EkonomiKesehatan

Perkawinan Usia Dini Membayangi Peringatan Hari Anak Nasional

perkawainan usia dini, perkawinan anak, angka pernikahan dini, budaya perjodohan, nikah muda, nikah dini, hari anak nasional, masa depan anak, perkembangan anak, pernikahan remaja, nusantaranews
ILUSTRASI – Pernikahan/Perkawinan. (Foto: Shutterstock/L.Watcharapol)

NUSANTARANEWS.CO, JakartaPerkawainan usia dini meski dianggap lumrah oleh sebagian masyarakat, tetapi bermasalah dalam pandangan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), pemerintah dan sejumlah organisasi lainnya di seluruh dunia. Tak terkecuali di Indonesia. Perkawinan anak dinilai PBB sebagai kebutuhan, kesejahteraan dan masa depan anak mutlak dipenuhi dan diwujudkan terlebih dahulu sebelum anak-anak tersebut memasuki masa dewasa.

PBB kemudian merekomendasikan kepada semua pemerintahan di setiap negara agar meresmikan hari anak. Idenya ialah pemenuhan kebutuhan hak anak dan mewujudkan kesejahteraan anak. Indonesia kemudian mengeluarkan Keppres RI Nomor 44 Tahun 1984 tentang Hari Anak Nasional tertanggal 19 Juli, dan sejak 23 Juli diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Anak Nasional.

Baca juga: Pemohon Pernikahan Dini di PA Sumenep Mencapai 55 Perkara

Angka pernikahan dini di Indonesia tergolong masih tinggi. Secara nasional, angka pernikahan dini di Indonesia berkisar 25 persen. Data BPS dan Unicef mencatat bahwa angka pernikahan dini di bawah 18 tahun mencapai 23 persen. Padahal, menurut Pasal 7 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah diatur bahwa batas usia pernikahan pria adalah 19 tahun dan wanita 16 tahun.

Baca Juga:  Sokong Kebutuhan Masyarakat, Pemkab Pamekasan Salurkan 8 Ton Beras Murah

Pernikahan dini juga melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 47 tahun 2008 tentang wajib belajar, di mana warga Indonesia diharuskan belajar dan berpendidikan.

Baca juga: Puluhan Pemohon Menikah Dini di Madiun, Kepala PA: Ini Bukan Main-main

Berbagai macam faktor yang melatarbelakangi terjadinya pernikahan dini. Salah satunya kemiskinan lantaran menikah dipandang sebagai cara untuk meningkatkan taraf hidup. Sebagian lain menyebut bahwa pernikahan dini terjadi akibat faktor pendidikan yang rendah.

Vice President of Life Operation Division Sequis Eko Sumurat mengatakan realitas pernikahan usia anak dihadapi oleh sebagian anak, terutama anak perempuan yang berpendidikan rendah dan berasal dari keluarga kurang mampu yang tinggal di pedesaan atau di daerah tertinggal. Menurutnya, pernikahan usia anak harus ditentang karena anak adalah generasi bangsa sehingga selayaknya mereka mendapatkan hak untuk bertumbuh, hak bermain, rasa aman, pendidikan terbaik, gizi yang layak serta akses pada layanan kesehatan.

Baca juga: Yayasan Sayangi Tunas Cilik: Stop Pernikahan Dini Anak Perempuan

Baca Juga:  Dukung Peningkatan Ekonomi UMKM, PWRI Sumenep Bagi-Bagi Voucher Takjil kepada Masyarakat

Tak lupa, budaya perjodohan juga dinilai oleh sebagian pihak sebagai salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pernikan usia dini. Perjodohan jelas membuat seorang anak sulit menolak lantaran permintaan orang tua. Faktor sosial juga mempengaruhi terjadinya pernikahan muda ini. Lingkungan sosial yang tidak kondusif karena terpengaruh budaya dari luar, kerap membuat anak mengalami seks bebas dan akhirnya menyebab kehamilan. Solusi paling tepat untuk kondisi tersebut ialah dengan menikah.

“Hubungan seksual yang dilakukan di usia kurang dari 17 tahun dan dilakukan dengan paksaan, tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi mengandung risiko terkena penyakit menular seksual, penularan infeksi HIV, dan kanker leher rahim,” kata Head of Health Claim Department Sequis dr. A.P. Hendratno kepada redaksi. (red/ed/nn)

Editor: Novi Hildani & Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,051