Budaya / SeniCerpen

Penulis yang Menangis – Cerpen Nasrul M. Rizal

NUSANTARANEWS.CO – Jemari Al lincah menari-nari di atas tombol-tombol huruf. Matanya tajam menatap layar 14 inci yang mematung di depannya. Memastikan huruf-huruf yang telah dipertemukan berjodoh satu sama lain. Agar tidak ada satu pun yang bertabrakan –yang sering disebut typo. Supaya kelak enak dibaca oleh siapa pun. Ia menghela napas panjang. Dari matanya terpancar ksedihan.

Seseorang yang Tidak Boleh Disebutkan Namanya. Ia membubuhkan kata-kata tersebut sebagai judul cerita. Bukan tanpa alasan, ia ingin menarik perhatian orang-orang. Setidaknya saat membaca judul tersebut, akan muncul pertanyaan, kenapa tidak boleh disebutkan? Siapa yang dimaksud seseorang itu? Perihal memilih judul ia tidak pernah main-main.

Sudah dua tahun lamanya ia memilih menjadi penulis, berkelana di dunia sastra. Dunia yang dihuni oleh kata-kata indah dan imajinasi yang mempesona. Tapi tidak jarang pula menyuguhkan bosan. Benar saja kata para pujangga, waktu cepat berlalu. Seperti baru kemarin Al menuntaskan cerita pertama. Dan sekarang sudah puluhan jumlahnya. Al teringat kembali sesuatu yang membuatnya menjadi penulis.

***

“Al, kamu tahu pekerjaan apa yang akan membuat kita abadi di dunia ini?” tanya perempuan berambut ombak di sela-sela makan malam.

Merasa pertanyaan itu ditujukan untuknya, Al berfikir, diam sejenak, lalu menjawab, “Arsitek.”

Perempuan berambut ombak di hadapannya mengernyitkan dahi.

“Ya, Arsitek. Meskipun mereka sudah lama mati, tapi bangunan-bangunan yang dirancangnya tetap berdiri. Gagah nan menawan. Diabadikan oleh tajamnya mata kamera. Nama arsitek itu akan abadi,” jelas Al. “Dan ada satu lagi pekerjaan yang membuat kita abadi di dunia ini.”

“Apa?”

“Melukis. Lebih tepatnya menjadi pelukis.” Al memandang perempuan berambut ombak. “Kamu tahu lukisan Monalisa? Sampai detik ini lukisan tersebut mengabadikan penciptanya, Leonardo da Vinci. Di belahan Bumi mana pun pasti orang-orang mengenalnya. Padahal ia sudah lama mati… Ya, Monalisa menghidupkan penciptanya.”

Perempuan berambut ombak diam sejenak, lalu ia berkata, “Dalam beberapa hal kamu benar, Al. Tapi, kamu melupakan sesuatu.”

“Maksudmu melupakan apa, Zella?” Al menyebut nama perempuan berambut ombak itu.

“Kamu lupa, suatu saat bangunan yang dirancang sang arsitektur pasti akan hancur. Entah karena becana alam atau ulah manusia,” jawab Zella, “Begitupun dengan lukisan. Suatu masa pasti akan hancur dilahap waktu. Jadi baik arsitek maupun pelukis tidak abadi.”

Apa yang dikatakan Zella ada benarnya. “Lantas apa pekerjaan yang abadi?”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Menulis. Menjadi penulis.”

***

Hentakan drum membuyarkan lamunan Al. Sial kenapa lagu itu terputar di waktu yang tidak tepat. Ia memaki lagu band rock kenamaan, Metallica. Lupa jika lagu itu ada di playlist pemutar musik laptopnya. Sesegera mungkin ia memindahkannya. Mengganti dengan lagu yang lebih bersahabat dengan perasaan. Ah ya, musik tidak pernah berhenti mengalun saat jemari Al menari di atas papan tombol laptop. Terkadang bunyinya menyenangkan. Namun, tidak jarang bisikannya terasa menyakitkan.

Al berusaha membuat tokoh-tokoh yang diciptakannya memiliki perasaan. Sehingga pembaca larut dalam cerita. Merasa kalau nasibnya sama dengan si tokoh utama. Tidak hanya pandai merangkai kata, ia pun pintar memainkan emosi pembaca.

***

“Penulis?” tanya Al penuh rasa ingin tahu. “Kenapa mereka abadi, Zella?”

“Ya, penulis. Coba kamu perhatikan buku itu.” Zella menunjuk buku, bersampul putih dengan lukisan wajah yang tidak menyenangkan, di dekat Al.

“Si pembuat cerita sudah meninggal 80 tahun yang lalu, Al. Tapi, saat ini aku masih bisa menikmatinya,” jelas Zella. “Kamu tahu, Al? perasaanku campur aduk saat membaca cerita tersebut. Satu bagian mampu membuat simpul senyum di bibirku. Di bagian lain bisa mengalirkan anak sungai di pipi. Jika kamu tidak percaya, coba saja baca Al.”

Al memerhatikan buku itu saksama. Merasa tidak asing dengan nama penulisnya. Kahlil Gibran, Kematian Sebuah Bangsa. Ia teringat sesuatu, Zella sering menyebut-nyebut nama itu. Membisikkan kalimat-kalimat cinta dari penulis yang dikaguminya itu. Tapi kenapa ia abadi?

Al mencoba mencerna kata yang diucapkan Zella, lalu ia bertanya, “Bukankah buku ini juga bisa hancur, seperti bangunan yang dihujam bencana dan lukisan yang dilahap oleh waktu?”

“Ya, kamu benar Al. Buku ini bisa hancur kapan saja,” jawab Zella santai. “Bahkan jika kamu tidak hati-hati, gelas berisi jus alpukat itu pun bisa membasahinya, menghancurkanya.”

“Nah berarti penulis itu tidak abadi, Zella. Tidak ada pekerjaan yang abadi.”

Zella mengambil gelas berisi jus alpukat dengan tangan kanan. Menumpahkan isinya, secara perlahan, ke mulut. Membuat Al tidak sabar menunggu kata yang akan ke luar dari bibir perempuan berambut ombak itu. Menunggu ia mengiyakan pendapatnya.

“Buku memang lenyap, Al,” ucap Zella sambil menyimpan gelas. “Tapi, isinya akan tersimpan rapih di ingatan pembaca. Mengisi ruang hatinya. Jadi meskipun ia kehilangan buku tersebut, ia masih bisa mengingatnya kapan saja, mengenangnya di mana saja. Ia akan menceritakannya pada orang lain, mengabadikan penulisnya.

Baca Juga:  Tanah Adat Merupakan Hak Kepemilikan Tertua Yang Sah di Nusantara Menurut Anton Charliyan dan Agustiana dalam Sarasehan Forum Forum S-3

“Kau harus tahu Al. Penulis itu istimewa. Dia bisa menjadi siapa pun, berkeliling kemanapun, dan dikagumi banyak orang. Dia bisa menciptakan dunianya sendiri dan menentukan takdir tokoh-tokoh yang hidup di dunia tersebut.”

“Menentukan takdir?”

“Iya,” ucap Zella. “Apakah si tokoh akan hidup bahagia atau menderita, banyak tersenyum atau menangis, semuanya ditentukan oleh penulis. Bahkan tidak sedikit penulis yang bisa mengubah nasib pembaca. Dia memberikan motivasi dan menyembuhkan hati melalui kata-kata yang dirangkainya… Ya, Al, aku mengagumi penulis lebih dari profesi apa pun.”

“Maaf, sebentar lagi cafe ini akan tutup. Harap segera melakukan pembayaran ke kasir.” Perkataan pelayan cafe mengakhiri percakapan mereka.

***

Mata Al kembali menatap layar 14 inci. Sad ending atau happy ending? Nasib si tokoh utama, lelaki yang melarang siapa pun untuk menyebutkan nama seorang perempuan, ditentukan oleh kemurahan hati Al. Apakah ia tidak akan mengucapkan dan mendengar nama perempuan itu lagi, serta tetap membencinya? Atau ia ringan menyebut nama perempuan itu, membiarkan telinganya mendengar lagi nama yang sangat ia hafal, mencoba memaafkannya? Al harus mengambil keputusan. Dan tidak akan ada seorang pun yang bisa mengubahnya. Bahkan pembaca, mau tidak mau, harus menerima. Ah, untuk cerita yang satu ini sulit sekali menentukan akhirnya. Huruf-huruf berbaris rapih di layar 14 inci. Al kembali hanyut dalam lamunan.

***

“Zella ini cerpen buat kamu,” ucap Al antusias, tiga minggu setelah mereka bercakap-cakap di cafe. Ia menyerahkan dua lembar kertas. Berharap semoga perempuan berombak itu menyukainya. Seperti ia menyukai cerita-cerita karangan Kalil Gibran.

Zella mengambil kertas tersebut, memperhatikan dengan saksama, membaca perlahan huruf-huruf yang melekat padanya. Lalu ia memandang Al.

“Ini kamu yang bikin, Al?” tanya Zella, seakan ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

“Kenapa gitu? Jelek yaa.”

“Engga kok,” tukas Zela. “Justru bagus. Ceritanya menarik.” Perempuan berambut ombak itu tersenyum.

Demi mendengar pujian dan melihat senyum Zella, wajah Al memerah.

“Kamu lagi jatuh cinta ya, Al?”

Ditanya seperti itu membuat Al salah tingkah. Wajahnya semakin merah. “Emmm… Emmm… Emang kenapa gitu?”

“Hanya orang-orang yang sedang jatuh cinta bisa membuat cerita semanis ini, Al… Aku sudah sering membaca buku, jadi tahu mana cerita yang dibikin dari hati dan cerita yang ditulis seenaknya saja… Iya, Al, aku merasakannya. Menulis saat jatuh cinta menghasilkan kata-kata manis yang tidak ada tandingannya,” ujar Zella, senyuman terpatri di bibirnya. “Aku tidak sabar membaca cerpen selanjutnya.”

Baca Juga:  G-Production X Kece Entertainment Mengajak Anda ke Dunia "Curhat Bernada: Kenangan Abadi"

“Kamu pernah jatuh cinta?” Al tidak sadar akan apa yang ia ucapkan.

“Tentu saja Al.” Zella memperbaiki posisi duduknya. “Saat ini pun aku sedang merasakannya.”

Wajah Al semakin memerah, layaknya udang yang diceburkan ke wajan panas.

***

Al tersenyum tipis mengingat sepotong kenangan dua tahun silam. Pertama kalinya ia membuat cerita. Yang memerlukan waktu hingga berhari-hari. Tulis hapus lagi, tulis hapus lagi. Tapi, melihat senyum Zella setelah membacanya, hilang sudah rasa lelah. Sejak saat itu Al bersedia duduk berlama-lama di depan laptop. Berharap Zella memuji cerita yang dibuatnya, lagi, lagi, dan lagi. Namun, keputusan Zella menghancurkan semuanya.

Senyuman Al perlahan hilang. Tanpa ia sadari, matanya mulai basah.

Cerpen ini tidak semanis cerpen pertama. Padahal ditujukan untuk orang yang sama. Satu tarikan napas panjang. Jemari Al kembali –dipaksa– menari di atas tombol-tombol huruf. Merangkai kata.

Aku tidak ingin mengucapkannya lagi. Bahkan untuk mendengar namanya saja aku tidak mau. Karena saat nama itu disebut, hatiku terasa remuk. Napasku menjadi sesak. Rasa sakit menghujamku tanpa ampun. Kenangan pahit bergentayangan di sekelilingku. Si pemilik nama tersebut menyayat hatiku dengan perkataanya. Menghancurkan harapanku dengan perbuatannya. Ia memilih nama lain untuk mendampinginya di surat undangan pernikahan. Padahal aku telah lama mendampinginya. Ia memilih nama lain untuk dipanggilnya sayang. Padahal sedari dulu aku yang menyayanginya.

Sambil menangis Al terus menulis, Nama itu namamu, Zella. Kau keliru, tidak semua penulis bisa menentukan alur cerita yang dibuatnya. Meskipun berpuluh-puluh kali aku menuliskan cerita kita, akhirnya tetap sama, kau memilih dia. Padahal aku tidak menghendakinya. Surat undangan tergeletak tak jauh dari laptop.

Bandung, 1 April 2017

Nasrul M. Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Saat ini sedang berusaha menamatkan studinya pada Program Studi Pendidikan Ekonomi UPI. Aktif di komunitas kepenulisan Kafe Kopi. Bisa dihubungi melalui: [email protected]

__________________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi (berdonasi*) karya baik berupa puisi, cerpen, esai, resinsi buku/film, maupun catatan kebudayaan serta profil komunitas dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 3,175