Pemerintah Mana pun, Ahli Disinformasi

Ahli Disinformasi. Ilustrasi/ NusantaraNews

Ahli Disinformasi. Ilustrasi/ NusantaraNews

NUSANTARANEWS.CO – Berita pembantaian masyarakat Rohingya pertengahan tahun 2012 meredup dan kemudian sirna. Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa berita pembantaian itu adalah berita bohong. Potret-potret deretan mayat yang bergelimpangan itu bukan potret mayat orang Rohingya, tetapi mayat korban tsunami di Aceh, Indonesia.

Penjelasan tentang kecerobohan berbagai media di dunia ini disampaikan oleh salah seorang pembicara seminar pada acara World Forum of Global Forum for Media Development, di Grahamstown, Afrika Selatan, tanggal 7-12 September 2012, yang saya hadiri bersama anggota Dewan Pers lainnya. Beberapa media di Indonesia juga menyiarkan kecerobohan ini.

Media seluruh dunia percaya kepada penjelasan Pemerintah Myanmar. Mengapa begitu banyak media yang ceroboh. Mungkin orang-orang Rohingya yang menyebarkan potret deretan mayat di Aceh itu dan memberi keterangan sebagai peristiwa pembantaian masyarakat Rohingya, untuk menyerang Pemerintah Myanmar. Atau, apakah mungkin, justru Pemerintah Myanmar yang menyebarkan potret-potret itu, dan setelah banyak media di dunia mengutipnya, lalu Myanmar menyatakan bahwa potret-potret itu adalah potret korban tsunami di Aceh. Dampaknya media seluruh dunia surut dan tidak menyiarkan berita tentang Rohingya lagi, dan menganggap tidak terjadi apa-apa dengan Rohingya. Apakah mungkin Pemerintah Myanmar melakukan disinformasi?

Suu Kyi pun tidak dipercaya

Berbeda dengan tahun 2012, Pemerintah Myanmar tidak berhasil menghentikan pemberitaan tentang pembantaian orang Rohingya pertengahan tahun 2017 ini. Padahal Aung San Suu Kyi, tokoh penerima Hadiah Nobel Perdamaian yang membantahnya.

Kompas.com misalnya, pada tg 6 September 2017 menyiarkan, Suu Kyi menilai, sentimen anti-Myanmar yang berkembang di berbagai negara merupakan buah dari kampanye kabar bohong (hoax) yang dibuat “untuk mempromosikan kepentingan teroris”. Gelombang simpati masyarakat internasional terhadap etnis Rohingnya dibidani oleh “gunung es raksasa berupa informasi palsu,” kata Suu Kyi, seperti yang dilaporkan Deutshe Welle, Rabu (6/9/2017).

Tak satu pun media di dunia percaya pada penjelasan Suu Kyi. Media seluruh dunia semakin hati-hati dan mencari bukti sendiri di lapangan, tidak mau asal kutip lagi. Amnesty International, pada tanggal 18 October 2017 mengeluarkan laporan yang berjudul “Myanmar: Crimes against humanity terrorize and drive Rohingya out”. Sedangkan CNN menyiarkan laporan “Aung San Suu Kyi: The rise dan fall of Asia’s Mandela”.

Peristiwa Rohingya ini bisa menjadi pembelajaran bagi seluruh masyarakat, bahwa pemerintah di mana pun di dunia sering melakukan disinformasi, bukan hanya Myanmar. Diinsformasi memang menjadi salah satu mata pelajaran dalam pendidikan tentara di mana pun di dunia. Disinformasi adalah penyebaran informasi yang salah yang dilakukan dengan sengaja untuk membingungkan orang lain, sehingga orang itu mengambil keputusan yang keliru. Dalam perang, kalau lawan mengambil keputusan yang keliru, itu berarti terbukanya peluang untuk menang. Disinformasi yang canggih akan membuat media massa arus utama percaya dan turut menyebarkannya.

AS dan Rusia

Negara mana yang paling canggih melakukan disinformasi? Dari informasi yang beredar, Amerika Serikat (AS) dan Rusia adalah negara yang paling canggih dalam melakukan disinformasi. Waktu Perang Vietnam, Menteri Pertahanan AS, James R. Schlesinger, selalu menyatakan bahwa tentara AS menang dalam perang melawan Vietnam Utara pada tahun 1974. Namun kenyataannya, AS kalah dan harus meninggalkan Vietnam tahun 1975.

Waktu Ronald Reagan menjadi Presiden AS, dia merancang disinformasi untuk menghancurkan Uni Soviet. Orang menyebut aksi disinformasi ini sebagai Revolusi Reagan yang dirancang untuk melawan disinformasi yang dilakukan Uni Soviet. Disinformasi AS ini disuntikkan ke seluruh negara yang bergabung menjadi Uni Soviet. Hasilnya luar biasa, Uni Soviet lenyap dari muka bumi tahun 1991, tanpa perang. AS memang sangat luar biasa. CIA adalah salah satu lembaga yang aktif melakukan disinformasi, jika perlu dia mengacaukan sejarah atau menyusun sejarah sendiri disesuaikan dengan tujuan operasi CIA.

Di luar AS, setelah lenyapnya Soviet, jagoan disinformasi adalah Rusia. Dengan panjang lebar New York Times (29/8/2016) melaporkan bahwa senjata Rusia yang hebat adalah menyebarkan berita bohong. Intelijen AS dan Eropa menemukan bahwa Rusia menyebarkan disinformasi di Swedia, yang bukan anggota NATO. “Jika Swedia bergabung ke NATO, maka tentara NATO akan kebal hukum dan dapat memperkosa wanita Swedia tanpa dihukum. Swedia harus menyediakan lahan untuk pangkalan senjata nuklir NATO, yang bisa digunakan menyerang Rusi tanpa perlu izin pemerintah Swedia.” Rusia lebih senang menggunakan senjata berita bohong di Ukraina dan Suriah karena lebih murah. Disinformasi ini digunakan Rusia untuk meretakkan persatuan lawan-lawan Rusia.

Walaupun penyebaran disinformasi lebih murah daripada perang, tetapi tidak banyak lembaga yang mampu menjadi penyebar hoax yang canggih. Seperti kata Dr Rocky Gerung di Indonesia Lawyer Club tv0ne (17/1/2017), pembuat hoax yang paling sempurna adalah pemerintah, karena pemerintah mempunyai semua peralatan berbohong.

Memang, pemerintah mana pun di dunia ini ahli disinformasi.

Sudut pandang dan sikap

Jika negara tidak dalam keadaan perang dan genting, yang dilakukan pemerintah dalam penyebaran disinformasi adalah untuk mengubah sudut pandang rakyat. Jika rakyat melihat gelas itu kosong setengah, dipengaruhi terus menerus, sehingga pandangannya berubah, bahwa gelas itu sudah berisi setengahnya.

Pemerintah selalu berusaha agar tidak menilai program kerjanya gagal, tetapi belum berhasil. Pemilihan kata-kata lahir dari sudut pandang yang nantinya menjadi dasar penentuan sikap. Pilihan kata gagal berasal dari sudut pandang bahwa pemerintah tidak mampu menjalankan programnya, dan nanti menjadi dasar penentuan sikap, bahwa pemerintahan ini tidak perlu dipilih lagi. Pilihan kata belum berhasil berasal dari sudut pandangan bahwa program pemerintah akan lebih cepat berhasil jika kita turut membantu pemerintah, dan pemerintah seperti ini perlu dipilih lagi.

Pertanyaannya adalah bagaimana kita harus menghadapi disinformasi? Jawabannya mudah, gunakan akal sehat, jangan cepat percaya informasi apapun dari siapapun disiarkan oleh media apaun, lakukan check & recheck. Pelaksanaannya tidak mudah, kita perlu menyimak dengan cermat setiap informasi, mengenali media yang menyiarkannya, siapa sumber beritanya, membanding suatu berita dari media yang berlainan, melakukan verifikasi dan konfirmasi. Semua ini memerlukan waktu dan energi. Yang merepotkan adalah kita harus tetap menguji info yang kita terima, padahal seringkali kita dituntut untuk mengambil keputusan secepatnya. Padahal garbage in garbage out, jika kita menyerap info yang salah, keputusan yang kita ambil akan salah juga.

Penulis: Muhammad Ridlo Eisy, Dosen LB FISIP Universitas Pasundan.

Exit mobile version