Pencurian Virus

Pencurian Virus
Pencurian Virus
Oleh: Muhamad Pauji

Setelah masuk ruang laboratorium, lelaki jangkung berwajah oval itu berdiri di samping saya. Kami berbincang-bincang sejenak, kemudian saya mengajaknya menuju peralatan yang sudah saya persiapkan sejak pagi tadi. Ia mengerutkan dahi dengan satu mata memicing ke arah mikroskop berteknologi tinggi. Ia terlihat canggung, gugup, dan tangannya agak gemetar. Sepertinya ia tak biasa dengan pekerjaan ini. Tak berapa lama, ia mengangkat tangannya yang putih lemas ke atas matanya, lalu menyeka sedikit keringat di keningnya.

“Bapak sudah lihat, kan?” tanya saya kemudian.

“Ya, saya bisa melihat, Pak Profesor,” jawabnya agak ragu, “tapi sedikit sekali.”

“Nah, itu varian lama,” kata saya sambil menyelipkan slide kaca pada bagian bawah mikroskop, “memang masih sejenis, tapi agak beda sedikit dengan varian baru.”

“Tapi apakah jenis ini bisa juga disebut corona?”

“Terserah kesepakatan dunia kedokteran, tapi seumumnya para dokter di dunia Barat, khususnya Amerika, akan memberinya nama tersendiri. Lalu, kita hanya mengikutinya. Tapi ngomong-ngomong, apakah Bapak bisa melihat varian yang ini?”

Sambil diam terpaku, lelaki itu menghela napasnya. Kemudian kata saya mencontohkan, “Putar sekrup ini pelan-pelan, nanti mikroskop ini akan fokus dengan mata Bapak. Karena memang, mata setiap orang berbeda-beda.”

 

Lelaki itu memutar sekrup, dan saya memerintahkan agar tetap fokus, sebab hanya sedikit saja terjadi pergeseran sudut, itu akan sangat mempengaruhi.

“Nah, sekarang saya sudah lihat,” ujar lelaki jangkung itu gembira. “Tapi, sepertinya hanya bulatan yang dikelilingi garis-garis kecil berwarna merah muda. Saya tidak membayangkan, partikel sekecil ini, yang hanya sebesar atom, bisa bermutasi dan berlipat-lipat ganda menghancurkan kehidupan manusia… wah, sungguh luar biasa!”

“Luar biasa, bagaimana maksud Bapak?” tanya saya agak curiga.

“Maksud saya, ini sungguh mengerikan… amat sangat mengerikan….”

***

Sejak lelaki asing itu mengatakan ‘luar biasa’, sudah ada sedikit kecurigaan pada diri saya. Sebagai profesor di bidang kedokteran, sudah bertahun-tahun saya diberi kewenangan untuk mengadakan penelitian di laboratorum yang difasilitasi negara. Menghadapi tamu dari kalangan dokter atau mahasiswa kedokteran yang tengah mengadakan riset, sudah terbiasa bagi saya. Tetapi lelaki jangkung, yang membawa pengantar dari seorang sahabat lama ini, nampaknya agak berbeda dengan tamu-tamu lainnya.

Ketika saya berdiri dan melepas slide kaca dari mikroskop, memegangnya dengan tangan dan mengarahkannya ke jendela, lelaki berusia sekitar 40-an itu menancapkan pandangannya agak sinis, lalu kata saya memecah kesunyian, “Ya, virus-virus ini terlihat kecil sekali, seperti bola-bola berduri…”

“Atau seperti mata rantai ledakan petasan di udara?” kata lelaki itu agak ragu-ragu. “Tapi, apakah virus-virus itu masih hidup? Maksud saya… mereka hanya terlihat bergerak-gerak sedikit?”

“Tadi itu jenis yang pertama, dan sudah kami lumpuhkan,” jawab saya pelan. “Saya sendiri berharap kita bisa memusnahkan mereka secepatnya…”

“Di dunia ini?”

“Ya, di seluruh dunia tentunya.”

“Saya kira,” kata lelaki itu dengan senyum tipis, “Anda tak punya kewenangan untuk memusnahkan virus ini dari muka bumi.”

“Virus ini sangat berbahaya,” kata saya meyakinkan.

“Tapi Anda sendiri punya kewenangan untuk menyimpannya dalam keadaan aktif… memang sudah dilumpuhkan… tapi bukan berarti mereka sudah mati, kan?”

“Kami menyimpannya hanya sebagai sampel penelitian saja… seperti juga yang ini,” saya melangkah menuju ruang sebelah dan lelaki jangkung itu mengikuti saya dari belakang.

Saat itu juga, saya menunjukkan contoh virus yang masih aktif, dan tersimpan di dalam tabung kecil yang disegel. “Ini contoh pengembangan dari virus yang masih hidup. Bisa juga dibilang, botol SARS.”

Sekelebat senyum kepuasan muncul pada wajah lelaki asing itu. Rasa khawatir dan curiga makin bertambah dalam diri saya.

“Apakah yang ada di botol ini juga mematikan?” katanya mengamati tabung kecil dengan pandangan serius.

Saya membaca adanya kesenangan yang tak wajar pada ekspresi lelaki jangkung itu. Saya melirik surat pengantar di atas meja, yang diserahkan pada saya ketika ia masuk tadi. Lelaki itu berambut hitam pendek dan tersisir rapi. Ia mengenakan kemeja batik kuning dengan wajah pucat dan mata agak kelabu gelap. Ia menunjukkan minat dan kegairahan yang tak semeetinya, seakan kontras dengan pembawaannya yang kaku dan dingin. Saya bertanya-tanya dalam hati, apakah betul dia seorang dokter dan ahli farmasi seperti yang ditunjukkan pada surat pengantar tersebut.

Tetapi, sebagai tuan rumah saya berusaha mengendalikan suasana, serta tidak menampakkan hal-hal serius yang bisa membuatnya tersinggung. Selanjutnya, ia masih menanyakan satu-dua pertanyaan, yang kemudian saya jawab apa adanya. Ia mengajukan satu pertanyaan terakhir tentang fenomena wabah yang dikurung, kemudian saya menjelaskan, “Ya, kurang lebih seperti itu. Hanya beda istilah saja. Jadi, di dalam botol ini bisa juga disebut sebagai wabah aktif yang dikurung. Kalau kita memecah tabung ini, dan mengalirkan cairannya ke sungai Ciliwung, lalu katakan pada makhluk kecil di dalamnya, ‘berkembang biaklah!’ maka dalam waktu singkat akan menyebar luas, menularkan penyakit, dan kematian misterus akan bermunculan dan sulit dilacak dari waktu ke waktu…”

“Sulit dilacak?”

“Sebab, kita harus meneliti kembali dari nol akibat mutasi pengembang-biakan virus itu.”

“Berarti dibutuhkan waktu lama lagi untuk menemukan jenis obatnya?”

“Ya, tentu saja. Karena, ketika vaksinasi itu ampuh untuk satu jenis virus, ia belum tentu manjur untuk menghadapi varian-varian terbarunya.”

“Lalu?” pancing lelaki asing itu.

“Lalu makhluk-makhluk kecil dan ganas itu akan berkeliaran ke sana kemari, mencari-cari korban, mengambil anak-anak dari orang tuanya, suami dari istrinya, para pekerja dari tenaganya, presiden dari tugasnya, bahkan kiai dan ulama dari fatwa-fatwanya.”

Kami terdiam sesaat. Lelaki itu memicingkan matanya dan berdehem beberapa kali. Kemudian lanjut saya, “Mereka akan mengikuti saluran air, merayap di sepanjang jalan, merambat ke saluran got dan sumur-sumur masyarakat, melahap orang seisi rumah, terus merembes ke dalam sumur-sumur produsen air mineral, waduk dan kolam renang, bahkan terbang melalui udara dan menempel di dedaunan dan tembok-tembok rumah. Ketika hujan turun, mereka akan terserap ke dalam tanah, muncul kembali di ribuan mata air dan sumur yang tak terduga. Sekali ia memulainya dari tempat pasokan air, sebelum kita sanggup mengurung dan melumpuhkannya kembali, makhluk-makhluk itu bisa menghabisi penduduk satu kabupaten dan provinsi, lalu menduduki dan menguasai wilayah itu.”

Entah kenapa, di hadapan lelaki jangkung yang baru saya lihat ini, tiba-tiba saya mengumbar terlalu banyak kata-kata. Dalam soal ini, sebenarnya istri saya pernah memperingatkan, bahwa kebanyakan reorika yang disampaikan kepada pihak lain, apalagi seorang asing yang baru dikenal, hal itu justru menunjukkan kelemahan dan kekurangan saya sebagai seorang dokter profesional.

Tak lama kemudian, lelaki asing itu bergumam dengan pandangan menerawang, “Kalau dengan cara seperti ini bisa dilakukan… kenapa orang-orang tolol itu harus sibuk berperang dengan menggunakan bom dan nuklir…?”

Tiba-tiba ketukan pintu terdengar. Saya membuka pintu, dan keluar sebentar. Istri saya meminta kunci mobil karena ingin berkunjung ke rumah saudaranya, dan saya pun merogoh saku celana, dan memberikan kunci tersebut.

Ketika saya masuk kembali ke ruang laboratorium, si tamu sedang melihat-lihat jam tangannya. “Mohon maaf, Pak Profesor,” katanya seperti tersentak, “rupanya nggak terasa sekarang sudah jam 11.45. Seharusnya saya sudah pamit sejak jam 11.30, tapi karena banyak hal-hal menarik yang saya dengar dari Bapak, nampaknya waktu berjalan begitu cepat. Jadi, saya ucapkan banyak terimakasih, karena saya nggak bisa lama-lama lagi di sini. Soalnya, saya ada janji sekitar jam satu nanti.”

Lelaki jangkung itu melintas keluar ruangan sambil mengulangi ucapan terima kasihnya. Saya mengantarkannya hingga pintu depan, lalu masuk kembali ke laboratorium sambil menghempaskan punggung ke sofa, dan merenung. Saya menebak-nebak dari etnis mana kira-kira si tamu tadi? Bahasa Indonesianya cukup fasih dan lancar? Sepertinya logatnya bukan dari Jawa atau Sunda? Ataukah dia berasal dari Medan, Ambon, Makassar, atau bahkan dari Aceh?

***

Dari gerak-geriknya yang kaku dan dingin, rasa ingin tahu yang ditunjukkan lelaki itu berbeda dengan kebanyakan ilmuwan dan dokter yang sering berkunjung di laboratorium. Ia memang banyak bertanya tentang pengembangan virus dan kuman-kuman penyakit, tetapi ekspresi wajahnya, terutama tatapan matanya yang kelabu, membuat pikiran saya diselimuti tanda-tanya yang tak habis-habisnya.

Pikiran mengganggu itu seketika menyuruh badan saya berbalik dan menatap bangku dekat sterilisasi uap. Lalu, cepet-cepat saya menuju meja tulis dan bergegas ke arah pintu. “Aduh, apakah saya menaruhnya di atas meja tadi?” kata saya pada diri sendiri.

“Fauziah! Fauziaaah!” saya berteriak memanggil istri dengan suara serak dan parau. Saya merogoh kantong celana. Tak ada apa-apa di sana. Hanya ada sebuah kompas yang tadi pagi saya temukan dari pojok lemari tua. “Fauziah! Fauziaaah!” teriak saya seperti orang kalap.

Tidak ada sahutan, dan saya pun teringat kalau istri saya sedang keluar rumah tadi. “Ya ampun… di mana tabung itu? Di mana cairan biru itu…!”

Ketika mengingat lelaki jangkung berwajah oval tadi, saya pun berlari tergopoh-gopoh ke pintu depan, menuruni tangga rumah dan menuju jalanan. Saya menengok kiri-kanan, dan melihat mobil berwarna hitam meluncur cepat ke arah utara. Segera saya masuk rumah untuk melacak nomor kendaraan melalui CCTV, kemudian menghubungi istri saya dan mengabarkan perihal lelaki pencuri itu. Setelah itu, saya menyalakan motor matic lalu memacu kendaraan itu sekencang-kencangnya menuju arah utara.

“Pak Yakub! Profesor Yakub Ajidarma, mau ke mana, Pak!” teriak seorang tetangga yang kaget melihat keanehan pada diri saya. Saat itu, saya hanya mengenakan kaos oblong tanpa alas kaki. Melihat saya memacu motor kencang, tetangga itu mengikuti saya dari belakang setelah mengambil motor di garasi rumahnya.

“Profesor Yakub… Pak Profesor…!” terus ia memanggil-manggil saya dengan suaranya yang melengking.

Beberapa tetangga lain, yang melihat kami, kontan memacu sepeda motornya mengikuti saya dari belakang. Di pertigaan jalan, saya melihat mobil gelap itu berbelok ke Jalan Ahmad Yani, dan saya pun membelokkan motor ke arah kiri. Beberapa tukang ojek yang mangkal, merasa tertarik mendengar kegaduhan itu, dan mereka pun ikut membuntuti kami dari belakang.

Di jalan A.H. Nasution, terbentuklah kerumunan sepeda motor, seakan saling berkejaran mengikuti saya.

“Ada apa, Pak?” tanya seseorang.

“Saya juga belum tahu, cuma ikut saja dari belakang!” kata yang lainnya.

“Apakah sedang ada kampanye politik? Partai apa?” tanya yang lain lagi.

“Mereka semua menuju ke utara, tapi tidak jelas partainya apa, juga tidak ada benderanya!” teriak yang lain lagi.

“Apakah para pengendara motor itu mau mengadakan demonstrasi? Siapa yang memimpin demo itu?” tanya yang lainnya.

“Kami juga nggak tau, Pak,” jawab yang lain lagi. “Kami cuma mendengar orang-orang berteriak-teriak memanggil Pak Profesor, Pak Profesor, itu saja!”

“Mungkin mereka itu orang-orang gila?”

“Lalu, untuk apa kalian mengikuti orang-orang gila?”

“Karena mungkin zaman sudah gila, hahaha!”

“Dasar, wong edan!!”

Sepintas saya sempat melihat wajah lelaki brengsek itu melongok keluar melalui kaca mobilnya. Kemudian melaju sekencang-kencangnya menuju Jalan Tendean, hingga surut dari pandangan mata dan menghilang di tikungan. Sesampai di perempatan jalan, saya betul-betul kehilangan arah. Saya mengambil kompas tua dari kantong, tetapi tentu saja ia tak memiliki fungsi apapun untuk mencari jejak lelaki itu.

Dengan rasa kesal, motor terus saya pacu sekencang-kencangnya ke Jalan Museum Lubang Buaya. Ketika saya berbelok di tikungan tajam, tiba-tiba ban motor melindas batu besar dan terpelanting keras ke trotoar jalan. Tubuh saya terpental mengenai sebuah pagar rumah penduduk, dan seketika saya pingsan tak sadarkan diri.

***

Ketika saya membuka mata, saya baru sadar bahwa posisi saya sedang dalam perawatan di rumah sakit. Hal pertama yang memasuki pandangan saya adalah sangkutan selang kecil di sekitar kepala dan tabung infus yang membentang dari sangkutan ke tempat saya berbaring. Berikutnya, saya melihat seorang perawat berpakaian putih-putih melangkah pelan ke arah saya.

Ingatan saya kembali pulih. Saya tidak merasakan adanya rasa sakit, hanya tak mampu mengangkat kaki kiri yang barangkali terbentur trotoar. Kamar rumah sakit tidak memiliki jendela. Saya tidak tahu apakah saat itu siang atau malam. Saya mencari-cari jam dinding di ruangan itu, tapi penglihatan saya masih kabur, dan saya tak bisa melihat apa-apa di kejauhan.

“Dok!” saya memanggil perawat itu.

“Oh ya, syukurlah, Bapak Yakub Ajidarma sudah siuman,” kata si perawat.

“Jam berapa sekarang?”

Perawat itu melihat jam tangan digitalnya, “Sembilan kurang seperempat.”

“Malam?” tanya saya lagi.

“Bukan, Pak, sekarang sudah siang,” perawat itu tersenyum.

Saya menutup mata dan mendengarkan irama jantung yang agak lambat. Tak berapa lama, istri saya muncul dari balik pintu dan melangkah ke arah saya. Setelah saya menjelaskan semuanya dengan suara agak berbisik, istri saya menegaskan sekali lagi bahwa retorika tentang kedokteran, bila disampaikan kepada orang yang salah, ia akan membawa malapetaka bagi kemanusiaan.

“Tapi, orang itu sudah menunjukkan surat pengantar untuk menemui saya,” kata saya membela diri.

“Pak, tadi pagi pihak polisi sudah menangkap orang itu, dan berhasil mengamankan tabung virus itu. Setelah diperiksa, ternyata dia mengaku telah membuat surat pengantar palsu hasil bikinan dia dan kelompoknya,” jelas istri saya.

“Kelompoknya? Kelompok apa?” tanya saya kaget.

“Dia bergabung dengan organisasi yang sudah dilarang oleh pemerintah. Namanya Front Anarkisme Indonesia, disingkat FAI.”

“Berarti, dia bergerak di bawah tanah?”

“Benar sekali, meskipun beberapa pemimpin yang melakukan keonaran sudah dipenjarakan, tetapi masih ada pengikutnya yang berpikir radikal, yang belum dikurung,” tegas istri saya. “Mestinya Bapak konfirmasi dulu ke teman Bapak yang memberikan referensi itu.”

“Tapi di surat itu ada stempel dari kepolisian yang sudah memberi izin?”

“Dia juga sudah terbukti membuat stempel palsu, Pak!”

Saya menarik napas panjang dengan tatapan berkaca-kaca. Istri saya menggeledah seluruh pakaian saya untuk mencari tahu perihal surat pengantar itu. Saya katakan bahwa surat palsu itu berada di atas meja di dalam ruang laboratorum. Saat itu, ia menemukan kompas tua dari kantong celana saya. Ia melihat-lihat sebentar, lalu menegaskan bahwa kompas peninggalan ayah saya itu sudah tak berfungsi lagi. Jarum penunjuk arahnya seakan hanya menunjukkan satu arah yang agak aneh, yakni Museum Lubang Buaya.

Ya, kompas buatan Amerika tahun 1965 itu sudah mati, kata istri saya. Lalu, ia pun menyodorkan handphone dan membuka aplikasi Google Maps.

“Apa ini?” tanya saya kemudian.

“Sudah saya bilang kalau kompas itu sudah mampus,” ujarnya setengah bercanda.

Saya terbengong-bengong dengan tatapan menerawang, “Maksudnya, apakah koran Kompas sudah mati?”

“Ah, bapak ini seperti orang politik saja…”

“Maksudnya?” tanya saya lagi.

“Bapak ini seorang profesor yang gampang tersinggung hanya soal bahasa… maksyd saya, kompas di tangan Bapak sudah mati. Labih baik Bapak buang saja ke tong sampah.”

Saya pun menuruti anjuran istri saya, melihat-lihat sekeliling dan menemukan adanya bak sampah di salah satu sudut ruangan. Kompas itu saya hempaskan ke dalam bak sampah tersebut. Dan saya pun memanggil istri saya agar mengambilkan buku Pikiran Orang Indonesia dan membukakan nusantaranews.co di ponsel miliknya. (*)

*Cerpenis dan kritikus sastra kontemporer Indonesia, aktivis organisasi pemuda OI (Orang Indonesia). Artikel dan cerpennya bisa dijumpai di berbagai media massa lokal, nasional dan media online.
Exit mobile version