EkonomiTerbaru

Peran Sri Mulyani Dinilai Hanya untuk Memastikan Indonesia Bisa Bayar Utang ke Bank Dunia

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ditariknya Sri Mulyani dari Bank Dunia ke kabinet Presiden Joko Widodo dinilai hanya untuk memastikan Indonesia bisa membayar utang ke Bank Dunia dan lembaga keuangan dunia lainnya. Tak hanya itu, Selama menjabat menteri keuangan di era Jokowi, Sri Mulyani dinilai miskin prestasi.

Buktinya, penerimaan pajak pemerintah jauh menurun dibandingkan periode sebelumnya.

“Kalau Anda mengkonversi APBN Indonesia sejak 2015 sampai sekarang maka penurunan hampir separuh terhadap USD dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Tidak hanya penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak juga minim,” kata pengamat ekonomi, Salamuddin Daeng, Jakarta, Rabu (01/11/2017).

Ia mengatakan, publik sebetulnya tahu tugas dan perang Sri Mulyani kembali ditempatkan sebagai Menteri Keuangan (Menkeu).

“Tak peduli daya beli rakyat merosot, petani miskin, buruh makin susah, pemerintah daerah anggarannya merosot, yang penting baginya Indonesia setia dalam membayar utang,” cetusnya.

Apalagi, kata dia, Menteri Keuangan Jokowi ini sangat ahli dalam berhutang. Dan pemerintahan Jokowi memang sedang membutuhkan suntikan dana besar untuk membangun program prioritasnya yakni pembangunan infrastruktur yang tanpa mempertimbangkan apakah masyarakat Indonesia membutuhkannya ataukah tidak. Yang jelas, pembangunan infrastruktur adalah agenda global karena digenjot hampir di seluruh negara secara serempak.

Baca Juga:  Ini 10 Nama Caleg Pemenang Pemilu 2024 Dapil 1 Nunukan Versi Quick Count Tenripada Research

Menurut Salamuddin, pembangunan infrastruktur adalah mega proyek utang global untuk memastikan kekuasaan mereka di seluruh penjuru dunia. Lembaga keuangan global dan negara negara pemberi utang berlomba-lomba merebut pasar infrastruktur sekaligus bisa mendapatkan pasar utang. Alhasil, pemerintah Jokowi telah merancang infrastruktur dengan anggaran Rp 4.500 triliun sampai dengan Rp 5.000 triliun dalam masa pemerintahan tahun 2014-2019. Dan adapun sumber pendanannya berasal dari utang APBN, utang BUMN dan investasi asing langsung.

Faktanya, defisit APBN membengkak, jauh dari yang direncanakan. Defisit APBN 2015 membengkak menjadi 2,8% dari yang direncanakan sebesar 1,9%. Defisit APBN 2017 meningkat menjadi 2,5 % dari 2,35% dari yang direncanakan. Tahun 217 juga demikian, defisit APBN membengkak menjadi 2,92% dari yang direncanakan sebesar 2.41%. Tahun 2017 sesuai angka defisit 2,92% untuk mendapatkan tambahan utang Rp 471 triliun.

Dalam RAPBNP 2018, pemerintah juga berencana menambah utang dalam jumlah yang relatif sama sekitar Rp 450 sampai dengan Rp 500 triliun. Melebarnya defisit ini dikarenakan pemerintah gagal meraih target penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak.

Tahun 2017 utang pemerintah yang bersumber dari Surat Berharga Negara (SBN) telah mencapai Rp 1.721,69 triliun meningkat sebesar Rp 446,66 triliun. Pada saat pertama kali Jokowi berkuasa SBN hanya sebesar Rp 1.275 triliun. Sementara, utang pemerintah yang bersumber dari luar negeri tahun 2017 sebesar US$ 170.28 miliar atau sebesar Rp 2.298,80 triliun. Utang ini mengalami peningkatan sebesar US 40.6 miliar dolar atau Rp 547,37 triliun.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sukses Kembalikan 15 Sepeda Motor Curian kepada Pemiliknya: Respons Cepat dalam Penanganan Kasus Curanmor

Dengan demikian, akumulasi utang pemerintah yang berasal dari SBN ditambah utang luar negeri pemerintah telah mencapai Rp 4.020,49 trilun. Utang tersebut bertambah pada era pemerintahan Jokowi sebesar Rp 994,03 triliun. Ini adalah pencapaian tertinggi dibandingkan pemerintahan manapun yang pernah berkuasa di Republik Indonesia. Sementara, setiap tahun saat ini rata-rata pemerintah harus membayar bunga sebesar Rp 253.5 triliun, cicilan sebesar Rp 65,5 triliun (diambil dari data cicilan 2017), utang jatuh tempo sebesar Rp 390 triliun.

Jadi, total kewajiban yang harus dibayar pemerintah adalah Rp 709 triliun setiap tahun. Ini adalah angka yang besar. Nilai ini setara dengan 70% penerimaan pajak setahun. Untuk bisa membayar kewajiban-kewajiban tersebut pemerintah akan terus mengambil utang untuk menjaga keberlangsungan fiskal.

“Dari mana dana untuk bayar utang tersebut? Tentu saja dari utang baru yang terus ditumpuk. Menteri keuangan Presiden Jokowi ini sangat ahli dalam berhutang. Akibatnya, utang pemerintah Jokowi dalam 3 tahun pemerintahannya telah melampaui jumlah yang dibuat SBY 10 tahun dan lebih dari dua kali utang pemerintah Soeharto 30 tahun bahkan dengan menghitungnya pada tingkat nilai tukar saat ini,” kata Salamuddin.

Baca Juga:  Pemkab Nunukan Fasilitasi Doa Bersama Lintas Agama Jelang Pemilu

Di lain pihak, sektor pajak yang notabene menjadi sumber pemasukan utama negara juga merosot tak mencapai target. Dirjen Pajak harus bekerja keras untuk memenuhi target penerimaan negara dari sektor pajak pada APBN 2018 yang mencapai angka Rp 1.618,1 triliun.

Skema mencari dana melalui program amnesti pajak juga gagal. Program tax amnesty per September hanya mampu mengumpulkan pajak sebesar Rp 770,7 triliun dari total APBN-P Tahun 2017 sebesar Rp 1.283,6 triliun. “Kegagalan sudah di depan mata karena hanya memiliki waktu 2 bulan untuk memenuhi sisa target dari APBN sebesar 30 persen,” kata Direktur Eksekutif Indonesian Club, Gigih Guntoro, Jakarta, Rabu (1/11/2017).

Alhasil, skema lain dicari. Seluruh dana potensial dipetakan, termasuk dana ibadah haji umat Islam tanah air. Termasuk juga dana zakat, infaq, sodaqoh dan wakaf, semuanya disasar pemerintahan Jokowi untuk kepentingan pembangunan infrastruktur dan bayar utang. (ed)

Editor: Eriec Dieda/NusantaraNews

Related Posts

1 of 47