Opini

Pemerintahan Jokowi Masih Jalankan Ekonomi Kolonial (1)

Oleh: Salamuddin Daeng*

NUSANTARANEWS.CO – Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, ekonomi Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan miniatur ekonomi Indonesia sekaligus cermin kebijakan ekonomi Pemerintahan Jokowi secara keseluruhan. Ekonomi salah satu kabupaten di Kalimantan Timur menjelaskan bagaimana sebuah daerah yang sangat kaya akan sumber daya alam, namun mengalami masalah yang besar dalam keuangan daerah, dan sekaligus masalah besar dalam kesejahteraan rakyatnya. Daerah yang kaya tetapi sebagian besar masyarakatnya sangat miskin. Begitulah gambaran ekonomi negara Indonesia yang kaya sumber daya alam ini secara keseluruhannya.

Ekonomi kolonial itu ditandai oleh tiga hal; pertama adalah penguasaaan tanah yang sangat luas dalam rangka eksploitasi kekayaan alam oleh investasi asing/modal asing. Kedua, kekayaan alam diekspor ke luar negeri dalam bentuk bahan mentah dan tidak ada proses industrialisasi di Indoesia atau di daerah tersebut, sehingga tidak memberikan nilai tambah dan kesempatan kerja. Ketiga, hasil dari eksploitasi kekayaan alam tersebut ditempatkan di bank-bank asing, di luar negeri dan mengalir ke institusi keuangan internasional dan negara negara maju. Mari kita lihat dalam contoh kasus Kabupaten Kutai Kartanegara.

Kakayaan Melimpah

Kutai Kartanegara merupakan daerah yang sangat kaya akan sumber daya alam migas. Kontrak migas tersebar di berbagai wilayah kabupaten ini. Salah satu kontrak migas terbesar adalah Blok Mahakam yang baru-baru ini menimbulkan polemik secara nasional.

Bagaimana tidak, sebagai contoh Blok Mahakam memiliki cadangan (gabungan cadangan terbukti dan cadangan potensial) sebesar 1,68 miliar barel minyak dan gas bumi sebesar 21,2 triliun kaki kubik (TCF). Blok tersebut mulai diproduksikan dari lapangan Bekapai pada tahun 1974 melalui Kontraktor Kontrak Kerja Sama antara pemerintah Indonesia dengan total inpex (kepemilikan masing masing 50%-50%). Konon perusahaan tersebut telah menginvestasikan setidaknya US$ 27 miliar atau sekitar Rp250 triliun sejak masa eksplorasi dan pengembangannya. Kontrak yang akan berakhir pada tahun 2017 akan menjadi peristiwa ekonomi dan politik yang paling menentukan bagi Indonesia.

Baca Juga:  Drone AS Tidak Berguna di Ukraina

Selain migas, Kutai Kartanegara juga kaya akan sumber daya alam perkebunan. Ijin perkebunan di Kabupaten Kutai Kartanegara tersebar di 18 Kecamatan. Pertambahan luas areal komoditi kelapa sawit untuk pola usaha perkebunan rakyat dari kurun waktu tahun 2007-2011 rata-rata meningkat lebih dari 30% per tahun, sedangkan produksi meningkat rata-rata hampir mencapai 150 % per tahun dengan produksi tertinggi pada tahun 2011 sebesar 50.241 Ton CPO atau 193.233 Ton TBS atau rata rata 27.032 Kg/ Ha.

Pesatnya perkembangan luas areal dan produksi komoditi kelapa sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara juga didorong oleh pihak swasta. Saat ini total luas areal PBS mencapai 189.094 Ha dan produksi 273.007 Ton dalam wujud CPO. Adapun jumlah PBS yang terlibat dalam perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat 41 PBS yang aktif dan memiliki HGU dan IUP. Untuk realisasi tanam terdapat 31 PBS yang sudah melakukan realisasi tanam dan terdapat 13 PBS yang sudah berproduksi. Data terakhir dari Ditjenbun terdapat sekitar 58 perusahaan penerima izin usaha perkebunan (IUP-B, IUP-P, dan IUP) yang beroerasi di kutai Kartanegara.

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

Lebih dahsyat lagi adalah ijin pertambangan. Menurut Koordinasi dan Supervisi Mineral dan Batu Bara Komisi Pemberantasan Korupsi (Korsup KPK) dan advokasi oleh Jatam selama ini, Kabupaten Kutai Kartanegara bisa disebut sebagai pengobral IUP, dengan jumlah tidak kurang dari 700 izin dikeluarkan dengan luas total hingga 1 juta hektare. Untuk ukuran luas ijin pertambangan, Kutai Kartanegara merupakan wilayah kabupaten dengan pertambangan terluas di Indonesia.

PDRB yang Besar

Pengukuran perekonomian Kutai Kartanegara yang diukur berdasarkan besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku, maka akan diperoleh nilai PDRB yang sangat besar. Nilai PDRB Kutai Kartanegara tahun 2014 sebesar Rp149.292 triliun. Meskipun angka ini mengalami penurunan sebesar 1,32 persen dibandingkan tahun sebelumnya, yang sebesar Rp151.297 triliun di tahun 2013, namun tetap PDRB Kutai sangat besar.

Ada empat sektor dominan yang berpengaruh tinggi terhadap PDRB dengan migas, yaitu sektor Pertambangan (berperan 75,31% terhadap perekonomi Kutai Kartanegara), sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan (8,83%), sektor Konstruksi (6,09%) dan sektor Perdagangan (2,54%), dan sisanya berada di sektor transportasi, jasa, industri pengolahan dan sektor lainnya. Sedangkan jika minyak bumi dan gas alam (migas) dikeluarkan dari penghitungan PDRB, maka nilai PDRB Tahun 2013 PDRB tanpa migas mencapai Rp89,429 triliun dan turun menjadi Rp85,137 triliun di tahun 2014.

Baca Juga:  Dewan Kehormatan yang Nir Kehormatan

Nilai PDRB yang sangat besar tersebut apabila dibagi dengan jumlah penduduk Kutai Kartanegara, maka juga akan diperoleh PDRB per kapita yang sangat besar. Berdasarkan hasil Proyeksi, Penduduk Kutai Kartanegara tahun 2014 adalah 700.439 jiwa yang terdiri atas 368.100 laki-laki dan 332.339 perempuan. Dengan demikian nilai PDRB per kapita Kutai Kartanegara mencapai Rp. 213,14 juta per kapita per tahun, atau sebesar Rp17,8 juta perkalpita per bulan.

Namun bagaimana keadaan sebenarnya ? pertama tama tentu angka tersebut di atas tidak terdistribusi ke kelompok pengangguran. Sebagaimana data statistik menunjukkan angkatan kerja ini terdiri atas penduduk yang bekerja” sebanyak 294.118 orang dan pengangguran” sebanyak 24.381orang. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Kutai Kartanegara sebesar 7,65 persen.

Sebagian besar masyarakat Kutai Kartanegara masih bekerja di sektor pertanian, jumlah rumah tangga pertanian Kutai Kartanegara mencapai 56.093 rumah tangga, atau dapat mencapai 224372 orang masih hidup dan menggantungkan diri pada sektor ini atau mencapai 33% dari penduduk. Dengan demikian PDB yang besar yang dihasilkan oleh sektor pertambangan tidak terdistribusi ke penduduk yang bekerja pada sektor pertanian. Itu merupakan phenomena umum dalam investasi pada modal.

*Salamuddin Daeng, Pengamat ekonomi politik dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)

Related Posts

1 of 425