Politik

Perludem: Sebuah Keniscayaan Menghapus Presidential Threshold

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Parpol-parpol koalisi pemerintah seperti PDIP, PKB, Golkar, NasDem, Hanura dan PPP berhasil meloloskan UU Pemilu melalui mekanisme voting. Voting ini diketahui tidak diikuti Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat karena mereka memilih walk out. Meski keempat parpol itu absen, hasil voting parpol koalisi pemerintah tetap dijadikan acuan pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang.

Absennya Gerindra, PKS, PAN dan Demokrat bisa dipahami. Pasalnya, isu paling kotroversial yang termuat dalam UU Pemilu yang baru saja disahkan itu ialah soal presidential threshold (ambang batas presiden) sebesar 20 persen. Dan jika mengacu pada Putusan MK bernomor 14/PUU-XI/2013 yang mengatur pemilu serentak 2019, jelas ambang batas presiden buah karya pemerintah bertentangan dengan konstitusi. Pertanyaanya, pantaskah sesuatu hal yang melanggar konstitusi dilakukan voting?

Secara spesifik, sidang paripurna DPR membahas lima isu krusial dari UU Pemilu, yakni 1). Sistem Pemilu Legislatif 2). Ambang Batas Pencalonan Presiden 3). Parliamentry Threshold 4). Metode Konversi Suara Menjadi Kursi, dan 5). Besaran Daerah Pemilihan.

Baca Juga:  Jokowi Tunjuk Adhi Karyono Pj Gubernur Jatim, Gus Fawait: Birokrat Cerdas Dan Berpengalaman

Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, DPR dan Pemerintah relatif sudah sepakat terkait dengan sistem pemilu legislatif dengan proporsional daftar terbuka, dan parliementary treshold dengan angka 4%.

“Perbedaan yang sangat cukup tajam masih terjadi untuk ambang batas pencalonan presiden dan metode konversi suara menjadi kursi, berikut dengan besaran daerah pemilihan. Pemerintah dan mayoritas partai politik pendukungnya menginginkan masih adanya ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional. Padahal, ambang batas pencalonan presiden jelas sebuah keniscayaan untuk dihapuskan dalam konsep pemilu serentak,” kata Titi saat diminta pendapatnya terkait presidential threshold 20 persen yang dinilai melanggar konstitusi, Jakarta, Jumat (21/7/2017).

Titi menjelaskan, argumentasi sederhananya, tidak ada basis angka hasil pemilu legislatif yang bisa dijadikan dasar untuk prasyarat pencalona presiden, karena pemilunya dilaksanakan secara serentak. Sebagaimana Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 Pemilu 2019 akan dilaksanakan secara serentak, di mana Pemilihan DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD akan dilaksanakan diwaktu yang bersamaan.

Baca Juga:  Jamin Suntik 85 Persen Suara, Buruh SPSI Jatim Dukung Khofifah Maju Pilgub

Hal ini juga kemudian yang membawa ketentuan ambang batas pencalonan presiden bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945, yang menjamin hak setiap partai politik peserta pemilu bisa mengajukan pasangan calon presiden.

“Selain bermasalah secara kontitusional, secara politik ketentuan ambang batas pencalonan presiden juga akan menimbulkan banyak potensi. Pertama, Presiden Jokowi akan dianggap membatasi kesempatan partai atau warga negara lain bisa maju menjadi pasangan calon presiden dengan membuat ketentuan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah pemilu nasional,” terang dia.

Kedua, ketentuan ambang batas pencalonan presiden ini juga berpotensi akan menyulitkan Presiden Jokowi sendiri jika nanti mencalonkan diri kembali menjadi presiden periode 2019-2024. Presiden Jokowi harus berusaha untuk mengumpulkan dukungan politik sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah nasional.

“Tidak ada yang bisa menjamin, bahwa Presiden Jokowi akan dengan mudah mengumpulkan syarat dukungan pencalonan presiden senilai 20 persen kursi parlemen atau 25% suara sah pemilu nasional,” ungkapnya.

Baca Juga:  Dukung Duet Gus Fawait-Anang Hermansyah, Partai Gelora Gelar Deklarasi

Terakhir, kata dia, perdebatan dalam pembahasan RUU Pemilu (sebelum disahkan), secara jelas memperlihatkan kepada publik, bahwa RUU Pemilu yang dibahas hanyalah untuk kepentingan jangka pendek para pembentuk UU, khususnya partai politik peserta pemilu di DPR.

“Tidak ada perdebatan tajam nan serius, untuk membangun sebuah sistem elektoral yang jauh lebih kuat, berkeadilan, dan demokratis berdasarkan pengalaman pemilu dan proses elektoral sebelumnya. Salah satunya adalah, naiknya jumlah minimal sumbangan dana kampanye kepada peserta pemilu, tidak diiringi dengan pengaturan akuntabilitas, transparansi, pengawasan, penegakan hukum, dan sanksi kepada peserta pemilu yang melanggar,” pungkasnya.

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 7