mengoperasikan, dan Mengalihkan. Pola ini, lanjut Dony, memastikan bahwa seluruh aset pembangkit menjadi milik negara setelah masa kontrak 30 tahun.

Menurut Dony, dalam Permen tersebut juga mengatur adanya insentif dan pinalti. Jika terjadi percepatan Commercial of Date (COD) karena diminta PLN, maka IPP berhak mendapat insentif. Bentuk insentif ditentukan secara Business to Business. Sedangkan, dalam hal keterlambatan usaha COD, Badan Usaha dikenakan pinalti yang besarnya senilai biaya pembangkitan oleh PT PLN untuk mengganti daya yang dibangkitkan akibat keterlambatan pelaksanaan COD.

“PLN wajib membeli energi listrik sesuai kontrak (take or pay). Sementara itu, IPP wajib menyediakan energi sesuai kontrak (deliver or pay). IPP atau PLN wajib membayar pinalti apabila IPP tidak dapat mengirimkan atau menyerap listrik sesuai kontrak,” katanya.

Baca Juga:  Gawat, Oknum Caleg Bawa Kabur Anak Usai Kalah Persidangan

Sementara itu, besarnya pinalti proporsional sesuai komponen investasi. Sebagimana, Putusan MK Mengenai Judicial Review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).

“Pertimbangan-pertimbangan yang pada sebagian pokoknya, Konsepsi ‘Dikuasai oleh Negara’ dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945,” ungkapnya. (DM)

Editor: Romandhon

Related Posts

1 of 438