NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Menjelang pergantian tahun 2017, partai politik melakukan manuver untuk menghadapi Pilkada Serentak 2018 mendatang. Sejauh ini Gerindra, PKS dan PAN telah bersepakat untuk merajut koalisi di lima provinsi, terutama dalam mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Sebagian pihak menilai, koalisi ketiga parpol tersebut akan terus berlangsung hingga menghadapi Pemilu 2019 mendatang.
“Dari manuver-manuver politik partai tersebut, yang menjadi persoalan mendasar dari partai-partai politik di Indonesia adalah partai politik di Indonesia tidak digerakkan oleh ideologi, tidak mengakar ke massa, dan sistem pengelolaannya tidak berbasis organisasi modern. Coba lihat ideologi parpol di Indonesia saat ini,” kata pengamat politik dari Indonesia Development Monitoring (IDM) Bin Firman Tresnadi, Jakarta, Kamis (28/12/2017).
Ia mengatakan, ideologi sekedar hanya jadi embel-embel untuk melengkapi AD/ART. Lalu, ketika partai beroperasi di arena politik, panglimanya adalah uang dan kekuasaan. Sedangkan pijakan ideologi mereka adalah pragmatisme.
“Hal ini semakin terang kita saksikan. Bisa dikatakan tak ada satu partai pun berani meresikokan dirinya untuk terjun membantu persoalan-persoalan rakyat saat ini yang tengah dihimpit berbagai persoalan kehidupan yang semakin sulit di ‘era-distruption’ ini,” paparnya.
Pada umumnya, kata dia, partai politik tidak menjalankan kaderisasi dan perekrutan sebagai jalan memperluas basis konstituen. Akibatnya, guna memenangkan suara atau dukungan rakyat, mereka mengandalkan kekuasaan dan uang.
“Ini yang membuat hampir tidak ada partai yang mau melakoni ‘oposisi’ secara konsisten. Selain itu, pemahaman orang tentang parpol sudah bergeser: orang tidak lagi menganggap parpol sebagai sarana memperjuangkan cita-cita politik, melainkan sebagai sarana mencari jabatan dan uang. Ini pula yang membuat orang bisa keluar-masuk partai sesukanya,” jelasnya.
Kata Bin Firman, fenomena parpol semacam ini tidak sehat. Rakyat selamanya tidak akan dibuat berdaya secara politik. Sebab, partai hanya menempatkan rakyat sebagai objek politik atau sarana mencapai kepentingan partai. Sedangkan suara rakyat, yang seharusnya diperjuangkan oleh partai, tidak pernah terartikulasikan.
“Hancurnya sistem kepartaian makin terasa di alam demokrasi liberal. Politik tidak lagi dipandang sebagai sarana atau seni mengelola kekuasaan demi kepentingan rakyat, tetapi sudah tersubordinasi di bawah disiplin pasar dan logika profit. Parpol pun bisa diperjual-belikan tak ubahnya komoditas. Sekarang ini, logika profit sudah menjadi panglima dan ideologi-seperti balon warna-warni yang dijual bebas itu-tak lebih sebagai daya-penarik dagangan saja,” terangnya. (red)
Editor: Eriec Dieda