Budaya / SeniCerpen

Perempuan Penikmat Kesedihan

Cerpen: LA Sudjana

Halaman rumah yang dulu kosong kini sudah sesak dengan puluhan mungkin ratusan pot portulaca. Di sebelah kiri, berbatasan dengan tembok Karen, rak panjang bersusun tiga memamerkan puluhan koleksi caladium. Aira memandang puas seluruh koleksi tanamannya. Portulaca masih terbuka separuh. Baru pada pukul 9 nanti mahkotanya akan mekar sempurna, itulah mengapa portulaca disebut juga bunga pukul 9.

Koleksi portulaca-nya kini sudah lebih dari 50 jenis. Masih ada beberapa jenis baru yang dia tunggu kedatangannya dari negeri jiran. Aira melirik ke halaman Karen. Halaman itu masih sama. Potnya masih berjumlah dua puluh dua. Belum ada bunga baru atau semaian baru. Aira berpuas diri, kini rumahnyalah yang paling asri dan hijau. Jika mencari alamat Aira, cukup sebutkan rumah yang banyak bunganya, orang pasti sudah tahu.

Koloni kutu putih mulai terlihat di beberapa cabang portulaca yang gemuk-gemuk. Dengan sigap Aira membersihkan dan menyemprot dengan pestisida nabati buatannya. Kutu putih musuh utama portulaca. Jika dibiarkan, satu koloni akan berkembang biak dengan cepat membentuk koloni lain, lalu portulaca pun mogok berbunga, batangnya kerdil dan mati. Aira memandang botol semprot di tangannya. Pestisida nabati temuan Karen memang mujarab. Untunglah dia sempat mengetahui resepnya sebelum perempuan bersahaja itu memutuskan berhenti bicara padanya.

Sebulan lalu, Karen mulai menghindari bersitatap dengannya. Lalu Karen pun menutup tembok belakang yang berbatasan langsung dengan rumahnya. Aira sedih, di mana letak kesalahannya sehingga Karen memusuhinya?

“Dia hanya iri. Perempuan itu tidak suka melihat bungamu bertambah banyak. Dulu rumahnyalah yang paling asri, sekarang lihatlah rumahmu, lebih hijau dan lebih berbunga dari rumahnya.” Ayu tetangga depan menghibur Aira ketika dia menunjukkan tembok pembatas yang baru dibangun di belakang rumah.

“Aku tahu dia sangat mencintai bunga. Tapi keuangannya sangat terbatas, hanya mengandalkan gaji suami. Belum lagi biaya sekolah ketiga anaknya. Kalau dia mau, aku ikhlas, kok, Yu memberinya modal untuk membeli pot atau bunga baru.” Aira mulai terisak, ”tapi jangan musuhi aku!”

“Tidak usah. Orang yang berprasangka buruk seperti dia tidak akan bisa menerima niat baikmu. Biarkan saja. Lebih baik kamu fokus pada keinginanmu untuk membuka kios bunga di depan rumah.”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Ayu benar, Aira harus lebih serius dengan rencananya membuka kios. Jika semua berjalan lancar, dia bisa pensiun dini. Tidak perlu bekerja kantoran lagi.

Aira pun mulai rajin mengunduh foto bunga-bunga cantiknya di media sosial. Sesekali dia masih melihat Karen mengunduh koleksinya juga. Aira belajar untuk tidak peduli lagi dengannya, hingga dia melihat puisi-puisi Karen yang menohok. Aira merasa puisi itu tentang dirinya.

“Itu tentang aku, Yu! Aku yakin!” Airmata berjatuhan di pipinya.

“Ya aku sudah baca status yang itu. Tapi itu bisa siapa saja, Ra. Dia, kan tidak menyebut nama.”

“Kamu tidak tahu, Yu. Dia memang suka menyindir orang di statusnya. Sudah beberapa kali dia melakukan itu padaku.”

Ayu mulai kehilangan kepercayaan pada Aira. Dia merasa Aira terlalu perasa dan sensitif. Mungkin Karen memang iri kepada Aira, tapi menyerang Aira melalui media sosial bukan tindakan yang bijaksana. Perempuan bersahaja itu terlihat baik dan alim. Jarang bergaul dan tidak pernah menyinggung orang. Kehidupannya memang pas-pasan. Tapi mereka bahagia. Suami yang setia dan anak anak yang ceria. Dimata Ayu, mereka keluarga yang sempurna.

Lain lagi penilaian Aira. Dia merasa perempuan yang masih menarik diusia menjelang 40 sedang mengejeknya. Tiap hari Aira disuguhkan tawa dibuat-buat yang terdengar dari dinding sebelah. Tawa yang membuatnya muak. Panggilan lembut suami atau canda bahagia anak-anak Karen seolah mengaduk-aduk isi perut Aira. Kadang terdengar juga bentakan atau suara pukulan. Jika itu terjadi, Aira akan bersorak bahagia. Yang katanya sempurna itu, ternyata cacat juga.

***

Portulaca mekar sempurna. Warna-warni halaman Aira membuat iri mereka yang melintas. Aira mengambil beberapa petikan terbaik dengan kamera androidnya. Diliriknya lagi halaman yang tidak sempurna di sebelah. Dia tahu Karen sedang menahan diri untuk keluar rumah karena enggan bertemu dengannya.

Puas mengambil gambar, Aira mengunduh foto-foto tersebut ke media sosial. Terbaca olehnya status Karen 30 menit yang lalu.

‘Seseorang yang terlihat baik belum tentu baik. Bisa jadi dia sedang melakukan pencitraan. Hati-hati.’

Hatinya panas. Darah berjalan naik ke kepala. Dilihatnya komentar pada status tersebut. Mereka menyangkut pautkan status yang ditulis Karen dengan suasana kampanye calon kepala negara. Namun Aira yakin, bukan itu yang dimaksud Karen. Perempuan munafik itu sedang menyindirnya di media sosial. Aira melihat beberapa nama yang berkomentar, dia mengenal mereka sebagai sesama pecinta bunga. Tanpa berpikir panjang lagi, langsung dikiriminya mereka pesan singkat.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

‘Saya tahu Karen sedang menyindir saya. Tidak tahu mengapa dia begitu benci pada saya. Sudah sebulan saya tidak ditegurnya.’

Beberapa pesan balasan segera diterima. Aira mulai sibuk membalas satu per satu. Beberapa lagi langsung menelpon ingin mendengar ceritanya secara langsung. Aira menangis perih, menceritakan betapa tertekan keadaanmya. Betapa dia merasa tersudut diacuhkan Karen tanpa sebab. Betapa dia merasa direndahkan Karen di dunia maya. Betapa uluran tangan bersahabatnya ditampik Karen.

Salahkah jika dia selalu ingin menolong orang di sekitarnya? Menghadiahi mereka walau hanya puding buatannya? Salahkah jika dia selalu bersikap baik pada setiap teman dunia mayanya? Salahkah jika dia membagi-bagikan bunga kepada setiap orang yang berkunjung ke rumahnya? Mereka yang mendengar ceritanya selalu bilang dia benar. Karen terlalu iri dan cemburu dengan keberhasilan Aira hingga bisa membuka kios bunga di depan rumah. Keinginan Karen yang tidak bisa diwujudkan karena keterbatasan biaya.

***

Malam itu Aira menangisi ketidakberuntungannya lagi. Kini Ayu mulai menjaga jarak dengan Aira. Menurut Ayu, Aira terlalu berlebihan menanggapi status Karen.

“Kamu terlalu perasa, Ra. Jika tidak suka dengan statusnya, unfriend atau blokir dia! Jangan memelihara kesedihan dan menikmatinya. Nanti kamu sakit! Tidak perlu terlalu menanggapi serius dunia maya, Ra. Orang bisa menulis apa saja tanpa harus menyebutkan tentang siapa.”

Namun Aira sudah terlanjur larut dalam kesedihan yang dia ciptakan sendiri. Dia menikmati setiap coretan Karen seperti meminum tuak. Memabukkan tapi membuat candu, membawa Aira semakin tenggelam dalam kesedihan.

Air mata Aira jatuh bercucuran menganak sungai. Sedu sedan tak bisa berhenti meski dia menyusut ingus berkali-kali. Satu butiran bening terjatuh di pangkuannya. Bening yang membesar menyerupai bola kristal yang bersinar terang. Bola kristal air mata yang memantulkan wajah Karen. Perempuan bersahaja itu sedang memberinya satu pot portulaca kepada Aira. Portulaca pertamanya. Lalu adegan demi adegan membuat air mata Aira deras mengucur seperti air mancur. Karen membimbingnya membuat pupuk organik cair yang ramah lingkungan, mengajarinya menghasilkan mikroorganisme lokal dari nasi basi dan tape, juga memberitahunya cara membuat kompos dengan limbah dapur.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Satu butiran besar menggelinding ke sudut rumah, menampilkan tawa Karen yang dia benci. Dia sedang menyambut ramah teman yang berkunjung ke rumahnya, saling tukar tanaman hingga koleksi tanaman Karen semakin banyak. Pot yang semula hanya lima bertambah terus hingga dua puluh dua. Lalu polibeg-polibeg kecil mulai berjajar rapi di halaman. Karen mulai menjual sebagian bunga-bunganya. Apalagi ketika dia mulai aktif mengunggah foto bunganya di media sosial, dunia maya mengenalnya sebagai pemilik portulaca terlengkap.

Karen juga seorang penulis. Sebelum memiliki anak dia seorang jurnalis pada tabloid perempuan lokal. Tulisannya begitu renyah di nikmati. Sering dia menulis tentang fenomena yang terjadi di masyarakat di kronologi pribadinya. Lagi-lagi Aira tidak senang dengan bakat lain Karen. Bagaimana mungkin perempuan biasa itu bisa memiliki begitu banyak kelebihan? Belum lagi suami penyayang yang sangat memuja Karen. Tidak seperti suami Aira yang tak pernah memandangnya, sekalipun mereka duduk bersebelahan.

Aira bermain peran. Setiap kali Karen menulis status, dia berteriak nyaring di kronologinya. Mengumpulkan simpati dari mereka yang selalu dia kirimi bunga gratisan. Lalu arang mencoreng muka Karen di dunia maya. Usaha kecil yang sedang dirintisnya terjatuh, ketika Aira mulai menyusup masuk mengambil satu per satu konsumennya. Tak ada lagi bunga yang mekar di halaman Karen. Potnya tetap dua puluh dua, tapi hanya tinggal daun dan batang.

Butiran-butiran sebesar bola kristal mulai memenuhi seluruh rumah Aira. Setiap butirnya menceritakan luka yang dia toreh pada Karen. Ketika perempuan itu memilih bungkam daripada meladeninya, Aira menyayat luka itu sambil tertawa.

Tiba-tiba bola kristal air mata telah menutup tubuhnya sebatas leher. Aira tercekik, suaranya tak bisa keluar. Bola kristal itu mulai ramai bersuara.

Aira menggapai. Dia tenggelam dalam air matanya sendiri.

Batam, Maret 2016

  1. Portulaca: krokot
  2. Caladium: keladi

Lusi Anda Sudjana. Lahir di Sumedang, kini tinggal di Batam. Beberapa karyanya pernah terbit di Batam Pos, Tanjungpinang Pos, Solopos, Padang Ekspres dan beberapa media online. Karyanya bisa dibaca di lasudjana.blogspot.co.id. Untuk berinteraksi langsung bisa melalui akun facebook Lusyanda.

Related Posts

1 of 40