OpiniRubrika

Penguatan Homeschooling untuk Memajukan Budaya Humanisme

Ilustrasi Homeschooling. (Foto: 123rf/knenon)
Ilustrasi Homeschooling. (Foto: 123rf/knenon)

NUSANTARANEWS.CO – Selama ini, homeschooling (sekolah rumah) masih dianggap sebelah mata. Padahal, homeschooling sebagai bagian dari lembaga pendidikan informal yang harus didukung dan dikuatkan. Stigma tempat Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan disabilitas menjadikan homeschooling kurang diminati, bahkan dianggap tak penting.

Di era revolusi industri 4.0 ini, homeschooling harus dikuatkan sebagai wujud kepedulian pendidikan. Homeschooling menjadi bagian dari pendidikan informal yang berorientasi memajukan kehidupan bangsa. Indikator bangsa itu maju atau tidak adalah berbudaya humanisme. Jika budaya humanisme kuat, maka menentukan kemajuan Indonesia menyambut bonus demografi pada 2045 mendatang.

Keunikan homeschooling dengan iklim majemuk, sangat strategis untuk memajukan budaya humanisme. Ketika melihat homeschooling, jangan hanya ABK atau kecacatan anak disabilitas saja. Namun lihatlah nilai-nilai humanis yang mereka lakukan, cara belajar, menghargai orang, dan kerja keras mereka untuk memiliki kelebihan dari orang normal.

Homeschooling bisa maju ketika dikuatkan berjemaah. Kemajuan pendidikan kita dari beberapa penelitian harus menjadi dorongan untuk mengubahnya. Penelitian Right to Education Index (RTEI) oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) terhadap pendidikan di negeri ini kurang memuaskan.

Hasil penelitian itu menyatakan kualitas pendidikan di Indonesia masih di bawah Ehtiopia dan Filipina. Penelitian ini dilakukan di 14 negara secara random, yakni Inggris, Kanada, Australia, Filipina, Ethiopia, Korea Selatan, Indonesia, Nigeria, Honduras, Palestina, Tanzania, Zimbabwe, Kongo dan Chili. Data ini harus dijawab dengan menguatkan pendidikan dan memajukan kebudayaan sebagai dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bagaimana caranya? Salah satunya dengan penguatan homeschooling.

Penguatan Homeschooling

Penguatan homeschooling sudah sesuai dengan nafas konstitusi. Mulai UUD 1945 pasal 31, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, dan Permendikbud Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolah Rumah. Dari konsitusi itu, dapat disimpulkan homeschooling merupakan salah satu sub sistem dari keseluruhan sistem pendidikan yang terdiri atas sentra keluarga, sekolah, dan masyarakat.

Baca Juga:  Polres Pamekasan Sediakan Bantuan Kesehatan Gratis untuk Petugas KPPS Pasca Pemilu 2024

Sesuai konsepnya, homeschooling menjadi bagian dari pendidikan informal, yaitu Pendidikan Berbasis Keluarga (PBK). Penguatan homeschooling, tidak lain untuk menguatkan pendidikan di negeri ini sebagai salah satu wahana menguatkan kebudayaan. Sebab, bangsa besar adalah kuat pendidikan dan maju budayanya. Ada beberapa strategi menguatkan pendidikan homeschooling.

Pertama, penguatan homeschooling dari aspek manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran dan kualitas guru. Ada tiga homeschooling yang bisa menerapkan sistem ini. Mulai dari homeschooling tunggal yang hanya dilaksanakan dalam satu keluarga, homeschooling majemuk yang dilaksanakan di beberapa keluarga. Selanjutnya, komunitas homeschooling. Di sini, ada himpunan komunitas majemuk yang beraktivitas sesuai Standar Nasional Pendidikan (SNP).

Kedua, homeschooling harus disetarakan dengan sekolah formal lainnya sesuai jenjang pendidikan. Mulai dari SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Tampaknya, saat ini pemerintah lebih terbuka dalam menyetarakan ijazah dengan adanya program paket A, B dan C sesuai Permendiknas No.12 Tahun 2007. Tentunya, homeschooling harus bisa menjadi alternatif bagi mereka yang mengalami kekurangan.

Ketiga, konsep pembelajaran homeschooling harus sesuai prinsip humanisme. Di sini, guru-guru di homeschooling harus benar-benar menghamba pada anak. Hal ini tentu sesuai anjuran Ki Hajar Dewantara yang jauh-jauh menyeru pada guru untuk melakukan doktrin among atau ngemong anak. Apalagi, siswa di homeschooling kebanyakan yang memiliki kekurangan fisik dan mental.

Keempat, penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang di dalamnya menerapkan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Mulai dari standar kompetensi lulusan, isi, proses, pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan pendidikan, dan standar penilaian pendidikan. Apalagi, Kemendikbud sampai tahun 2015 mencatat ada 11 ribu anak usia sekolah belajar di homeschooling. Jadi, MBS dan penerapan SNP ini sangat penting agar homeschooling memiliki teknologi edukasi yang mengutamakan akselerasi mutu menyeluruh.

Baca Juga:  Membanggakan, Pemkab Pamekasan Kembali Raih Anugrah Adipura Tahun 2023

Kelima, pembelajaran homeschooling harus berorientasi pada capaian afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) daripada kognitif (pengetahuan) saja. Secara teknis, konsep dasar homeschooling dalam pembelajaran terbagi tiga metode. Mulai dari anak-anak belajar mandiri di rumah, dibimbing orangtua atau guru yang datang ke rumah. Pengalaman penulis dulu, anak-anak di homeschooling lebih butuh kenyamanan psikis dulu daripada kemapanan berpikir.

Semua strategi penguatan di atas menjadi ikhtiar memajukan kebudayaan Nusantara, yaitu humanisme. Hal itu sudah sesuai visi Kemdikbud yaitu terbentuknya insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan berlandaskan gotong-royon. Salah satu strategi bernas bisa dilakukan melalui penguatan homeschooling.

Memajukan Budaya Humanisme

Budaya humanisme sudah sesuai dengan tujuan mulai pendidikan secara umum, yaitu memanusiakan manusia. Di homeschooling, kebanyakan siswanya adalah anak-anak autis, tunarungu, tunanetra, tunalaras, tunadaksa, cerebral palsy (kerusakan otak), down syndrome (tunagrahita) dan lainnya.

Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Kemdikbud, tahun 2015 mencatat jumlah ABK di Indonesia mencapai 1,6 juta orang. Jika dihitung sampai tahun 2018 ini tentu jumlah itu akan makin bertambah. Sampai 2018 ini, Pusat Special Olympics Indonesia (Solna) mencatat jumlah penyandang disabilitas intelektual di Indonesia mencapai sekitar 2,75% dari 280 juta penduduk atau setara 7,7 juta orang.

Budaya humanisme yang dimaksud adalah tidak hanya antar-anak di homeschooling. Lebih penting lagi, justru humanisme yang harus dibiasakan orang-orang, teman, keluarga, bahkan guru di homeschooling itu sendiri. Budaya memanusiakan manusia di era milenial ini sangat mahal bahkan langka. Sebab, orang melihat orang bukan karena karakter, akhlak, moral atau perilakunya, melainkan karena jabatan dan berapa hartanya.

Baca Juga:  Bupati Nunukan Resmikan Gedung Baru SMPN 4 Nunukan Selatan.

Di sinilah budaya humanisme menjadi penting. Tentunya, humanisme ini sudah selaras dengan literasi baru yang digagas Kemristek Dikti. Literasi baru menguatkan tiga aspek yaitu literasi data, teknologi dan humanisme. Jika dulu kita butuh literasi lama yang aspeknya hanya membaca, menulis, dan berhitung, namun di era disrupsi ini budaya humanis sebagai bagian dari literasi baru harus digelorakan.

Nilai-nilai humanisme juga sudah selaras Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) juga menekankan karakter kejujuran. Dalam Pasal 3 Perpres No. 87 tahun 2017 disebutkan PPK dilaksanakan dengan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.

Semua nilai-nilai luhur itu substansinya harus menjadi ruh menguatkan budaya humanisme. Jika keluarga, masyarakat, pemerintah, dan aktivis peduli pendidikan mampu menguatkan homeschooling dan memajukannya, maka hal itu menjadi bukti humanisme sangat berdampak besar pada kemajuan pendidikan. Homeschooling urgen dikuatkan. Tujuannya jelas, untuk memajukan kebudayaan humanisnya, baik itu anak-anak, keluarga, termasuk masyarakat. Jika tidak sekarang, kapan lagi?

Dian Marta Wijayanti
Dian Marta Wijayanti

Oleh: Dian Marta Wijayanti, Mantan Guru Homeschooling ANSA School Kak Seto Semarang & PNS pada Dinas Pendidikan Kota Semarang

Related Posts

1 of 3,050