ArtikelOpini

Penguasa Itu Bernama “Begundal” Negara!

Oleh: Deni Iskandar*

NUSANTARANEWS.CO – Adalah “Begundal”, sebuah istilah paling kasar, yang dipakai dalam menyebut para perampok keraton di zaman kerajaan. Istilah ini rupanya masih relevan, untuk menyebut pemerintah korup di negeri ini. Baik di tingkat eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Meskipun istilah ini terkesan sangat kasar, namun tak lebih kejam, sebagaimana kejamnya pemerintah korup yang merugikan negara. Lantas adakah istilah lain yang layak dan pantas untuk menyebut pemerintah korup selain istilah “Begundal”? Jelas tak ada lagi.

Persoalan korupsi telah menjadi mata rantai yang kompleks dan tak pernah putus. Upayanya seakan selalu jalan di tempat. Akankah pengusutan skandal korupsi e-KTP juga akan berakhir sama? Keberhasilan KPK dalam mengungkap skandal korupsi ini, harus menjadi kehawatiran bersama.

Berdasarkan data yang dihimpun KPK, korupsi pejabat negara, sebanyak 49 persen. Adapun uang negara yang telah digarong mencapai 2.558.000.000.000,00 dari anggaran yang sudah ditetapkan dan disepakati sebanyak 5.900.000.000.000,00. Hal ini dapat dilihat dalam surat dakwaan, nomor: DAK-15/24/02/2017.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Setelah KPK menetapkan Irman dan Sugiharto Dirjen Dukcapil Kemendagri sebagai terdakwa, setidaknya KPK telah berhasil membuka skenario korup yang melibatkan elite politik bangsa ini. Ada belasan pejabat tinggi yang terlibat dan terseret dalam lingkaran kejahatan berantai tersebut. Salah satunya, Yasona Laoly Menteri Hukum dan HAM di Kabinet Kerja. Setya Novanto Ketua Umum Partai Golkar, yang saat ini menjadi teman koalisi PDI-P di Pilkada DKI Jakarta. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang sempat dilabrak Sedulur Kendeng lantaran mebiarkan pabrik semen beroperasi serta belasan pejabat negara lainnya.

KPK Harus Tegap

Sebagai lembaga negara, KPK harus berani mengusut tuntas kasus yang memiliki mata rantai ini sampai selesai. Pasalnya, persoalan korupsi adalah kejahatan akut dan tak bisa ditolerir. Ada dua tantangan yang sejatinya mesti dibaca secara seksama, dalam melihat skandal ini.

Pertama, tantangan untuk KPK sendiri sebagai lembaga independen negara. Kedua, masalah keberpihakan hukum, yang cenderung tumpul ke atas tajam ke bawah. Bukan tidak mungkin, pengusutan KPK dalam skandal e-KTP, akan terhenti. Mengapa demikian?

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

Pertama, besarnya anggaran negara yang dikorup. Kedua, terseretnya nama partai politik, baik parpol penguasa, maupun partai oposisi penguasa. Sejauh ini, hasil pengusutan KPK ada beberapa partai yang terlibat, diantaranya, Partai Golkar, Partai Demokrat, PDI-P, PKS dan PKB. Nama-nama partai tersebut merupakan partai besar.

Ketiga, banyaknya pejabat yang terlibat, membuat persoalan ini menjadi runcing dan akan menjadi pertarungan elite.  Keempat, pelemahan KPK di Parlemen dengan cara merevisi UU KPK, yang saat ini diwacanakan oleh DPR. Kelima, bukan tidak mungkin, pemerintah melakukan satu tindakan di luar nalar sehat, yaitu mengalihkan isu skandal ini kepada kasus lain. Ini harus jadi komitmen serta tantangan bagi media di Indonesia, khususny KPK sendiri.

Kriminalisasi KPK

Peran KPK sebagai lembaga ad hoc yang fokus memberantas korupsi, sejatinya perlu dilakukan upaya pelindungan agar KPK tidak dikriminalisasi oleh penguasa. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, seharusnya Indonesia, menempatkan posisi hukum lebih tinggi dari pada kedudukan politik.

Baca Juga:  Rezim Kiev Terus Mempromosikan Teror Nuklir

Ini penting untuk dilakukan, karena bagaimanapun, keadilan akan terwujud saat negara menjadikan hukum berwibawa. Dengan kata lain, hukum tidak tajam ke bawah tumpul ke atas. Filsuf Inggris Thomas Hobbes (1588-1679) pernah menjelaskan bahwa posisi hukum sejatinya adalah ‘Monster’ atau ‘Leviattan’. Dimana hukum bisa menerkam siapa saja yang telah melanggar dan melawan hukum itu sendiri.

Di Indonesia, posisi hukum tidak tampil sebagai panglima. Penegakan hukum dalam prakteknya tampil di bawah, setelah politik. Tidak aneh jika hukum hanya dijadikan sebagai alat untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Posisi hukum tak setinggi politik. Barang kali inilah persoalan utamanya kenapa praktek korupsi itu terus masif. Hilangnya komitmen kerakyatan, dari penguasa untuk mensejahterakan rakyat juga menjadi pemicu utama.

*Deni Iskandar, Sekertaris Umum di HMI Komisariat Ushuluddin dan Filsafat Cabang Ciputat, Periode 2016-2017.

Related Posts

1 of 466