Mancanegara

Perang Yaman: Ketika Media Utama Barat Kompak Dukung Pemusnahan Negeri Yaman

Perang Yaman: Ketika media utama barat kompak dukung pemusnahan negeri Yaman.
Perang Yaman: Ketika media utama barat kompak dukung pemusnahan negeri Yaman. Pada bulan Mei, pemerintahan Trump mengeluarkan deklarasi darurat untuk mendorong kesepakatan senjata senilai $ 8,1 miliar ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Yordania tanpa persetujuan kongres/Foto: The Time of Israel

NUSANTARANEWS.CO – Perang Yaman: Ketika media utama barat kompak dukung pemusnahan negeri Yaman. Departemen Luar Negeri memperingatkan bahwa selama bertahun-tahun Amerika Serikat (AS) telah terlibat dalam kejahatan perang di Yaman dan tidak ada yang menghentikannya – termasuk media utama barat bungkam atau malah memberitakan yang sebaliknya.

Seperti laporan Human Rights Watch pada 2015, di mana AS kemungkinan bertanggung jawab atas 10 serangan udara yang dilancarkan pasukan koalisi pimpinan Saudi yang menewaskan sedikitnya 309 warga sipil dan melukai lebih dari 414 dalam periode dari April hingga Agustus 2015.

Bahkan ketika serangan brutal pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi yang didukung AS terus berlanjut – pemberitaaan media mainstream barat pun terus mendukung serangan pasukan koalisi. Bahkan tanpa bermoral justru memberitakan penjualan senjata bernilai milyaran dolar oleh Presiden Trump kepada Arab Saudi sebagai berita utama dengan judul: “Stock defenses are at record highs on the Trump-Saudi deal.”

Padahal jelas-jelas senjata itu dipergunakan oleh militer Arab Saudi untuk menyerang Yaman.

Hari ini, setengah dekade kemudian, ACLED (the Armed Conflict Location & Event Data) melaporkan bahwa 112.000 orang telah tewas dan jutaan lainnya menderita dan kelaparan akibat blokade ketat yang dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan Saudi. Situasi kini diperburuk dengan meluasnya pandemi Covid-19.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Dengan menepikan berita Perang Yaman yang sesungguhnya, media mainstream barat tampaknya telah menjadi agen kekuasaan yang melayani dan melindungi kepentingan pemilik modal dan pemerintahan yang korup, seperti halnya “Quick Count” dalam pemilu – media mainstream seakan menjadi pembenaran terhadap kejahatan perang di Yaman. Dengan kata lain, media mainstream sama sekali tidak menghargai puluhan juta rakyat Yaman yang menjadi korban.

Kejahatan Perang Yaman oleh Koalisi Arab Pimpinan Arab Saudi yang didukung penuh oleh Amerika Serikat (AS) tampaknya menjadi hal yang tabu untuk diberitakan oleh media mainstream barat. Kisah pembantaian warga sipil, wanita dan anak-anak tampaknya memang disembunyikan oleh jaringan media mainstream. Atau beritanya dimanipulasi seakan menjadi “perang melawan teroris di Yaman” sehingga tidak mengusik rasa kemanusiaan publik AS.

Sejak pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi membombardir Yaman tahun 2015, tidak ada secuil pun berita tentang kejahatan perang di Yaman yang muncul. Begitu pula ketika presiden AS Donald Trump mengunjungi Riyadh, Arab Saudi, pada bulan Mei. Padahal jelas-jelas jaringan berita Qatar, Al Jazeera melaporkan serangan udara pasukan koalisi ke Yaman dan menewaskan ratusan warga sipil serta banyak anak-anak. Kisah pembantaian ini pun kemudian hilang dengan cepat.

Tapi pemberitaan penandatanganan kontrak pembelian senjata bernilai milyaran dollar oleh Presiden Trump justru menjadi berita utama. Padahal senjata-senjata itu jelas dipergunakan oleh militer Arab Saudi untuk menyerang Yaman. Menarik untuk dicatat bahwa Presiden Trump dalam waktu singkat telah menjadi penjual senjata terbesar sepanjang sejarah Presiden AS – yang tentu sangat menggembirakan para produsen indusri pertahanan. Merayakan kontrak ini, media mainstream membuat judul: “Stock defenses are at record highs on the Trump-Saudi deal.”

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Sebagai informasi, sejak 17 Januari 2017 harga saham industri pertahanan terus mengalami kenaikan: harga saham Boeing naik dua kali lipat; saham Raytheon naik 35 persen, Lockheed Martin naik 30 persen dan General Dynamics 17 persen. Bisnis perang tampaknya sedang mengalami saat-saat yang menggembirakan.

Pembelian senjata oleh Arab Saudi dari Washington sekaligus merupakan isyarat lampu hijau bagi kelanjutan perang di Yaman. Tanpa dukungan AS, mana mungkin Arab Saudi berani menginvasi Yaman.

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, ketika ditanya terkait pemboman yang sembarangan oleh CBS mengatakan: “Kami sangat berhati-hati dalam memilih target, kami memiliki senjata yang tepat, kami bekerja dengan sekutu kami, termasuk AS dalam menentukan target…” AS membantu pasukan koalisi mengidentifikasi “target” di Yaman. Ini adalah poin penting – artinya AS juga turut terlibat dan bertanggung jawab penuh atas kejahatan perang di Yaman. Kejahatan yang luar biasa ini mungkin akan menjadi kekejaman terburuk di abad 21.

Betapa tidak, bila Bom-bom yang dipergunakan oleh pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi yang meluluh lantakan infrastruktur dan membunuh warga sipil, wanita dan anak-anak di Yaman adalah senjata-senjata buatan industri militer AS, Inggris dan negara barat lainnya. Bom-bom tersebut menghancurkan target di Yaman dengan dukungan intelijen AS tentunya yang ingin menguasai Yaman. Negeri yang kaya sumber daya alam ini memang belum di jarah oleh Paman Sam.

Baca Juga:  Amerika Memancing Iran untuk Melakukan Perang Nuklir 'Terbatas'?

Selain bom, blokade dan embargo yang ketat terhadap Yaman secara sistematis juga telah membunuh lebih banyak lagi warga sipil, wanita dan anak-anak di negeri 200 pulau tersebut. Tujuan embargo memang untuk membuat warga Yaman kelaparan dan menyerah. Dampak lain embargo adalah munculnya wabah penyakit seperti kolera dan difteri yang menjangkiti jutaan warga Yaman sebagai akibat tidak adanya air bersih dan obat-obatan.

Human Rights Watch tidak sendirian dalam menyampaikan kekhawatiran ini, termasuk tentang potensi pertanggungjawaban AS atas kejahatan perang selama bertahun-tahun. Ryan Goodman, mantan pengacara Departemen Pertahanan dan profesor Universitas New York, melalui postingan menguraikan bahwa negara yang membantu negara lain atau kelompok bersenjata non-negara menghadapi “risiko hukum” dan bertanggungjawab atas kejahatan perang di bawah hukum internasional bahkan meski tanpa maksud atau tujuan apa pun untuk mempromosikan kejahatan.

Pada Oktober 2018, Anggota Kongres Ted Lieu menulis kepada Departemen Luar Negeri untuk menanyakan tentang hal itu. Namun Deplu  menolak mengomentari.

Seperti diketahui, selama bertahun-tahun, Departemen Pertahanan telah mengklaim bahwa keterlibatan AS dalam perang di Yaman adalah menyelamatkan nyawa sebagaimana yang diberitakan media arus utama barat. Kongres tidak setuju. Bahkan tiga kali, larangan penjualan senjata ke Arab Saudi diveto oleh Presiden Trump. Bagaimana dengan sikap presiden baru AS Joe Biden? (Agus Setiawan)

Related Posts

1 of 3,049