NUSANTARANEWS.CO – Di Kota Pekalongan, Jawa Tengah ada sebuah jamaah pengajian bernama Jamiyah Ahl at-Thariqah al-Muktabarah an-Nahdiyah. Tiap kali mengadakan agenda pengajian, peserta atau jamaah mengenakan baju koko, jubah putih, sarung, kopiah dan baju muslimah. Busana muslim yang umumnya dikenakan jamaah di forum-forum pengajian.
Seperti biasanya, dalam agenda pengajian ada seorang juru dakwah yang mengisi untuk memberikan tausiyah dan ceramah kegamaan. Apalagi agenda pengajian itu dilaksanakan dalam rangka memperingati hari-hari besar keagamaan, salah satunya peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Demikian halnya dengan pengajian ini, sang penceramah disampaikan ulama asal Yaman, Habib Zet bin Yahya.
Sementara, KH Habib Muhammad Luthfy bin Ali bin Yahya memimpin prosesi patriotik pengajian, sarat dengan semangat.
Peringatan Maulid Nabi SAW yang terlaksana pad Februari 2015 itu mengusung tema “Dengan Maulid Nabi, Kita Perkokoh Persatuan dan Kesatuan NRKI.” Rois ’Am Jamiyah at-Thariqah al-Muktabarah an-Nahdiyah KH Habib Muhammad Luthfy bin Ali bin Yahya mengingatkan jamaah akan pentingnya cinta pada bangsa dan negara Indonesia sebagai bagian dari pengamalan ajaran Islam. Tentu saja, acara utamanya tetap berupa bacaan shalawat, doa, puja-puji untuk Nabi Muhammad, ceramah, zikir, serta doa bersama.
Di sela-sela ritual, terselip teriakan “Merdeka” yang bersahutan. Sekilas ada suasana yang agak mirip perayaan hari ulang tahun kemerdekaan RI setiap 17 Agustus. aulid Nabi di Pekalongan itu memang menawarkan kemasan yang tak biasa. Tak saja menggali keteladanan dari Nabi Muhammad (570-632), jemaah juga diajak mengamalkan keteladanan itu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Spirit nasionalisme yang terkandung dari perjuangan Nabi Muhammad berupa menjaga keteguhan sikap dan kekuatan batin sehingga tak kehilangan arah dan harapan di tengah perubahan zaman. Untuk tetap bertahan, perlu terus meningkatkan kesatuan dan persatuan bangsa.
Selain itu, KRI merupakan tanggung jawab bersama semua lapisan bangsa, terutama pemerintah, ulama, dan masyarakat. Ulama diharapkan mendorong pemahaman Islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian, kerukunan, dan persatuan. Selain menekankan persaudaraan antarumat (ukhuwah Islamiyah) dan antarmanusia (ukhuwah bashariyah), Islam juga mementingkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah).
Peringatan Maulid di Pekalongan itu menawarkan penguatan nasionalisme dengan pendekatan sosial-budaya yang lebih luwes. Dengan menyisipkan pesan patriotisme dalam kegiatan keagamaan itu, masyarakat hendak diingatkan bahwa agama bisa menjadi faktor penyatu (integratif) bagi pembentukan sebuah bangsa. Lebih dari sekadar jargon normatif, hal tersebut telah dibuktikan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan.
Gerakan sosial-politik berbasis Islam berperan penting dalam membangun cita-cita Indonesia merdeka. Sarekat Islam (tahun 1912) pimpinan HOS Cokroaminoto, misalnya, mendorong umat untuk mengembangkan kemandirian dari kolo-nialisme. Muhammadiyah (tahun 1912) dan Nahdlatul Ulama (tahun 1926), dua organisasi kemasyarakatan Islam besar yang bertahan hingga sekarang, juga menyerukan nasionalisme di samping misi utama dakwah.
Bisa dibilang, pada masa kemerdekaan, Islam (sebagaimana tecermin dari perjuangan organisasi-organisasi tersebut) menjadi bagian penting dalam proses integrasi. Lahirnya NKRI tak lepas dari kesadaran dan kebesaran hati kelompok masyarakat beragama yang lebih memilih untuk membangun negara Indonesia berdasar Pancasila yang mengayomi beragam pemeluk agama. Sila-sila dasar negara itu diyakini sebagai cerminan nilai-nilai Islam yang universal: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan.
Usaha untuk mengingatkan sejarah ini masih relevan. Apalagi belakangan ini masih ada sisa gerakan Negara Islam Indonesia yang merindukan negara agama. Ekspresi serupa bisa bermetamorfosis lebih halus lewat kelompok garis keras yang berjuang membakukan syariat Islam dalam hukum formal negara.
Aspirasi demikian tentu bisa mementahkan cita-cita para pendiri bangsa yang bersepakat membangun Indonesia dengan pilar Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Terlebih jika agama dijadikan alasan untuk menggoyahkan solidaritas. Tak hanya menjadi langkah mundur, pendekatan itu berpotensi menempatkan sentimen keyakinan agama sebagai faktor yang merenggangkan (disintegrasi) persatuan.
Gerakan-gerakan yang merongrong Pancasila adalah separatis dan makar, termasuk PKI yang hendak merubah Pancasila menjadi ideologi komunis.
Penulis: Ilham Khoiri