Berita UtamaOpiniTerbaru

Perihal Revolusi Akhlak dan Industri

Perihal Revolusi Akhlak dan Industri
Perihal revolusi akhlak dan industri/Foto: Hafis Azhari, Pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten
Ketika seorang pemimpin revolusi liberal, Garibaldi mengumandangkan pentingnya kemerdekaan bagi rakyat Italia (1830-an), perkembangan revolusi industri kian marak di wilayah Inggris dan negeri-negeri Eropa lainnya. Dengan sendirinya, revolusi pemikiran manusia seakan tak terbatas. Sehingga, apa saja yang bisa dijangkau oleh kekuatan otak manusia, boleh dilakukan sekehendak hatinya.
Oleh: Hafis Azhari

 

Belasan abad sebelumnya, di wilayah jazirah Arab dan negeri-negeri sekitarnya, telah berkumandang revolusi akhlak dan peradaban manusia yang diperjuangkan Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Beliau membangun corak peradaban yang lebih agung dari sebelumnya, terutama ketika memberikan teladan budi pekerti, melalui konsep yang kemudian dikenal sebagai “al-akhlaqul adzimah”, suatu konsep yang lebih agung dan luhur dari “al-akhlaqul karimah”.

Teladan akhlak tersebut seakan berbanding lurus dengan konsep filosofi “Ahimsa” yang pernah diperjuangkan bapak spiritualis India, Mahatma Gandhi di era modern ini. Pada prinsipnya, Ahimsa berpijak pada jalan damai yang pernah dibuktikan oleh jejak-langkah Rasulullah belasan abad sebelumnya. Hal ini terbukti dari pengakuan Gandhi sendiri setelah membaca biografi Muhammad (Young India, volume XI, 1928):

“Pernah saya bertanya-tanya tentang siapakah tokoh yang paling berpengaruh di dunia ini. Dan saya yakin, tokoh itu menggunakan cara-cara damai dan bukan kekerasan sebagai jalan penyelesaiannya. Akhirnya, saya menemukan bahwa Islam yang dibawa Muhammad sanggup menaklukkan berbagai daerah pada masa itu. Tetapi, ia tidak mengajarkan kekerasan melainkan kesederhanaan, hidup bersahaja, dan kesetiaan pada janji. Ia tidak menonjolkan diri, kasih sayangnya sangat tulus kepada para sahabat dan pengikutnya. Bahkan, ia memiliki kepercayaan yang mutlak kepada kekuasaan Tuhan. Baginya, pedang dan kekerasan bukanlah jalan yang dapat mengantarkan manusia untuk menyelesaikan suatu masalah.”

Gandhi mengakui, bahwa ia bukan hanya sanggup mengapresiasi sejarah hidup Muhammad, tetapi juga mempelajari perjalanan hidup empat sahabat Nabi selaku khalifah, penerus jejak-langkah kepemimpinan beliau. Sepanjang hidup Gandhi, ia berjuang keras menyatukan penganut Islam dan Hindu dalam suatu masyarakat yang damai dan harmonis di India. Baginya, baik penganut Hindu maupun Islam pada dasarnya adalah makhluk manusia yang berasal dari nenek-moyang yang sama. Perhatian khusus terhadap Islam nampak jelas pada minatnya yang begitu besar untuk menafsirkan ayat-ayat Alquran, serta ajaran-ajaran Islam secara filosofis dan kontekstual.

Soal Revolusi Industri

Revolusi industri yang diprakarsai para ilmuwan identik dengan perkembangan fisik (duniawi) yang mengacu pada otak dan kecerdasan manusia. Ketika sampai pada puncak spiritualitasnya, Albert Einstein menegaskan bahwa apa-apa yang bisa dicapai oleh kecerdasan manusia, ternyata tidak semuanya boleh dilakukan sekehendak hawa nafsunya.

Baca Juga:  Ngaku Tak Punya Anggaran, Dinas Pendidikan Jatim Stop Tanggung Pembayaran BPJS Kesehatan GTT dan PNPNSD

Secara eksplisit Einstein menyatakan perbedaan antara fungsi akal dan hati nurani manusia. Di sisi lain, Rasulullah sendiri pernah menyatakan, jika kita menghendaki dunia maupun akhirat, maka keduanya harus dicapai dengan kekuatan ilmu. Tetapi, jika hanya kepentingan duniawi yang ingin ditempuh, maka baginya hanyalah capaian kemegahan yang fana dan sesaat. Berbeda dengan kemegahan negeri akhirat yang bersifat kekal dan abadi.

Sementara, sifat dari ilmu tak ubahnya dengan harta dan kemegahan duniawi. Ia dapat berkembang pesat tanpa kontrol, hingga melampaui zamannya. Jika tanpa diimbangi dengan kekuatan iman (takwa), fungsi ilmu pengetahuan dapat melejit melampaui kehendak dan kendali manusia. Dan itulah yang disebut “ilmu tanpa hidayah” yang kelak bermuara pada juggernaut (istidraj) yang akan menuntut pertanggungjawaban dari pemiliknya, hingga dapat meluluhlantakkan peradaban manusia.

Jadi, ada batas-batas yang tak boleh diterabas oleh kehendak dan kecerdasan otak manusia, ketika bersinggungan dengan wilayah hati nurani yang menghendaki kemaslahatan dan keseimbangan kosmik. Karena itu, dalam terminologi Islam, kita mengenal persinggungan dan keselarasan antara fikir dan zikir. Setiap upaya-upaya pemikiran yang didasari otak dan kecerdasan, harus dibarengi oleh kesadaran, bahwa hakikat pemikiran itu mesti datang karena kehendak dan iradah Allah Yang Maha Cerdas dan Maha Menguasai ilmu.

Dalam konsep antropologi filsafat abad ini yang dikemukakan Hannah Arendt, dikemukakan mengenai jalan keluar dari keterbatasan pikiran manusia, yakni bersikap arif dan rendah-hati, yang harus diwujudkan dalam loyalitas memberi maaf terhadap sesama. Bagi Arendt, tanpa kesanggupan memberi maaf, hidup manusia akan terus-menerus terbelenggu dan terpenjara oleh kesalahan masa lalu. Bahkan, harus menanggung konsekuensi tindakan yang keliru untuk selama-lamanya. Tanpa kemampuan untuk menghapus apa yang telah diperbuat, manusia akan terperangkap ke dalam siklus takdir yang pada akhirnya dapat menjerumuskan dirinya sendiri.

Melalui sikap rendah-hati dan memberi maaf, umat manusia saling membebaskan diri dari apa yang telah terjadi, sampai kemudian terlahir kembali menjadi manusia yang berjiwa merdeka. Hanya dengan kehendak dan keikhlasan untuk saling menghapus kesalahan, manusia dapat membuka lembaran baru dalam kehidupan privat maupun publiknya.

Manusia hidup di tengah-tengah manusia lain yang serba unik dan otentik. Sedangkan, manusia otentik bukanlah individu atomik yang teralienasi dari dunia benda-benda material, melainkan bertindak dan berinteraksi bersama-sama dengan yang lainnya. Oleh karena itu, kekuatan maaf menjadi perekat yang mengintegrasikan individu-individu yang majemuk dan beragam. Di sisi lain, jiwa besar untuk menerima kelemahan dan keterbatasan memang bukan perkara mudah. Membebaskan diri dari kekhilafan, atau mengakui pihak lain sebagai yang lebih benar, dibutuhkan hati yang lapang dan terbuka. Tapi bagaimanapun – menurut Arendt — keutamaan memberi maaf adalah fitrah manusia yang bertindak dan berkomunikasi antar sesamanya dalam ruang kehidupan yang kompleks. Kemampuan bertindak dan berbicara di antara sesamanya inilah keistimewaan yang membedakan manusia dari makhluk Tuhan lainnya (al-insanu hayawan annatiq).

Baca Juga:  Komplotan Oknum Koruptor di PWI Segera Dilaporkan ke APH, Wilson Lalengke Minta Hendry dan Sayid Dicekal

Dengan sifat pemaaf, jiwa manusia akan terbebas dari segala pikiran dan perasaan yang akan menimbulkan ketakseimbangan kosmik. Kemenangan melawan hawa nafsu harus diartikan lebih mendalam, bahwa kita dituntut harus menjadi pribadi-pribadi yang arif dan bijaksana. Bila manusia mengingkari kekurangan dan kesalahan yang ada pada dirinya, hal itu menunjukkan pengingkaran terhadap janji dan amanah, yang mengidentikkan dirinya tak memiliki rasa takut di hadapan Tuhan.

Revolusi Moral dan Akhlak

Bukanlah revolusi perkembangan fisik yang harus diutamakan, melainkan revolusi akhlak dan peradaban, seperti yang diperjuangkan Nabi Muhammad. Coba kita perhatikan, bangunan fisik apa yang diwariskan oleh beliau? Kalaupun saat ini dibutuhkan perangkat sains dan teknologi canggih di Kota Mekah, hal itu hanya untuk memenuhi hajat hidup orang banyak, serta untuk pemenuhan rasa aman bagi jutaan kaum muslim yang beribadah ke kota suci itu. Sementara, bangunan kubus Ka’bah tetap sebagaimana adanya, dengan ukuran 13,16 M x 11,53 meter. Kita tidak melihat adanya kemegahan duniawi pada peninggalan Rasulullah, baik tempat tinggalnya di Madinah, yang kini menjadi bangunan sederhana untuk makam beliau, maupun tempat kelahirannya di Mekah, yang kini menjadi perpustakaan umum (maktabah). Bandingkan dengan peninggalan warisan istana-istana kerajaan dari zaman ke zaman, baik para raja muslim maupun yang non-muslim.

Ada yang berdalih, bahwa tidak ada salahnya kita mengikuti teladan Nabi Sulaiman atau Ratu Bilqis, dengan segala aksesoris kemegahannya. Tapi masalahnya, kita hidup di zaman ini, dan di negeri ini, yang harus memprioritaskan teladan hidup Rasulullah. Tak perlu Anda sibuk mengkhayal seakan-akan menjadi umat Nabi Sulaiman yang hidup puluhan abad lalu. Jangan-jangan malah terjerumus meneladani jejak Raja Firaun, yang merasa dirinya tengah membangun peradaban. Padahal, justru merusak moral dan akhlak diri Anda, karena mengabaikan solidaritas dan kepedulian terhadap sesama!

Lalu, apa yang menjadi cita-cita negara-negara kebangsaan (nation state) dengan segala perangkat demokrasi perlementer maupun demokrasi Barat, yang ujung-ujungnya hanya bermuara pada demokrasi politik semata. Sementara, demokrasi ekonomi semakin menjauh dari cita-cita kemanusiaan yang beradab?

Pada tahun 1940-an, yang kemudian tercatat dalam dokumen Di Bawah Bendera Revolusi, Bung Karno pernah memberi amanat, bahwa rakyat Indonesia tak perlu berpijak pada impian-impian muluk sebagaimana bangsa-bangsa di negeri adikuasa, yang armadanya ditakuti dunia. Ibukotanya terlihat megah dan hebat, bank-bank-nya meliputi seluruh dunia, dan benderanya berkibar di mana-mana. Kaum nasionalis di kalangan mereka, seakan lupa bahwa barang kekayaan yang mereka timbun adalah hasil penghisapan kapitalisme berabad-abad, dan rakyat jelata di negeri-negeri mereka tetap dibiarkan merana dan tertindas.

Baca Juga:  Aglomerasi RUU DK Jakarta

Lebih tegas lagi analisis Bung Karno, bahwa azas demokrasi parlemen yang mereka banggakan, hanyalah kesamarataan urusan politik, namun tidak termasuk urusan ekonomi. Azasnya hanya mengamankan harta-kekayaan milik pribadi sebagai barang keramat yang tak boleh diganggu-gugat. Corak demokrasi mereka tak bisa lain adalah demokrasi kaum borjuis, karena idealisme yang dikandungnya adalah semangat idealisme kaum borjuis. Sejak awal perjuangan mereka, memang didasari oleh niat dan ambisi yang lahir dari kepentingan kelompok, yakni kepentingan segelintir kaum elit belaka.

Terkait dengan revolusi akhlak dan moral, Albert Einstein pernah menulis (Die Erklarung 1954) bahwa: “Islam adalah agama yang sangat logis ketimbang agama-agama dunia yang yang ada.”

Surat rahasia ini ditulis langsung oleh tangan Einstein kepada sahabatnya, Ayatullah al-Uzhma Boroujerdi. Einstein membandingkan teori relativitasnya dengan ayat-ayat Alquran dan hadits-hadits Nabi yang termaktub dalam kitab Nahjul Balaghah dan Biharul Anwar. Pada kesempatan lain, Boroujerdi pernah menegaskan, “Beberapa ucapan Muhammad yang mengungkap teori kompleksitas beranding lurus dengan teori relativitas Einstein. Sayangnya, sedikit sekali ilmuwan muslim abad ini yang memahami hal tersebut.”

Einstein juga mengkaji beberapa hadits Nabi, yang dinilainya sebagai khazanah keilmuwan yang sangat berharga. Menurutnya, formula matematika kebangkitan jasmani berbanding terbalik dengan formula relativitas materi dan energi: E = M.C² >> M = E:C²

Itu artinya, dalam peristiwa Mi’raj yang dialami Rasulullah sehaluan dengan hasil penelitian Einstein, bahwa jikapun tubuh kita berubah menjadi energi, ia dapat kembali mengejawantah dan mewujud seperti semula, yang berarti bahwa fisik dan tubuh manusia kelak bisa dipastikan, dapat hidup kembali.

Naskah asli tulisan tangan Einstein itu masih tersimpan dalam Safety Box rahasia di kota London, di bagian tempat penyimpanan Prof. Ibrahim Mahdavi, dengan alasan keamanan. Surat itu dibeli oleh Mahdavi yang sekarang tinggal di Inggris, dari seorang pedagang keturunan Yahudi, dengan harga 3 juta dollar. Untuk menemui pedagang tersebut, Mahdevi diantar oleh seorang karyawan perusahaan otomotif. Tulisan tangan Einstein di semua halaman buku kecil itu, telah dicek lewat komputer, dan telah dibuktikan kebenarannya oleh pakar-pakar manuskrip di era milenial ini. Wassalam.[]

Penulis: Hafis Azhari, Pengarang novel Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten

Related Posts

1 of 3,050