Periksa Todung Mulya Lubis, KPK Dalami Penerbitan SKL BLBI untuk BDNI

Advokat Todung Mulya Lubis tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: NusantaraNews/Restu Fadilah

Advokat Todung Mulya Lubis tiba di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: NusantaraNews/Restu Fadilah

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Kabag Humas dan Publikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Priharsa Nugraha mengatakan pemeriksaan terhadap advokat Todung Mulya Lubis merupakan panggilan ulang dari penjadwalan tertanggal 14 Desember 2017 lalu. Pada saat itu, Todung tidak dapat memenuhi panggilan penyidik dan minta dijadwalkan ulang.

“Yang bersangkutan diperiksa berkapasitas sebagai tim hukum saat itu untuk KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan). Jadi dipertanyakan apa yang dia ketahui seputar pemberian SKL (Surat Keterangan Lunas) BDNI (Bank Dagang Negara Indonesia),” tutur Priharsa di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Jumat, (22/12/2017).

Sementara itu secara terpisah, Todung membenarkan dirinya diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan tim bantuan hukum KKSK.

Todung menjelaskan tim bantuan hukum KKSK waktu itu diangkat oleh pemerintah untuk membantu melakukan penilaian-penilaian kepatuhan terhadap sejumlah obligor bermasalah.

“Banyak waktu itu obligor yang bermasalahkan, saat itu salah satunya BDNI,” ucap Todung.

Saat ditanya bagaimana kepatuhan BDNI yang notabennya merupakan milik Sjamul Nursalim, ia enggan mengungkapkannya. Ia hanya menyebut bahwa tim bantuan hukum KKSK saat itu telah menyelesaikan tugasnya.

“Dan yah saya hanya jelaskan seputar itu saja (kepada penyidik KPK),” pungkasnya.

Dugaan korupsi BLBI bermula saat Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik taipan Sjamsul Nursalim yang sempat terganggu likuiditasnya, dibantu Syafruddin dengan mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL). BDNI mendapat gelontoran dana pinjaman dari BI senilai Rp 27,4 triliun dan mendapat SKL pada April 2004.

Perubahan litigasi pada kewajiban BDNI dilakukan lewat rekstruturisasi aset Rp 4,8 triliun dari PT Dipasena yang dipimpin Artalyta Suryani dan suaminya. Namun, hasil restrukturisasi hanya didapat Rp 1,1 triliun dari piutang ke petani tambak PT Dipasena. Sedangkan Rp 3,7 triliun yang merupakan utang tak dibahas dalam proses resutrukturisasi.

Sehingga, ada kewajiban BDNI sebagai obligor yang belum ditagih. Namun kebijakan penerbitan SKL BLBI untuk BDNI ini diduga telah merugikan negara sebesar Rp 3,7 triliun. Sehingga Syafruddin harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Atas perbuatannya, Syafruddin disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Restu Fadilah
Editor: Achmad S.

Exit mobile version