Puisi

Perihal Pohon Ingatan

Pohon ingatan. (Foto: Ilustrasi/Eriec Dieda/NUSANTARANEWS.CO)
Pohon ingatan. (Foto: Ilustrasi/Eriec Dieda/NUSANTARANEWS.CO)

Perihal Pohon Ingatan, Dimas Ridho Wahyu

Pagi hari di depan beranda rumah, tubuh-tubuh kita sibuk berderit di ayunan kayu yang di sana pelukan berubah menjadi ingatan lama. Kursi malas, cangkir-cangkir minuman hangat, dan harapan yang memuai perlahan mengikuti uap dari minuman yang tidak kita sentuh. Semuanya berawal dari pohon ingatan.

Aku akan memutar waktu dimana kamu kerap tidur di pelukan, menghasutku agar lelap tidak membawaku juga. Di sana aku bercerita tentang awal pertemuan dan sebelum cerita berakhir kamu memeluk tubuh fana ini lebih hangat, walau minuman di cangkir-cangkir itu semakin dingin saja.

Mengajakmu berdiskusi tentang segala hal yang akan aku lakukan, dan kamu tertawa sambil mengerling, memandangku, dan mendoakan agar cangkir yang sedang kupegang tidak akan tumpah.

Siang tiba dan kamu merasa lapar, duduk di pekarangan dan kita sibuk berdebat tentang menu makan siang. Ada banyak pilihan yang membuat kita berbeda, dan kamu tetap memilih menu yang sama denganku, tentunya dengan cangkir-cangkir minuman hangat itu.

Perlahan kamu bosan dengan semua hal itu, kamu memilih menaiki ayunan tua yang ada di beranda rumah, aku berusaha mengejarmu dan melupakan cangkir-cangkir yang kupegang, semuanya tumpah meruah di halaman dan menumbuhkan pohon ingatan.

Pagi hari di depan beranda rumah, aku membuka pintu dan nampak pohon ingatan tumbuh perlahan dengan semua harapan yang aku tanam kemarin. Semalam ia tumbuh lebat ketika aku menyiraminya dengan air mata perpisahan.

Pohon ingatan yang dipenuhi tubuhmu, cerita-cerita tentangmu dan harapanku. Aku menunggu di mana ia akan berbuah dan menumbuhkanmu di beranda rumahku.

 

Perihal Kematian Di Hari Minggu Kedua

Sewaktu ayah kembali dari kota dan membawa ibu baru, makanan di kulkas sering raib dan amis. Pagar dan anyelir menghitam perlahan, dan tukang koran kerap absen.

Cerita itu berlatar belakang di jalan Ronggolawe gang 2 tepatnya rumah warisan nenek. Sepeda tua, pohon mangga, dan kotak surat sibuk berdiskusi tentang korban, sedang aku terlihat bodoh duduk di bangku sambil memilin pilin sup kaldu basi yang kuambil dari kulkas.

Rencana pembunuhan, malam Minggu aku menunggu tukang koran untuk melihat berita pembunuhan terbaru dan cara singkat melakukannya, tapi sayang tukang koran tidak datang hari itu. Bedebah! ayah semakin menggila di perapian dapur dengan semua kaldu itu.

Akhirnya pagi tiba, kubuat surat wasiat dan kutaruh di kotak surat, termasuk semua alibi telah kujadikan satu. Ayah, ibu baruku, dan sup kaldu dari kulkas. Perlahan mereka menguap dan memuai, sadis!

Setelah hari itu aku menyadari, alasan mengapa tukang koran sering absen.

 

Perihal Pementasan

/Penokohan/
Semua sibuk memerankan dan membaca naskah masing-masing, kertas itu berubah menjadi lembab dan memeluk relung.
Relung merekah dan setelah itu semuanya menjadi panik, ada yang salah dengan naskah kami. Sutradara terbunuh dengan kertas menancap di sela tubuhnya yang sedang di make up.

/Make Up/
Kami duduk beriringan, menunggu waktu untuk dilukai, bedak, gincu, cat warna-warni. Semuanya di siapkan untuk membunuh kami perlahan, merubah kami menjadi patung lilin yang siap untuk di mutilasi.

/Lighting/
Mulut kami mulai meracau, digiring ke depan, dan perlahan di tertawakan. Semua lampu, ketika menyala kami mulai mati, ruh kami perlahan melangkah menjauh. Tidak lama kemudian lampu mati dan ruh kami kembali ke haribaan ayah.

/Ke haribaan dan ibu mati perlahan-lahan/

 

Cerita-Cerita yang Tidak Diketahui Selepas Hujan

Prolog:
Selepas hujan adalah saat di mana lingkar pelangi menghiasi udara, sebuah keadaan yang tepat untuk aku memulai.
Seredup aliran nafas untuk mengambil setiap ruh yang hendak berpergian mencari jalan pulang, demikian pula dia yang meringkuk di jalan Tuhan.

Aku mengenal banyak wanita di dunia ini, gincu, rindu, senja dan cinta bahkan aku bisa mengingat dan mengulangi lagi, gincu yang rindu dan senja penuh cinta. Aku mengenal semuanya. Tidak terkecuali dia.

Aku akan menceritakan semua yang ku ketahui itu dengan perlahan, sampai saat malam ini semua bisa merasuk ke dalam buai mimpi; memberikan kehangatan.

Setiap hal yang aku suka dari dia adalah lingkar senyumnya yang mengingatkanku sehabis hujan terkadang tidak selalu mendung dan muram, terkadang pelangi muncul perlahan.
Mungkin bagi dia tersenyum adalah sebuah keharusan membahagiakan.

Ada banyak cara Tuhan menciptakan wanita, mulai dari tersenyum sampai cara bercanda, aku tak pernah tahu mana yang dia sukai tapi aku lebih suka jika ia bercanda sambil tersenyum bukannya tersenyum sambil bercanda.

Lebih dari itu adalah candanya yang jatuh di sekitar dan menjadi riuh taman di mana anak-anak kecil sibuk berlarian dan di sana aku melihat dia terlalu lelah berdiri sendiri menopang semua candaan itu.

Istirahatlah sebentar sampai hujan turun lagi, dan mengubahmu menjadi pelangi kembali. Sampai saat itu aku adalah cerita yang terus memperhatikan pelangi dari kejauhan.

Akhir:

Aku menyukai pelangi itu.

 

Perihal Rumah dengan Atap-Atap Mendung

Sebuah rumah tua yang dari bangunannya tampak sejarah dan lini masa. Halaman yang luas, ibu, dan anak-anaknya. Semuanya tampak sesederhana beranda pada umumnya. Di depan rumah nampak tanaman, mainan adik dan beberapa barang habis pakai.

Kami anak-anak ibu, bermacam penampilan dan panggilan. Aku yang berbahasa halus, kakak yang tegas, adikku yang berkulit hitam, dan adik bungsu kami yang bermata sipit. Kadang kami sering bertengkar, berebut piring dan nasi tapi ibu akan memeluk dan menenangkan kami. Pelukan.

Sebuah Palung yang membuat kami ingin selalu kembali pulang, rumah penuh riuh yang menghangatkan. Kandang kecil yang menyenangkan. Sebuah tempat yang di mana perbedaan adalah harapan untuk bertahan.

Rumah kami akhir-akhir ini sering mendung, langit-langit gelap membuat kami kalang kabut. Ibu sering menangis di samping tungku api, menjaga kami agar tetap hangat. Sedang kami sibuk menyalahkan lainnya.

Mendung perlahan, hujan datang. Ketika kami hendak menyapu sedikit kenangan. Rumah kecil kami tetaplah tempat menutup mata di haribaan.

 

Edisi Penyamaran Pemuda ke dalam Kantor Redaksi Koran untuk Menyertakan Karya-karyanya dalam Pemuatan Esok Hari

Tengah malam,
Iringan musik sebagai sebuah instrumen mengalun sekujur jalur dimana sepeda dikoyak ketika seorang pemuda nekad mencoba mengadu aib ketika sejak satu bulan lalu karyanya tidak dipublikasikan. Musik itu adalah lagu Tempo dulu.

Kantor redaktur, redaktur terbunuh oleh berbagai tuntutan salah cetak, huruf miring, kapital tebal,kata berulang, kapital tebal, huruf miring, tuntutan salah cetak. Noda itu menempel di tajuk yang disana Munir dihidupkan dengan janji bahwa esok Marsinah akan dihidupkan juga.

Kolom artikel, sudah dipenuhi dengan berita bahwa senja esok akan ada roket yang diluncurkan lagi, tetapi nyamuk-nyamuk sial ini sibuk terbang kesana kemari, meremas keheningan di mana redaktur masih terbujur tak berdaya. Saya ulangi, bahwa kolom artikel sudah dipenuhi dengan berita bahwa senja esok akan ada roket yang diluncurkan lagi.

Bagian ilustrasi, disana ilustrator meringkuk di samping kursi tua yang didapat dari doorprize HUT kantor, ia sekarat karena roket yang digambarnya sudah terlanjur terbang sebelum selesai dibuatnya tempat mendarat.

Kolom sastra, dan pemuda melihat berbagai penyusup sepertinya yang terbaring lemas, ketika tahu bahwa kolom sastra sudah libur selama bertahun-tahun bahkan sebelum roket pertama diluncurkan. Ia memutuskan pulang dengan raut pasi pucat, sebelum pulang ia menengok sebentar ke belakang di sana tidak nampak kantor koran tadi, hanyalah konter-konter hp lokal yang berjajar dan membuatnya tersadar, redaktur belum dikubur.

 

Dimas Ridho Wahyu, menulis beberapa cerita mini dan puisi, beberapa karyanya di muat di website dan buku antologi puisi, sedang menempuh kuliah di Pendidikan Bahasa Indonesia UNS. Dapat di hubungi di 085-642-965-340 dan surel [email protected].

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resensi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected]

Related Posts

1 of 3,097