NUSANTARANEWS.CO – Komisi Pemberantasan Korupsi alias KPK yang saat ini dipimpin Agus Raharjo seperti telah sesat dalam menangani kasus perkara pidana suap dua Raperda Reklamasi atas terdakwa Ariesman Widjaja, kata Uchok Sky Khadafi. Di tengah semangat Indonesia mewujudkan transparansi, partisipasi publik, akuntabilitas, dan inovasi dalam pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efisien seharusnya KPK mampu menunjukan taringnya demi terciptanya clean government.
Pengamat Kebijakan Publik Uchok Sky Khadafi sudah menduganya dari awal bahwa Jaksa KPK akan menuntut ringan, sebab KPK yang dipimpin Agus Rahardjo CS ini tengah tersesat.
“Hal ini dilihat dari kasus ini dituntut ringan, dan pernyataan KPK bahwa sudah menilai bahwa ini merupakan Grand Coruption hanyalah omong kosong, bahkan jika dengan melihat tuntutan ini, justru kasus ini hanya sebagai korupsi ‘ece-ece korupsi’ saja,” katanya saat dihubungi Nusantaranews, di Jakarta, Kamis (11/8/2016).
Semakin tersesatnya KPK semakin diperkuat dengan enggannya KPK melakukan pengembangan terhadap kasus ini. Padahal dalam fakta-fakta persidangan begitu jelas terlihat ada pihak lain yang juga ikut campur salah satunya Bos PT Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan dan anaknya Richard Halim Kusuma alias Yungung.
“Malahan KPK hanya berani pada Sanusi dan Ariesman saja,” cetusnya.
Dalam fakta persidangan diketahui terungkap adanya pertemuan yang dilakukan oleh Anggota DPRD lain seperti Prasetio Edy, M Taufik, dan Mohammad Sangaji alias Ongen bersama Aguan, Ariesman, dan Richard. Pertemuan tersebut digelar beberapa kali, pertemuan tersebut tidak lain untuk membahas Raperda Reklamasi yang masih dibahas DPRD bersama Pemprov DKI.
Bahkan dalam fakta persidangan juga terungkap adanya campur-tangan orang terdekat Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yakni Sunny Tanuwidjaja. Belum diketahui campur tangannya seperti apa, namun jika ditelaah pembicarannya kala itu dengan Sanusi, nampaknya Sunny mengetahui betul bahwa ada permainan di dalamnya.
“Jadi oh KPK malang sekali nasibmu dipimpin dalam komisioner saat ini,” tutupnya.
Diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menangani perkara pidana suap dua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Reklamasi atas terdakwa Ariesman Widjaja mantan Bos PT Agung Podomoro Land (APL), Rabu kemarin membacakan tuntutannya selama 4 tahun penjara dan denda Rp250 juta dengan subsidair 6 bulan kurungan penjara di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat yang dipimpin hakim Sumpeno.
Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa terbukti melakukan tindak pidana pasal 5 ayat 1 ke 1 huruf a Undang-Undang Tipikor juncto pasal 55 ayat 1 ke 1 juncto pasal 64 KUHPidana, dimana terdakwa bersama bawahannya yakni Trinanda Prihantoro telah menyuap Anggota DPRD nonaktif Mohamad Sanusi sebanyak Rp2 miliar. Suap tersebut untuk mempercepat pembahasan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategus Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) serta mengakomodasi pasal-pasal tambahan yang diinginkan terdakwa selaku pengembang yang membangun reklamasi.
Selain Ariesman, dalam perkara yang sama, jaksa KPK juga menuntut Asisten Personal Presdir Podomoro Land Trinanda Prihantoro pidana 3,5 tahun penjara, denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.
Jaksa KPK menyatakan keduanya terbukti secara sah dan meyakinkan korupsi bersama-sama dan berlanjut menyuap Sanusi Rp2 miliar untuk memenuhi kepentingan pengembang menurunkan kontribusi tambahan 15 perden. Dalam kaitan itu, Ariesman dianggap sebagai aktor intelektual sedangkan Trinanda hanya aktor kecil.
Hal-hal yang memberatkan kedua terdakwa, menurut jaksa adalah tidak mendukung upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan mencederai tatanan birokrasi pemerintahan dalam penyelenggaraan negara yang bersih dari praktik KKN.
Sedangkan hal yang meringankan, kedua terdakwa berlaku sopan saat persidangan, menyesali perbuatan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Kedua terdakwa tidak menggunakan kesempatan yang disediakan majelis hakim untuk menanggapi tuntutan jaksa.
Tuntutan Jaksa tersebut dirasa sangat ringan, mengingat saat melakukan penangkapan terhadap mereka. KPK kerap sekali menggembor-gemborkan bahwa kasus tersebut merupakan Grand Corruption, di mana sebuah korporasi dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. (restu/red-01)