Artikel

Penguatan Pendidikan Demokrasi dalam Keluarga

Pendidikan Dalam Keluarga (Ilustrasi)
Pendidikan Dalam Keluarga (Ilustrasi)

NUSANTARANEWS.CO – Pendidikan demokrasi dalam keluarga sangat strategis membangun generasi yang melek demokrasi, Pancasila, dan politik. Sebagai warga negara yang hidup dengan sistem demokrasi, anak-anak sejak dini harus dididik dengan pendidikan demokrasi berbasis Pancasila, NKRI, Bhineka Tunggal Ika dan UUD 1945. Hal itu sudah final dan tak perlu diperdebatkan lagi.

Ciri suksesnya pendidikan anak pada satuan pendidikan formal tidak hanya pada kelulusan, ijazah, namun lebih pada output berupa pengetahuan, sikap dan keterampilan. Salah satunya, sikap demokratis dan karakter demokrasi yang melekat pada anak. Pelibatan keluarga dalam kesuksesan pendidikan ini sangat mendukung penguatan Tri Sentra Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) sebagai wahana menyukseskan pendidikan anak.

Di era milenial ini, selain masalah faham konservatif, doktrin negara Islam, khilafah, dalam panggung demokrasi kita yang masih menjadi musuh bersama adalah money politics (politik uang) dan golongan putih (Golput).

Politik uang dan Golput jangan sampai meracuni generasi muda dan menjadikan mereka menjadi generasi yang buruk di masa depan. Mereka harus diajarkan dengan pendidikan demokrasi yang benar, baik, indah serta mendukung masa depan belajarnya di satuan pendidikan.

Pendidikan Demokrasi dalam Keluarga

Pendidikan demokrasi dalam keluarga harus dikuatkan lewat literasi politik tentang pengertian, macam, dan praktik demokrasi bersih. Generasi muda harus diajak Pemilu, karena memilih merupakan hak dan kedaulatan rakyat.

Lewat kegiatan sederhana, orang tua harus mengajarkan anak-anak untuk hidup demokratis. Melalui kegiatan di rumah seperti ketika membeli kebutuhan rumah tangga, menentukan keputusan, harus diajarkan pada anak sehingga muncul sikap demokratis dalam tindakan.

Selama ini masih sedikit yang memahami pentingnya pendidikan dalam keluarga. Peran keluarga dalam satuan pendidikan anak tidak sebatas pemenuhan dukungan terhadap materiil, sandang, namun juga menguatkan karakter demokratis sebagai bagian dari 17 karakter dalam program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sesuai Perpres 87 tahun 2017. Penguatan pendidikan demokrasi ini juga mendukung tercapainya visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu “terbentuknya insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan berlandaskan gotong royong”.

Pendidikan demokrasi dalam keluarga juga menjadi alternatif membangun generasi Pancasilais. Nilai-nilai Pancasila sudah sesuai prinsip dan substansi agama Islam. Mulai dari ketuhanan (uluhiyah), kemanusiaan (insaniyah), persatuan (ukhuwah), kerakyatan (ra’iyah) dan keadilan (al-‘adalah). Semua itu harus ditanamkan di benak anak-anak sejak dini dalam keluarga.

Kesibukan orang tua menjadikan mereka acuh terhadap pendidikan anak. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga berperan strategis dalam pendidikan yang hal itu harus dibuktikan dengan kepedulian nyata. Jika peran keluarga dalam mendukung pendidikan anak di satuan pendidikan berjalan maksimal, maka ototmatis mendorong terciptanya ekosistem pendidikan yang kondusif sebagai kunci keberhasilan pendidikan.

Muncul pemahaman yang salah terhadap demokrasi, politik itu kotor, politisi itu buruk, salah satunya disebabkan tidak adanya pendidikan demokrasi sejak dini dalam keluarga. Wajar jika dalam pesta demokrasi kita masih ada fenomena Golput, money politics (politik uang) dan lainnya.

Minimnya pendidikan demokrasi yang bersih, santun, jujur, dan visioner itulah menjadikan generasi muda kita apolitis dan menilai politik selamanya kotor. Padahal, politik itu suci, ia adalah siyasah dan metode memilih pemimpin yang sah. Keluarga harus menjadi pelopor pendidikan demokrasi untuk membangun generasi yang melek politik.

Memberantas Politik Uang

Politik uang, amplop politik, atau sangu memang menjadi “hantu” dalam tiap Pemilu, baik Pilkada, Pileg maupun Pilpres. Di sini, sebenarnya polanya hampir sama, yaitu butuh sinergitas dalam pengawasan maupun pelaporan. Amplop dalam Pemilu ini secara umum di lapangan memang seperti “kentut” yang ada suara dan baunya, tapi tidak ada wujudnya. Masyarakat melihat, bahkan menerima, namun kebanyakan “diam tanpa kata” bahkan justru ikut menjadi bagian yang membagikan amplop politik itu.

Pola pemberantasannya harus dibenahi sejak dini. Mulai dari penyadaran, pendidikan politik bersih, pencucian otak masyarakat pada demokrasi pascabayar, dan penindakan tegas. Masyarakat harus menjadi “polisi” yang seharusnya berani mengatakan haram pada amplop-amplop politik tersebut. Di sini keluarga sangat berperan, baik secara preventif maupun secara aksi nyata lewat pendidikan demokrasi yang diterapkan dalam keluarga.

Semua itu bisa terwujud ketika masyarakat kita sudah sadar akan tugasnya sebagai warga demokrasi yang harusnya gembira menyambut Pemilu. Momentum Pemilu adalah wahana memilih, menentukan pemimpin dan menentukan nasib kabupaten/kota, provinsi, dan negara dalam lima tahun ke depan. Semua itu tidak bisa terbeli hanya dengan amplop politik yang besarnya sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 saja.

Mengapa? Masa depan bangsa lebih mahal daripada recehan tersebut. Maka doktrin Pemilu bersih, menyenangkan, dan sakral harus dibumikan sejak dini dalam keluarga. Lewat penguatan pendidikan demokrasi dalam keluarga, akan lahir generasi yang menyambut dan mengawal Pemilu dengan baik dan menyenangkan.

Edukasi politik antigolput dengan pendekatan agama dan ideologi kebangsaan harus dikuatkan dalam keluarga. Pertama, anggota keluarga di rumah harus mengajarkan, Pancasila dan demokrasi sudah final. Berdemokrasi merupakan kewajiban bagi setiap warga negara. Ikut Pemilu hukumnya wajib. Pemahaman dasar dalam bernegara ini penting diajarkan sejak dini dari aspek ideologi, sampai laku politik praktis.

Paham beragama konservatif, puritan, dan pro khilafah merupakan terlarang di Indonesia karena kita berasas tunggal Pancasila yang merangkul semuanya. Doktrin strategis ini relevan memutus embrio Golput di kalangan pemuda yang masih labil ideologi dan mudah digoyang isu SARA, hate speech, dan hoax.

Kedua, mata pelajaran PKn, mata kuliah Pendidikan Pancasila, Kewarganegaraan, dan lainnya harus dikuatkan untuk mendukung partisipasi mencoblos. Ciri rakyat baik selalu menggunakan hak pilih. Semua mata pelajaran bisa dikontekstualiasikan agar pelajar antigolput.

Ketiga, sinergitas lembaga untuk sosialisasi Pemilu dari KPU, Bawaslu, dan sekolah/kampus. Sosialisasi tak cukup jika hanya menjelang Pemilu. Pendidikan politik bersih harus kontinu berjalan meski bukan musim Pemilu di semua lembaga pendidikan formal, informal, dan nonformal.

Semua itu intinya ada pada keluarga sebagai “madrasah pertama”. Demokratis dan tidaknya anak-anak sangat ditentukan pola pendidikan, pembelajaran, dan percontohan nyata dalam keluarga tentang demokrasi. Sudah saatnya semua anggota keluarga memahami hal ini sebagai bentuk kemitraan Tri Sentra Pendidikan untuk menyukseskan anak di satuan pendidikanya.

Pendidikan dan demokrasi bukanlah hal yang kontradiksi, namun justru bisa sejalan dan diterapkan di dalam keluarga. Jika pendidikan demokrasi tidak diterapkan dan dikuatkan dalam keluarga sejak dini, lalu kapan lagi?

*Hamidulloh Ibda, penulis adalah penulis Buku “Demokrasi Setengah Hati” (2013), Dosen dan Kaprodi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) STAINU Temanggung.

Related Posts

1 of 3,050