Berita UtamaPolitik

Pengamat: Harus Ada Batasan Alutsista Polri

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Mengembalikan posisi polisi ke posisi semula sesuai dengan amanat UUD 1945 saat ini tampaknya patut menjadi sebuah gerakan bersama. Pasalnya, dalam berbagai hal, seperti kepemilikan senjata api saat ini polisi tampak sudah tidak ada batasannya lagi alias sama dengan TNI. Padahal, polisi bukan kombatan, bukan unit tempur.

Salah satu upaya penyelesaian ini adalah dengan cara membuat batasan yang jelas dan transparan soal persenjataan atau alutsista Polri, sehingga tidak meniru-niru alutsista TNI. Sebab, tugas utama Polri sesuai UU adalah melindungi, mengayomi dan melayani serta melakukan penegakan hukum di masyarakat. Sebab itu dalam menjaga keamanan masyarakat, anggota Polri diperkenankan memegang senjata api. Tapi senjata api anggota Polri hanya sebatas untuk melumpuhkan, yang tentunya jenis senjata apinya harus jauh berbeda dengan senjata api TNI atau militer, yang berfungsi untuk perang.

“Hanya saja di Polri terdapat kesatuan atau unit kerja semi militer, yakni Brimob dan belakangan ada Densus 88 Anti Teror. Ironisnya, di kedua unit kerja Polri ini berbagai jenis alutsistanya disamakan dengan alutsista TNI. Ironisnya lagi, selama ini tidak ada yang mempermasalahkannya. TNI dan Komisi 3 DPR mendiamkannya,” kata Ketua Presidium Indo Police Watch Neta S Pane saat ditanya menanggapi soal persenjataan milik Polri, Jakarta, Kamis (28/9/2017).

Baca Juga:  Anton Charliyan Lantik Gernas BP2MP Anti Radikalisme dan Intoleran Provinsi Jawa Timur

Meski hampir tidak mungkin mengembalikan Polri di bawah, misalnya, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), atau Kemenhan, tetapi kebutuhan ini sangat mendesak kalau melihat komposisi alutsista Polri (Brimob dan Densus 88) yang serupa milik alutsista TNI. Padahal, kedua unit di bawah Polri itu jelas bukan dibuat untuk kepentingan tempur layaknya TNI. Parahnya lagi, Brimob diketahui sudah memiliki kendaraan lapis baja Barakuda yang mirip dengan Panser TNI, senapan SS dan peluncur granat standar militer. Begitu juga dengan Densus 88 Antiteror yang hampir seluruh senjata apinya mengikuti alutsista militer.

“Jadi apa yang dikatakan Panglima TNI Gatot memang patut dicermati karena polisi memang jauh beda dengan militer. Untuk itu alutsistanya harus berbeda dan tidak boleh sama atau mirip atau mengikuti gaya militer. Tapi kenapa Panglima TNI baru bicara sekarang soal ini. Pertanyaannya kemudian, apakah ancaman Gatot yang akan menyerbu unit kerja keamanan yang memiliki senjata berat itu hanya sebuah gertak sambal atau memang benar akan diwujudkan. Ancaman ini perlu diklarifikasi Komisi 3 DPR sebagai mitra kerja TNI Polri agar tidak berkembang keresahan di masyarakat dan ketakutan di kalangan investor,” terang Neta.

Baca Juga:  Kepala DKPP Sumenep Ajak Anak Muda Bertani: Pertanian Bukan Hanya Tradisi, Tapi Peluang Bisnis Modern

Sayang, mengembalikan posisi Polri ke tempat semula tampaknya sulit terwujud, apalagi Polri seperti sudah merasa nyaman dengan posisinya saat ini.

“Dengan adanya ancaman tersebut tentunya hubungan TNI dengan Polri bisa makin memburuk. Untuk itu masalah ini harus segera diselesaikan, standar alutsista Polri harus dituntaskan, agar tidak terjadi konflik di jajaran bawah TNI dan Polri. Sebab beberapa waktu lalu di Binjai Sumut pernah terjadi bentrokan selama 9 jam antara jajaran bawah TNI dgn Brimob. Kedua belah pihak sama sama mengerahkan senjata beratnya,” kata Neta.

Menurutnya, ini tidak boleh terjadi lagi. Komisi III DPR-RI harus memperjelas kepada Brimob dan Densus 88, seperti apa seharusnya alutsista mereka agar tidak bergaya militer atau meniru-niru alutsista TNI. Jika polemik ini tidak segera diselesaikan dipastikan akan terjadi kegaduhan yang ujung-ujungnya bisa makin meruncing dan mengganggu keamanan di 2019,” jelasnya.

Pewarta: Eriec Dieda
Editor: Ach. Sulaiman

Related Posts

1 of 91