NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Dirjen Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan Kesehatan Kerja (K3) Maruli A. Hasoloan menilai bahwa persoalan tentang pekerja anak di Indonesia tidak bisa sepelekan. Sebagaimana dalam deklrasi dunia pada November 1989 silam menjelaskan mempekerjakan anak di bawah umur merupakan salah satu bentuk modus perbudakan terhadap anak.
Untuk itu diperingatan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak pada 12 Juni ini, dirinya menganggap persoalan pekerja anak harus menjadi tanggung jawab bersama semua pihak. Pasalnya, Maruli menilai persoalan pekerja anak dari hari ke hari kian kompleks.
“Masalah pekerja anak bukanlah masalah yang sederhana, akan tetapi masalah yang kompleks dan lintas sektoral, sehingga menjadi tanggung jawab semua pihak untuk menangani dan menyelesaikan masalah pekerja anak,” kata Maruli, dalam siaran persnya, Senin (12/6/2017) di Jakarta.
Sebagai informasi, sebagian besar anak-anak di kota besar di Indonesia dipaksa bekerja sebagai anak jalanan.
Merujuk pada data Kementerian Sosial menyebut terdapat sekitar 230.000 anak jalanan di Indonesia. 8000 di antaranya berada di Jakarta. Dari jumlah tersebut, tidak sampai setengahnya yang masuk dalam jaringan pengaman sosial.
Baca: Demi Anak, Demi Indonesia, Kemnaker Luncurkan KIBPA
Ini menunjukkan bahwa praktik perbudakan anak era modern belum sepenuhnya selesai. Sekalipun perlindungan terhadap anak dan penegakan hak-hak anak di seluruh dunia disepakati, namun catatan demi catatan kelam tentang praktik ‘perbudakan’ terhadap anak masih menjadi pemandangan yang lazim dijumpai hingga kini.
Di Kongo misalnya, dari Amnesty International (AI) melaporkan, industri kobalt di Kongo telah mempekerjakan anak-anak di bawah umur. Industri ini memasok perusahaan teknologi dan mobil perusahaan Cina yang dipasarkan secara global. Para anak-anak kecil ini harus menambang kobalts untuk memenuhi kebutuhan industri baterai dunia.
Pewarta/Editor: Romandhon