EkonomiPolitik

Perlakuan Tak Seimbang Antara Tionghoa dan Bumiputra Bisa Memperbesar Potensi Konflik Sosial

Perlakuan Tak Seimbang Antara Tionghoa dan Bumiputra Bisa Memperbesar Potensi Konflik Sosial
Seminar Pra Kongres Boemipoetra di hotel Santika, Yogyakarta, Senin (23/4/2018). (Foto: Romandhon/NusantaraNews)

NUSANTARANEWS.CO, Yogyakarta – Guru Besar Ilmu Politik UI Maswadi Rauf menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bumiputra adalah mengacu pada kelompok warga masyarakat yang mendiami daerah tertentu secara turun-temurun dalam jangka yang sangat panjang. Ia menjelaskan bahwa setiap daerah dan negara mempunyai bumiputra dan pendatang. Sehingga interaksi keduanya merupakan hal biasa.

Lantas di mana kedudukan bumiputra? Pada umumnya bumiputra tertinggal dalam masalah ekonomi dan pendidikan dibanding dengan pendatang. Corak umum pendatang mempunyai sifat lebih berani dalam menghadapi tantangan, memiliki kreatifitas lebih tinggi, bekerja lebih keras dan tidak mudah menyerah terhadap kesulitan.

Itulah sebabnya, menurut Maswadi Rauf, para pendatang lebih maju dibanding bumiputra. Situasi ini yang menyebabkan munculnya tuntutan agar bumiputra mendapatkan hak-hak istimewa dan perlindungan khusus dari negara.

Baca juga: Pra Kongres Boemipoetra Nusantara, Prof Kaelan: Jangan Sampai Indonesia Benasib Seperti Singapura

Bumiputra di Indonesia terdiri dari penduduk asli yang telah mendiami Nusantara dalam waktu yang panjang, meskipun mereka juga datang dari daratan Asia. Para pendatang yang datang ke Nusantara lebih belakangan telah menjadi bagian dari masyarakat yang mendiami Nusantara (kemudian Indonesia). Para pendatang ini terutama adalah orang Tionghoa, Arab, dan Belanda.

Baca Juga:  TKD Jatim Blusukan Pasar, Warga Pogot Acungkan Dua Jari Prabowo-Gibran

“Karena bumiputra jumlahnya besar yang sebagian besar lemah secara ekonomi dan pendidikan, ada keinginan dari mereka untuk mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Ini suatu yang wajar, karena pemerintah berfungsi memajukan semua rakyat, sehingga memberikan fasilitas khusus di bidang pendidikan, pekerjaan dan perekonomian bagi bumiputra,” ungkap Maswadi saat didapuk jadi pembicara dalam seminar Pra Kongres Boemipoetra di hotel Santika, Yogyakarta, Senin (23/4/2018).

Mengenai perlakuan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia tren yang berkembang saat ini ada semacam perlakuan khusus. Meski, Maswadi Rauf tak menampik bahwa memang ada kecenderungan untuk mengutamakan bumiputra selama sejarah Indonesia modern, seperti dalam UUD 1945 yang lama bahwa syarat menjadi presiden adalah orang Indonesia asli.

“Akhir dekade 1950an dan awal dekade 1960-an, ada ketentuan yang melarang orang Tionghoa berusaha di tingkat kecamatan yang mempersulit mereka dalam perdagangan. Inpres Nomor 14/1967 melarang kebudayaan, adat istiadat, dan tradisi Tionghoa diselenggarakan di tempat terbuka,” kata dia.

Baca Juga:  Berkolaborasi dengan Laskar Arafat dan Relawan GTM DIY, PMP DIY Gelar Tebus Sembako Murah di Dusun Wonokromo

Baca juga: Datangkan Para Pakar, Pra Kongres Boemipoetra Digelar di Yogyakarta

Seiring berkembangnya demokrasi dan menguatnya hak-hak asasi manusia, etnis Tionghoa mendapatkan perlakuan yang lebih baik. Kedudukan etnis Tionghoa sudah semakin membaik, terakhir dengan keluarnya Keppres Nomor 12/2014 yang mengganti istilah Cina menjadi Tionghoa.

“Kesempatan sebagai warga negara juga terbuka lebar bagi etnis Tionghoa sehingga semakin banyak etnis ini yang menjadi pejabat politik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini sebenarnya memperbesar potensi konflik sosial antara bumiputra dengan etnis Tionghoa. Karena itulah, diharapkan etnis Tionghoa meninggalkan kecenderungan untuk hidup eksklusif dalam hubungan sosial,” tegasnya.

Mawardi Rauf menegaskan, kedudukan dan perlakuan yang lebih baik bagi etnis Tionghoa harus diimbangi dengan perhatian yang lebih besar dari pemerintah terhadap bumiputra di bidang ekonomi, pendidikan dan pekerjaan.

Pewarta: Romadhon
Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,073