Opini

Penegakan Ekonomi Konstitusi di Indonesia Masih Lemah

Indonesia di antara komunisme dan kapitalisme. (Foto: Ilustrasi/Suara Nasional)
Penegakan Ekonomi Konstitusi di Indonesia Masih Lemah. (Foto: Ilustrasi/Suara Nasional)

Penegakan Ekonomi Konstitusi di Indonesia Masih Lemah

Oleh: Defiyan Cori, Penulis adalah Ekonom Konstitusi

Ada setidaknya 4 (empat) peristiwa yang cukup mengangetkan dan sekaligus mungkin membingungkan publik Indonesia yang peduli pada tegaknya pelaksanaan Ekonomi Konstitusi, pasal 33 UUD 1945 secara konsisten dan bertanggungjawab, yang terjadi pada bulan minggu pertama bulan Mei dan awal bulan Juni 2019 (masih dalam bulan Puasa dan suasana Hari Raya Idul Fitri 1440 H). Peristiwa ini bisa saja tidak saling berkaitan dan tak berhubungan sama sekali, namun sangat berpengaruh pada posisi dan pengelolaan kinerja BUMN yang dijamin konstitusi.

Peristiwa yang pertama adalah penghentian penyaluran BBM bersubsidi jenis Solar oleh PT. AKR Corporindo yang terjadi pada tanggal 12 Mei 2019. Yang kedua adalah vonis selama 8 tahun penjara dan denda Rp 1 Miliar subsidier 4 bulan kurungan yang ditetapkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat terhadap mantan Direktur Utama Pertamina yang dinyatakan bersalah melakukan korupsi atas investasi blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia.

Peristiwa yang ketiga dan keempat adalah inspeksi atau peninjauan penyaluran BBM di SPBU yang berlokasi di rest area Tol Trans Jawa oleh Menteri ESDM Ignasius Jonan serta ketidaktahumenahuan Menteri BUMN Rini Soemarno atas rencana Presiden Joko Widodo mendatangkan maskapai asing ke Indonesia dalam mengatasi mahalnya harga tiket pesawat.

Peristiwa-peristiwa itu tentu saja mengernyitkan dahi publik atas ketidaktepatan dan ketidakjelasan sikap serta berantakannya koordinasi para pejabat terkait dalam mengemban amanah yang telah diberikan. Uraian ini tak hendak mengulas sikap dan tindak 2 (dua) orang Menteri yang tak mengindahkan tugas pokok dan fungsi utamanya, yang satu menjadi supervisor dan yang lainnya tak punya pengetahuan. Tulisan ini lebih mensikapi 2 (dua) aksi korporasi dengan bobot yang tak jauh berbeda terkait pengambilan keputusan Direksi BUMN.

Penghentian penyaluran BBM bersubsidi jenis Solar oleh PT. Aneka Kimia Raya Corporindo (AKR Corporindo) per tanggal 12 Mei 2019 merupakan suatu tindakan wan prestasi yang mestinya berdampak hukum. Dengan memperoleh izin penugasan berdasar proses pelelangan (tender) yang telah meluluskan AKR Corporindo ini pada awalnya, tentu publik menyimpulkan bahwa korporasi swasta ini memiliki kemampuan dalam penyaluran BBM bersubsidi jenis Solar selain PT. Pertamina sebagai BUMN yang memang diberikan penugasan untuk itu sesuai pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Pelibatan swasta dalam penyaluran ini tentu saja tidak tepat dan salah, apalagi keikutsertaan AKR Corporindo itu hanya atas dasar ketidaksepakatan atau bahkan ketidaksukaan atas hak monopoli yang diberikan pada Pertamina selama ini.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah entitias ekonomi dan bisnis yang dibentuk oleh negara dengan latar belakang sejarah panjang perjuangan kemerdekaan melawan kolonialisme yang didahului penguasaan ekonomi oleh swasta (asing) melalui korporasi VOC atau Kapitalisme. Oleh karena itu, semua pemangku kepentingan (stakeholders) dan publik harus memahami betul tugas pokok dan fungsi BUMN ini dalam konteks logis sejarah kolonialisme ini dan adanya perintah konstitusi, UUD 1945 pasal 33 ayat 1, 2 dan 3. Bahwa, BUMN yang merupakan penguasaan negara di sektor ekonomi dan bisnis ini tidak saja merupakan sebuah korporasi dengan tujuan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya untuk memperluas cakupan ruang gerak bisnis perusahaan BUMN saja, melainkan juga untuk memberikan pelayanan publik serta kemakmuran bagi semua orang, bukan orang per orang.

Dengan memahami konteks sejarah tersebut, maka tentunya publik dapat memahami alasan-alasan logis sejarah dan konstitutional mengapa penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup orang banyak diberikan secara otoritatif atau non free competition market kepada BUMN, terutama Migas untuk Pertamina.

Sebagaimana ketentuan pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum (Public Service Obligation) dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan kegiatan BUMN, termasuk dalam hal ini adalah kajian kelayakan (feasibility) finansial atau margin bagi BUMN, jika kebijakan harga tersebut tak layak, maka Pemerintah harus mengkompensasi intervensi politik dalam penetapan harga tersebut.

Pertanyaanya adalah, apakah kesiapan AKR dalam memenuhi kriteria dan persyaratan dalam penyaluran BBM bersubsidi sudah dilakukan melalui seleksi dan kajian yang mendalam atau tender yang dilakukan hanya sebuah formalitas belaka?

Sebagai sebuah kasus perbandingan, maka perlu dicermati juga yang terjadi antara Pertamina dan Garuda Indonesia, melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 yang substansinya memuat kebijakan BBM Satu Harga yang ditindaklanjuti oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 36 Tahun 2016 tentang Percepatan BBM Satu Harga, praktis pada 1 Januari 2017 Pertamina menindaklanjuti kebijakan pemerintah ini tanpa polemik yang berarti.

Dengan posisi dan masalah yang sama soal harga keekonomian yang telah diserahkan kepada pasar, yaitu Pertamina di hulu terikat dengan harga keekonomian dunia untuk menetapkan kebijakan harga dasar, dan Garuda yang terikat juga dengan kompetisi harga dalam industri transportasi udara, yaitu pesawat penumpang komersial dengan pesaing (kompetitor) swasta.

Fakta yang tampak dimata publik adalah, tanggapan (respon) kedua BUMN ini sangat berbeda saat kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah, Pertamina begitu responsif menindaklanjuti perubahan harga, sedang Garuda Indonesia kurang tanggap. Dengan beban kebijakan pemerintah yang diemban relatif sama, maka operasionalisasi Pertamina melalui kebijakan BBM Satu Harga masih memberikan kinerja yang baik pada Tahun 2017 melalui keuntungan bersih atau laba (walau pencapaian laba menurun 23% dibanding Tahun 2016 sejumlah US$ 3,15 M) sejumlah US$ 2,4 Miliar atau sebesar Rp 36,4 Trilyun (kurs Rp 13.500).

Baca Juga:  Oknum Ketua JPKP Cilacap Ancam Wartawan, Ini Reaksi Ketum PPWI

Sebaliknya dengan Garuda Indonesia yang sudah go public ini, mencatatkan kerugian pada Tahun 2017 sejumlah US$ 213,4 juta atau sebesar Rp 2,88 Trilyun dibandingkan Tahun 2016 yang masih mampu memperoleh laba bersih sejumlah US$ 9,4 juta atau sebesar Rp 126,9 Miliar. Alasan yang disampaikan oleh manajemen Garuda Indonesia kala itu atas kinerja yang buruk ini adalah meningkatnya total pengeluaran perusahaan, yaitu US$ 3,7 Miliar pada Tahun 2016 menjadi US$ 4,25 Miliar pada Tahun 2017 atau naik sebesar 13 persen. Berdasar data dan permasalahan kebijakan harga BBM dan harga tiket pesawat yang dihadapi oleh kedua BUMN ini, maka kalau dicermati alasan menjual saham ke publik untuk memperbaiki kinerja korporasi BUMN akhirnya menjadi terbantahkan.

Dapat disimpulkan, bahwa beban dan resiko Pertamina jelas lebih besar dibanding Garuda, akan tetapi tanggungjawab publik BUMN lebih tanggap Pertamina dibanding Garuda Indonesia.

Profesionalisme dan Kepatuhan Hukum

Selain menjadi bagian yang mendukung penyelenggaraan fungsi kemanfaatan umum sebagaimana ketentuan UU No. 19 Tahun 2003, maka BUMN juga terikat dengan ketentuan UU Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 yang mengharuskan Pertamina untuk mengikuti kaidah-kaidah organisasi korporasi. Artinya, selain tugas PSO di satu sisi, Pertamina juga harus mampu memenuhi tuntutan pemegang saham dalam memenuhi sasaran (target) komersial, menghasilkan laba, membagi hasil laba (dividen), membayar pajak ke negara dan mengalokasikan dana sebagai bagian dari tangggungjawab sosial korporasi (Corporate Social Responsibility/CSR).

Dengan 2 (dua) tanggungjawab yang tidak ringan itu, dibanding korporasi swasta yang hanya terikat pada UU PT, maka posisi BUMN Pertamina selalu dalam posisi beban lebih berat apabila adanya intervensi politik dalam penetapan harga jual produk atau jasa. Dalam konteks opini harga jual avtur eceran Pertamina yang lebih mahal (walau faktanya lebih murah) dan menjadi salah satu komponen biaya yang menyebabkan harga tiket pesawat menjadi mahal, telah dijawab Pertamina dengan berkorban untuk sesama BUMN. Pertamina telah menjadi solusi bagi terbangunnya sinergi BUMN yang patut diapresiasi oleh publik karena mampu menghilangkan ego korporasinya dalam membantu “saudara”nya BUMN Garuda Indonesia (walau tak 100 persen lagi milik negara) dan mendukung Presiden Republik Indonesia dalam melayani masyarakat konsumen supaya tidak terbebani harga tiket pesawat yang mahal.

Baca Juga:  Penghasut Perang Jerman Menuntut Senjata Nuklir

Posisi BUMN yang dilematis diantara 2 (dua) produk UU yang tidak saling mendukung penguatan BUMN sebagai PSO dan sebagai korporasi yang berorientasi laba (profit oriented) harus segera diakhiri. Sebab, dalam jangka panjang bukan tidak mungkin BUMN justru tidak hanya akan kesulitan dalam menjalankan operasinya, tetapi juga akan semakin sulit mengembangkan usahanya secara korporatis dalam membangun industri migas dan energi alternatif lainnya dari kemampuan modal sendiri. Apabila hal ini yang terjadi, maka negara yang akan merugi karena tidak dapat deviden yang signifikan sebagai alokasi penerimaan negara untuk anggaran pembangunan, dan bisa jadi ketergantungan terhadap utang semakin akut. Tentu Presiden takkan membiarkan hal ini sampai terjadi di masa datang. Lalu, bagaimana halnya dengan kasus AKR Corporindo yang menghentikan penyaluran BBM bersubsidi jenis Solar ini, apakah karena tidak lagi memperoleh keuntungan (margin), lalu melepaskan tanggungjawab? Artinya dalam peribahasa “habis manis sepah dibuang”, ambil untungnya, rugi berikan ke Pertamina, dan apakah ini bukan sebuah tindakan bertentangan dengan hukum?

Namun demikian, jika membandingkan kinerja yang dicapai oleh Garuda Indonesia dengan beban penugasan yang sama, maka jelas Direksi BUMN Pertamina lebih menunjukkan sikap profesionalisme dibanding Direksi BUMN Garuda Indonesia.

Mestinya manajemen atau jajaran Direksi Pertamina yang telah terlibat dalam pemilihan AKR Corporindo juga turut bertanggungjawab secara hukum atas kebijakan korporasi ini, sebagaimana yang telah terjadi pada Karen Agusetiawan yang dipersalahkan atas aksi korporasinya. Sangat tidak adil jika kebijakan korporasi BUMN yang satu tidak dipersalahkan dan yang lainnya justru dikenakan pidana, padahal sama-sama melakukan pelanggaran hukum dan berdampak kerugian bagi BUMN dan negara. Yang lebih parah adalah kasus Samin Tan yang memperoleh secara mudah sejumlah dana utangan dari PT. Patra Niaga (anak usaha Pertamina), namun sampai saat ini tak ada kejelasan pembayarannya. Publik tentu tak mau kasus-kasus yang tak adil ini terulang kembali, dan untuk itu Presiden Joko Widodo harus bersikap dan mengambil tindakan.

Apakah AKR Corporindo dapat dengan semau gue berhenti di tengah jalan tanpa ada sangsi hukum? Kalau tidak ada pengenaan sangsi tersebut, lalu bagaimana halnya jika Pertamina yang berhenti? Akankah juga diperbolehkan dan tidak dikenakan sangsi? Apabila pemenang tender adalah pihak swasta dan dibiarkan wan-prestasi tanpa sangsi hukum dan material, lalu dimanakah keberpihakan BPH Migas kepada BUMN, negara dan rakyat Indonesia?

Kalau Pertamina sebagai  BUMN yang sahamnya 100% milik negara harus menjalankan penugasan negara, lalu kenapa ada lelang penyaluran PSO? (*)

Related Posts

1 of 3,050