NUSANTARANEWS.CO – Pengamat intelijen dan pertahanan Susaningtyas NH Kertopati ikut menyoroti kasus rusaknya terumbu karang Raja Ampat seluas 1.600 meter persegi. Seperti diketahui, rusaknya terumbu karang tersebut akibat kandasnya Kapal Pesiar MV Caledonian Sky milik salah satu perusahaan pelayaran Inggris.
Menurut Susaningtyas, kasus ini menjadi catatan serius dalam sistem keamanan pantai Indonesia. Apalagi di tengah berjalannya visi Poros Maritim Dunia yang digagas Presiden Joko Widodo dalam pemerintahannya. Tragedi ini, kata dia harus dimaknai bahwa masih sangat perlunya pembangunan sistem keamanan pantai.
“Semoga ini bisa menjadi trigger bagi pemutakhiran sistem keamanan pantai kita,” kata pengamat yang akrab disapa Mbak Nuning ini kepada redaksi, Sabtu (18/3/2017).
Dijelaskan Nuning, sesuai aturan yang berlaku sudah ada spot-spot tersendiri suatu kapal boleh melintas di suatu perairan. Sedngkan untuk area konservasi sudah jelas aturannya dalam UU No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No.5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, serta tidak ketinggalan, satu hukum internasional, yaitu UNCLOS 1982.
Menurutnya, dari aturan-aturan tersebut seharusnya aparat keamanan memahami suatu area konservasi dan langsung menindak bila ada kapal yang masuk. “Tetapi ini kok terkesan hanya didiamkan saja,” ucapnya.
Untuk itu dirinya mengaku heran dengan kesan didiamkannya keberadaan kapal Caledonian Sky. Pasalnya, kapal berbendera Bahama itu sudah berada di perairan Raja Ampat sejak tanggal 3 Maret 2017. Dan setelah mengelilingi Pulau Waigeo untuk mengamati keanekaragaman burung serta menikmati pementasan seni, para penumpang kembali ke kapal pada siang hari tanggal 4 Maret 2017.
Selanjutnya, kapal pesiar itu kemudian melanjutkan perjalanan ke Bitung pada pukul 12.41 WIT. Di tengah perjalanan menuju Bitung, MV Caledonian Sky kandas di atas sekumpulan terumbu karang di Raja Ampat. Kapten terus berupaya untuk menjalankan kapal Caledonian Sky hingga akhirnya berhasil kembali berlayar pada pukul 23.15 WIT pada tanggal 4 Maret 2017.
Atas kejadian ini, Nuning menyorot peran aparat keamanan setempat, khususnya TNI AL. Sebab, kawasan tersebut ada Lantamal XII Sorong yang kini berada di bawah Komando Armada RI Kawan Timur (Koarmatim).
“Harus dipertanyakan kemampuan jajaran Koarmatim setempat dalam mengelola system keamanan laut di sana, kok hal itu bisa terjadi? Seharusnya kan melarang,” kritiknya.
Jika mengacu pada aturan yang disebutkan di atas, Nuning mengatakan Standard Operating Prosedure (SOP) sudah sangat jelas untuk TNI AL agar menindak Kapal MV Caledonian Sky. Namun, berdasarkan informasi yang diterima justru Basarnas yang melakukan Visit, Board, Search, and Seizure (VBSS) dan sempat berdialog dengan kapten kapal Keith Michael Taylor.
“Kenapa bukannya TNI AL yang melakukan VBSS? Memang Basarnas tidak memiliki wewenang untuk menindak. Sudah seharusnya Pangarmatim dievaluasi dalam hal ini,” tegasnya.
Melihat keanehan ini, ia mengendus adanya pihak yang bermain mata dengan MV Caledonian Sky. Ia mengaku mendapat laporan adanya keterlibatan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) Papua Barat yang berada di bawah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut yang bermain mata dengan pihak MV Caledonian Sky sesaat sebelum terjadinya musibah ini.
“Kalau memang benar maka harus ditindak tegas oknum-oknum yang terlibat di situ,” cetusnya.
Terakhir, Dosen Unhan ini mendesak perlu adanya investigasi yang mendalam terkait peristiwa ini. Investigasi dimaksudkan agar pemerintah bisa tepat dalam memberikan sanksi karena segala ancaman di laut termasuk kerusakan ekosistem dapat diminimalisir secara optimal.
“Pokoknya harus ada investigasi dulu, sehingga kita bisa tepat memberi sanksi,” tegasnya.
Penulis: Eriec Dieda