Penunjukkan Pati Polri Sebagai Plt Gubernur Kepentingan Rezim Kekuasaan

Gedung Mabes Polisi RI (Foto Istimewa)

Gedung Markas Besar (Mabes) Polisi RI. (Foto Istimewa)

MENJELANG Pilkada Serentak tahun 2018 ini telah muncul satu isu politik nasional semula dilemparkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo, yakni prakarsa atau rencana penunjukkan Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur Jabar dan Sumut. Untuk Gubernur Jabar akan ditunjuk Asisten Operasi (Asops) Kapolri, Inspektur Jenderal Pol Mochamad Iriawan. Untuk Gubernur Sumut akan ditunjuk Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Pol Martuani Sormin.

Mendagri sendiri mengklaim, Presiden Jokowi telah setuju atas rencana ini.

Dari sisi politik pemerintahan jelas tidak sesuai dengan prinsip-prinsip reformasi birokrasi. Era reformasi dan demokratisasi sekarang mengharuskan penyelenggara negara apalagi level Gubernur memiliki “kompetensi”. Kalau melalui Pemilihan langsung dari rakyat juga seyogyanya tokoh calon penyelenggara negara memiliki kompetensi dalam urusan penyelenggaraan negara dan rakyat.

Bagi saya, Perwira Polri memiliki kompetensi sangat berbeda dengan penyelenggara negara termasuk eksekutif. Perwira atau Petinggi Polri memiliki kompetensi hanya bidang ketertiban masyarakat atau insani sebagai bagian keamanan nasional. Keamanan nasional hanya satu bidang urusan pemerintahan.

Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan pada masyarakat. Intinya, fungsi Kepolisian hanya satu urusan pemerintahan, yakni bidang keamanan dan ketertiban masyarakat.

Sedangkan Gubernur harus memiliki kompetensi bukan saja urusan keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga urusan sosial perekonomian, perdagangan, UKM dan Koperasi, investasi daerah, penganggaran, sosial budaya seperti kesehatan dan pendidikan bahkan lingkungan hidup. Perwira Polisi, apalagi masih aktif, pasti tidak memiliki kompetensi baik dari sisi pengetahuan, unjuk kerja bahkan kepemimpinan untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan rakyat.

Karena pada prinsipnya dari politik pemerintahan Perwira Polri tidak kompeten dan layak menduduki jabatan kekuasaan negara seperti Gubernur, maka kebijakan penunjukkan dua Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur kini dalam isu politik nasional, menjadi tidak efektif dan efisien bahkan bertentangan dengan prinsip demokratisasi dan reformasi. Kita dalam perjalanan mundur ke belakang bagaikan era Orde Baru. Kalau pada era Orde Baru ada dwifungsi ABRI, kini muncul pula dwifungsi Polri. Menyedihkan tentunya bagi pelaku pro demokrasi.

Dari sisi regulasi, ada pengamat politik pro demokrasi menilai rencana penunjukan Petinggi Polri ini berpotensi melanggar Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Dalam perkembangan isu politik nasional ini muncul persepsi dan klaim jika rencana kebijakan ini menguntungkan atau demi kepentingan PDIP dalam memenangkan pertarungan kekuasaan negara melalui Pilkada mendatang. Dinyatakan, karena Mendagri kader PDIP maka kebijakan itu menguntungkan PDIP. Saya kurang sepakat dengan klaim atau penilaian semacam ini. Ada dua alasan utama.

Pertama, daerah Sumut dan Jabar tidak pernah dimenangkan oleh Pasangan Cagub dan Wacagub usungan atau dukungan PDIP. Di dua Provinsi ini memang konstituen PDIP relatif banyak, tetapi PDIP tidak pernah menang dalam pertarungan kekuasaan negara di daerah itu. Karena itu, tidak rasional dan ahistoris suatu penilaian bahwa PDIP akan menang jika rencana kebijakan ini diimplementasikan. Saya percaya, pihak diuntungkan dan berkepentingan dari sisi politik kekuasaan bukan PDIP, tetapi rezim kekuasaan Jokowi. Rezim kekuasaan Jokowi lah paling rasional berkepentingan dengan kebijakan ini.

Kedua, keberadaan Mendagri adalah anggota rezim kekuasaan, sekalipun juga kader PDIP. Kebijakan ini adalah kebijakan kekuasaan negara, bukan Parpol. Karena itu, sebagai pembantu Presiden Jokowi, aktor paling mampu mempengaruhi Mendagri adalah Presiden. Sekalipun Ketum PDIP menghendaki kebijakan ini, tetapi masih harus menunggu persetujuan Presiden. Nah, apa kepentingan Presiden? Tentu saja, jika merugikan kepentingan kekuasaan, tak mungkin Presiden menyetujuinya.

Dari sisi opini publik terbangun, memang ada kesan kebijakan ini demi kepentingan PDIP. Kesan ini tidak rasional dan ahistoris. Akan sulit ditemukan data dan fakta untuk menjustifikasi keterlibatan PDIP. Mendagri sendiri telah membantah penilaian publik, ada kepentingan PDIP atas rencana kebijakan penunjukan Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur Jabar dan Sumut.

Para pengamat politik dan Kepolisian memperkirakan beberapa dampak negatif dari rencana penunjukkan Petinggi Polri sebagai Pejabat Gubernur Jabar dan Sumut.

Pertama, diperkirakan akan terus berkelanjutan polemik dan konflik pendapat antara pihak pro dan kontra di publik. Hal ini menjadi gaduh dan mengalihkan pembicaraan atau penilaian kinerja Jokowi urus pemerintahan yang menunjukkan buruk dan gagal mencapai sasaran dan target yang diharapkan tercapai. Dampak negatif turunan hilangnya enerji sia-sia rezim kekuasaan untuk mencapai kesuksesan dalan melaksanakan urusan pemerintahan yang jauh lebih penting bagi negara dan rakyat sekarang ini.

Kedua, persepsi negatif publik terhadap Rezim Kekuasaan yang mengabaikan keberadaan petinggi aparatur negara di lingkungan Kemendagri khususnya. Dikesankan, tidak ada lagi Pejabat Tinggi Kemendagri mempunyai kompetensi menjadi Pejabat (Plt) Gubernur.

Ketiga, menciptakan persepsi negatif terhadap kemampuan rezim kekuasaan untuk menciptakan kondisi aman dan tertib masyarakat saat pelaksanaan Pilkada serentak 2018 ini.Sebagaimana alasan Mendagri rencana penunjukkan Petinggi Polri ini adalah kerawanan gangguan keamanan dan potensi kerawanan Pilkada di Jawa Barat dan Sumut. Padahal di kedua Propinsi itu masih ada lembaga Polda dan Kodam yang mampu mengatasi perkiraan munculnya gangguan keamanan dan potensi kerawanan dimaksud. Mengesankan diri Pemerintah tidak percaya diri dalam penyelenggaran Pilkada yang aman dan tertib.

Keempat, rencana penunjukkan ini dipersepsikan kepentingan Rezim Kekuasaan Jokowi semata. Opini publik akan mengarah ke sana sehingga memperkuat penurunan tingkat elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres 2019 mendatang. Kekuatan oposisi dan kontra Rezim Jokowi akan menjadikan rencana penunjukkan ini sebagai bahan kritik dan penggerusan Jokowi dimata publik.

Jika Rezim Kekuasaan tetap melaksanakan rencana penunjukan Petinggi Polri ini, apa yang harus dilakukan kelompok pengkritik dan penolak baik di pemerintahan maupun masyarakat madani? Salah satu jawabannya adalah melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Lalu, apa lagi? Silahkan jawab sendiri!

Oleh: Muchtar Effendi Harahap, Peneliti Senior NSEAS

Exit mobile version