Perang total melawan akal sehat. Saya tertegun saat membaca berita di berbagai media soal pernyataan Jenderal (Pur) Moeldoko sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma’ruf tentang fase kampanye saat ini bahwa TKN mempersiapkan strategi perang total.
Istilah perang saja sudah merinding bulu kuduk saya. Apalagi ditambah dengan total. Artinya perang tersebut secara total, habis-habisan, hancur-hancuran, kalau perlu dengan model strategi bumi hangus bila terdesak mundur.
Sepertinya Pak Moeldoko, walaupun sudah pensiun sebagai Jenderal TNI, dan Panglima TNI beberapa tahun, saat ini berkiprah dalam masyarakat sipil, dan pemerintahan sipil, tentu mengagetkan, dan menimbulkan rasa was-was civil society untuk kemungkinan kambuhnya kembali rezim militer di Republik Indonesia.
Memang situasi pemilihan Calon Presiden kali ini, sangat rentan, rawan, dan penuh konflik, dengan masa kampanye yang sangat panjang. Kita mengamati semakin banyak yang muncul kepermukaan syahwat kekuasaan yang selama ini tersembunyi bahkan terkesan malu-malu.
Sepertinya Allah SWT, perlahan menunjukkan kekuasanNya, membuka topeng-topeng yang digunakan oleh para pejabat, politisi, pengusaha, broker, agen-agen kekuasan. Karena saat ini dalam fase terancamnya kelanggengan kekuasaan, dan berhadapan dengan mereka yang tidak punya kesempatan atau belum diberikan kesempatan oleh rakyat untuk memegang kekuasaan.
Baca juga: Rocky Gerung dan Akal Sehat
Sportifitas, kalimat-kalimat santun, argumentasi logis, rasional, basis data yang kuat dan fakta yang ada di masyarakat, sepertinya tidak diperlukan lagi. Sepertinya karakter akal sehat tersebut, dianggap sudah kuno, ketinggalan zaman, dan tidak trending.
Sekarang yang berkembang di pemikiran para politisi, pejabat pemerintah, penguasa, pengusaha, broker dan lain sebagainya, tidak sungkan-sungkan menggunakan nomenklatur yang bersifat agitasi, teror, mengancam, kriminalisasi, sampai dengan iming-iming kekuasan, supaya berubah haluan atau dukungan.
Penggunaan istilah perang total, salah satu contoh model pemikiran yang saya uraikan di atas.
Jika kita melihat kamus Wikipedia, makna perang total adalah konflik di mana kedua pihak memobilisasi seluruh sumber dayanya, baik manusia, industri, agrikultur, militer, alam, atau teknologi, untuk menghancurkan perlawanan musuh.
Praktik perang total telah beberapa kali digunakan. Salah satu praktik awal perang total terjadi pada Periode Negara Perang, ketika negara Qin mengalami reformasi menjadi mesin perang. Contoh perang total lainnya adalah Perang Sembilan Tahun di Irlandia.
Masya Allah, jika kampanye Pilpres dimaknai suatu konflik kedua pihak dengan mobilisasi sumberdaya, bahkan militer, untuk menghancurkan musuh, kita tidak perlu menunggu tahun 2030, bulan April 2019 Indonesia akan lenyap sebagai negara dimuka bumi ini. Apa tidak menangis kita memikirkannya jika hal tersebut terjadi. Itu kalau kita memaknai perang total sebagai yang disebutkan oleh Wikipedia.
Situasi seperti ini tidak boleh kita biarkan dan dianggap enteng. Walapun kita dalam periode reformasi dan menjunjung tinggi civil society, tetapi dalam percaturan kekuasaan antar kubu, pemain peran utamanya adalah para pensiun Jenderal.
Memang mereka sudah pensiun dan kembali dalam masyarakat sipil, masih ada juga yang berwatak seperti militer. Tetapi kita juga banyak menemukan pensiun Jenderal TNI punya pemikiran yang bagus, jernih, rasional, dan menggunakan akal sehat.
Kita cermati para pensiun Jenderal bahkan mantan Panglima TNI, di pemerintahan Jokowi-JK saat ini. Ada dua Mantan Panglima TNI yang sedang memegang kekuasaan dan membuat legacy atas kekuasaan tersebut. Jenderal TNI (Pur) Wiranto, sebagai Menkopolhukam telah berhasil membuat sejarah membubarkan Ormas Hizbut Tahrir dengan diterbitkan Perpu Pembubaran Ormas.
Mantan Panglima TNI berikutnya, yaitu Jenderal TNI (Pur) Moeldoko yang saat ini menjabat sebagai Kepala KSP, dan Wakil ketua TKN Joko-Ma’ruf, menyiapakan dan merumuskan Strategi Perang Total.
Disamping itu, Pak Jokowi, punya pembantunya seorang Jenderal TNI (Pur), yang juga cukup agresif yaitu Luhut Binsar Panjaitan. Beliau ini adalah Menko Maritim, yang dapat mengurus semua urusan diluar kemaritiman. Punya legacy tersendiri yaitu siap pasang badan membela Presiden Jokowi dalam segala cuaca. Kata-katanya tegas, keras, menantang dan siap membela yang benar.
Kita masih ingat beliau sangat tegas menyatakan akan fokus membantu menyiapkan Kota Meikarta. Setelah developer Meikarta tersangkut perkara suap dan ditangani KPK, tidak kita dengar lagi komentar beliau.
Mereka bertiga tersebut saat ini, berjuang dan bahkan istilah Pak Moeldoko perang total dalam belantara demokrasi yang sangat bebas dan hampir tanpa batas. Tujuannya jelas, yaitu memenangkan peperangan. Tidak ada gunanya menang di pertempuran, tetapi kalah dalam peperangan.
Di pihak kompetitor, tidak kalah banyaknya para pensiunan Jenderal TNI. Bahkan Calon Presiden Prabowo Subianto, pensiunan Letnan Jenderal TNI, pernah menjadi Danjen Kopassus, dan Panglima Kostrad.
Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, adalah mantan Panglima TNI, seorang pensiunan Jenderal TNI yaitu Joko Santoso. Beliau Panglima yang kenyang dalam medan pertempuran di Timtim misalnya, dan berhasil menyelesaikan konflik sosial di Malauku yang hampir memporak-porandakan kehidupan ekonomi, sosial, poltik dan budaya masyarakat Maluku.
Di BPN Prabowo-Sandi, memang banyak para Jenderal purnawirawan berkumpul dari berbagi matra Laut, Udara, AD dan Polisi.
Pada awalnya saya menduga BPN PADI ini, akan mengembangkan strategi perang gerilya untuk memenangkan peperangan (memnjam istilah perangnya Pak Moeldoko). Karena begitu banyaknya para Jenderal (Pur) pendukung PADI.
Tetapi setelah saya ikuti isu-isu kampanye BPN PADI, tidak ada mengajak perang total. Bahkan pada debat pertama Capres, Prabowo terlihat lebih santun, tidak terlalu menyerang. Kebalikan dengan Pak Jokowi yang lebih agresif dan sedikit menohok. Bahkan bagaimana santunnya Sandi, mencium tangan KH Ma’aruf Amin sebelum dimulainya debat, sebagai bentuk hormatnya Sandi terhadap ulama yang juga masih menjabat Ketua MUI.
Sampai ada anekdot di masyarakat Prabowo itu walaupun mantan militer dan terkesan garang, rupanya hatinya lembut, penghiba dan mudah membantu. Dan tidak perlu diketahui orang lain. Tidak perlu dihadapan kamera, begitu istilah yang populer sekarang.
Bagaimana dengan Pak Jokowi. Memang penampilannya terkesan sederhana, ramah, santun. Bahkan Pak Jokowi sendiri menyatakan tampangnya adalah tampang wong ndeso yang polos. Senangnya bagi-bagi sembako, bagi-bagi bingkisan dilemparkan ke masyarakat yang mengelu-ngelukannya. Membagi duit dalam amplop Rp 100 ribu, sehingga berebutan. Pak Jokowi menikmati situasi tersebut dan yang pasti disorot kamera. Banyak pihak menyebutnya pencitraan.
Menghadapi hobi Presiden Jokowi dan sekaligus Calon Presiden Nomor 01, tidak jadi persoalan bagi Paslon 02 (PADI), bahkan menyerukan kepada masyarakat dan rakyat Indonesia terima saja apapun yang diberikan pihak TKN Paslon 01. Karena yang diberikan itu juga uang rakyat.
Yang penting soal pilihan sesuai dengan hati nurani. Dan keputusan itu ada di bilik suara, karena memang bebas, langsung dan rahasia.
Rakyat didorong untuk berdialog dengan Allah SWT, minta petunjuk untuk menentukan pilihan. Bayangkan masa depan bangsa ini jika dipimpin oleh mereka yang tidak amanah, dan ingkar janji. Lalu putuskan pilihan.
Kembali ke perang total yang disebut Moeldoko. Kalau itu benar, terjadi musuh sejatinya petahana bukanlah Paslon 02, karena Paslon 02 tidak mau diajak perang. Inginnya berkampanye dengan akal sehat.
Lalu siapa lawannya. Maka sudah dapat diduga lawannya adalah seluruh rakyat Indonesia. Pasti Moeldoko kaget dan menghentikan peperangan. Karena pasti kalah jika berhadapan dengan rakyat. Karena rakyatlah pemilik kekuasaan setelah Allah SWT.
Mari kita renungkan bersama.
Oleh : Dr Chazali H. Situmorang, Pemerhati Kebijakan Publik dan Dosen FISIP UNAS