Budaya / SeniCerpen

Percakapan Para Pelayat – Cerpen Dee Hwang

NUSANTARANEWS.CO – Dahulu ketika berbahagia, ia akan menunjukkan warnanya yang paling cerah. Kadang terang, bersih, tanpa awan, pun tetap sama indah bila memang harus ditalangi cirrus dan jingga warna macam dada murai batu yang paling lelakimu suka. Atau ketika berduka, hujan adalah penyembuh dari yang paling luka. Pernah kau dengar dari bibir para pelayat,-yang bergunjing di belakang sumur usai memandikan mayat-, bahwa gerimis adalah obat hati yang pakau atas kematian seseorang?

Ibu, itulah yang saya tangkap beberapa pekan terakhir, terutama, di hari-hari kematian lelakimu, bapakku. Dari mulut-mulut yang tak satu pun wajahnya menampakkan rasa malang, saya pikir ini adalah kisah paling patah hati di dunia. Mereka membuka pergunjingan asyik itu dengan langit, kau, dan lelakimu ini sebagai manusia yang sebenar-benarnya tak mampu untuk kau baca. Kalian adalah tokoh-tokoh utama dalam cerita mereka, meski cerita mereka selanjutnya hanya tentang kebiasaanmu yang, usai menatapi langit dan keluar kata-kata dari bibir merah cabaimu itu, adalah perkataan-perkataan buruk yang wajib untuk diberi anggukan dan disampaikan kepada pemiliknya.

Kau ada di sana sebagai perempuan yang menjadi alasan pengetahuan mereka, perempuan yang seakan-akan tak peduli karena jumlah manusia yang membicarakan langit memang tak pernah ada habisnya, dan jumlah mereka yang mati kemudian dihubungkan dengan mengalaskanmu pun sama iya. Yang pasti hanya ada satu langit di dunia ini yang menjadi segalanya bagimu. Adalah yang kadang, bisa berjam-jam kau duduk bersilah hanya untuk menatapinya.

Bagaimana seorang perempuan dapat membaca langit seakan-akan ia cermin makhluk dan emosi-emosinya? Mendengar percakapan para pelayat itu saya setengah bergidik. Kosakata mereka berputar dalam kata-kata makhluk gaib yang rupawan, kulit seputih awan, hembusan-hembusan napas paling semilir, aroma badan khas buah-buahan, tak lupa pula punggung yang merekahkan sepasang sayap berwarna merah menyala. Dugaan saya, siapa pun yang telah melihatmu tak berani lagi memikirkan kebenaran lisan dari para pelayat tersebut. Apalagi, tentang kebenaran bahwa kau yang pernah tinggal di langit.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

***

“Seorang nabi?”

“Makhluk gaib. Nabi hanya untuk kaum kita, laki-laki!”

“Namun sebagian menyebutnya demikian.”

“Sebagian penduduk dari dusun ini adalah orang gila!”

“Lantas, apa ia pernah bercerita tentang rasanya tinggal langit?”

“Aku tak paham. Dia lebih suka duduk di bumi dan menatapinya dari kejauhan, meski artinya ia hanya akan sendirian karena tak satu pun mau duduk di

dekatnya.”

“Penduduk tidak mengusirnya?”

“Terlalu takut, karena sifat manusia seperti tembus pandang bagi perempuan itu. Terlalu gampang dibaca! Di dunia ini, tidak ada yang mau keburukan dalam

hatinya diketahui orang lain, ya kan?”

“Jadi, mereka memujanya?”

Percakapan para pelayat itu mengingatkan percakapan saya bersama bapak -seminggu sebelum percakapan para pelayat mengisi kepala saya di hari kematiannya. Ia juga membicarakan kesangsiannya mengakui kau sebagai nabi. Sementara dirinya yang manusia, berasal dari tanah tidak sebenar-benarnya bisa melampaui langit, lanjutnya. Langit berlapis jumlah bermacam nama, namun apa yang penjelajah lalui hanyalah bentuk fisiknya saja. Hanya makhluk spesial yang dapat melihat terutama tangga-tangga yang telah disediakan untuk mencapainya.

Saya tidak paham apakah memang sebagian orang-orang dusun sudah gila karena menganggap kau sebagai nabi perempuan, atau bapaklah yang gila karena membicarakan hal-hal yang tak masuk akal,-terlalu banyak kata “nabi adalah laki-laki, bukan perempuan!” di dalam kalimatnya-, lalu apa kabar dengan kuburan yang letaknya dekat perbatasan dengan jasadmu di dalamnya? Para pelayat yang kini menyirami tangan dan kaki mereka dengan air bidara, tentu juga masuk kategori gila. Kau paham, orang waras tidak akan menyebut-nyebut kuburan perempuan pembaca langit sebagai tempat keramat yang harus selalu diberikan sedekah dengan mengorbankan orang-orang untuk mati.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Seorang lelaki lawas dengan caping di atas kepala menceritakan pengalamannya saat ia berkunjung ke rumahmu di perbatasan, “Apa yang lebih menarik hati selain fisik? Duh, ia pun tak segan membantu siapa pun lagi ada masalah. Para lelaki, utamanya, akan duduk di sisinya kemudian diberi nasehat bagaimana harus berlaku pada pasangan. Pun, bila masalah itu menyangkut anak-anak dan hewan ternak, ia akan mendongakkan kepala lalu memegangi hati mereka seperti seadng membaca sebuah buku!”

Betapa, tak ada satu pun masalah tak bisa diselesaikan hanya dengan ini. Betapa pula, akhirnya kemansyuran menjadi milik dusun ini. Semenjak kedatangan kau sepuluh tahun lalu dari balik dada bukit yang perawan itu, nama kau semakin gampang disebut. Bukan hanya sebagai pembaca langit, tapi juga nabi perempuan.

“Tapi perempuan pembaca langit sudah lama mati.”

“Siapa yang membunuhnya?”

“Lelaki ini!”

Kau adalah kisah paling patah hati yang pernah saya. Lucunya, semakin banyak orang-orang yang meninggal, macam tak kenyang-kenyang pula telinga saya dijejali cerita tentang langit, kau, dan bapak. Ah. Lelaki kecintaan, penyebab atas kepergiaanmu yang menjadikan langit cerah hanya sebatas cerita dari bibir para pelayat ini.

“Tetapi kematian karena perempuan pembaca langit tetap ada.”

“Tentu. Dua persembahan, anggaplah, agar langit kembali cerah, bukan?”

“Ada yang menertawakannya?”

“Sebenarnya, ya kita.”

“Ya. Ya. Semoga. Namun, esok giliran siapa yang mati?”

“Pak Norman dan istrinya. Saya dengar, istrinya sudah mempersiapkan pisau tertajam untuk bunuh diri malam ini. Siap-siaplah membawa beras dan seekor ayam.”

***

Bapak adalah penyendiri yang berseberangan dengan kaum pengikutmu, pun macam mereka; pelayat baik hati yang mengaku tak percaya takhayul tapi masih mencari kebenaran dari cerita ke cerita. Bapak adalah lelaki kecintaan Ibu, perempuan pembaca langit yang terus-menerus menjadi buah bibir ini. Bapak adalah satu-satunya lelaki yang paham bagaimana mengambil hati seorang perempuan pembaca langit, yang ternyata juga bisa membunuhnya dengan perlahan.

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

Tak ada yang tahu bahwa saya sudah lama duduk mendengarkan kisah ini. Saya memang tak bisa dilihat. Pun, misal saya bisa dilihat, mungkin saya dibuang ke hutan oleh para pengikutmu atau malah diasuh karena dikira punya kekuatan pula. Katakan saja begini, adanya saya benar-benar untuk menghadiri kematian Bapak saya. Meski saya paham bagaimana manusia melihat kisahmu, ibu, sebagai keajaiban yang mustahil, ini hanyalah bahan bakar untuk mengenyangkan kebutuhan verbal mereka.

Air bidara terlanjur ditumpah-habiskan di pembuangan, bebauan dupa tercium seantero udara, namun percakapan belum tunai. Saya mendongak ketika seorang pelayat berbadan kekar, yang memegangi badan bapak saya agar dalam posisi duduk, membuka mulutnya, “Lelaki ini gila. Aku dengar ia memanggil bayangannya sebagai anaknya sendiri.”

“Ia aib.”

“Ia ingin mencapai langit?”

“Mengapa para pengikut nabi perempuan itu tak membunuhnya saja?”

“Tak tahu! Yang saya tahu, lelaki ini mati-matian untuk menjadi nabi, ia dihukum dengan tak ada yang mengakuinya. Ia mati sendiri dengan cara itu.” Tukas

lelaki itu seraya menunjuk ke punggung Bapak. Sepasang sayap ibu ada di sana.

__________________________________

Dee Hwang/Foto nusantaranews
Dee Hwang

*Dee Hwang, Kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 9 September 1991. Lulusan FKIP Biologi Universitas Sriwijaya (UNSRI) 2009. Saat ini aktif menekuni dunia musik sebagai pemain Biola di Violinist SAMS Chamber Orchestra Yogyakarta. Hp: 085268945050, Email : [email protected]

________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected].

Related Posts

1 of 49