Pemborosan Pemerintah Pusat Penyebab APBN 2020 Defisit
Oleh: Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi
Memang pantas dan layak The World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF), serta The Asian Development Bank (ADB) mengeluarkan publikasi (release) tentang akan cemerlangnya pertumbuhan beberapa negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) pada Tahun 2020. Di antaranya adalah dua negara Asean, yaitu Vietnam dan Myanmar yang diperkirakan akan dapat mencapai pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 7-8% per tahun. Padahal, kedua negara ini dahulu masih terlibat konflik bersenjata saat Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi 10,92 persen di era pemerintahan Presiden Soeharto (almarhum) pada tahun 1970.
Vietnam, hanya dalam 3 dekade mampu bertransformasi dari awalnya adalah salah satu negara termiskin di wilayah Asean, kemudian menjadi salah satu negara tersukses dalam mengelola pembangunan. Jika mencoba mengamati perjalanan sukses Vietnam ini, maka tak bisa dilepaskan dari perencanaan pembangunan dan alokasi anggaran yang terarah dan terukur, dimulai pada akhir tahun 1980-an. Mereka mampu menggerakkan ekonomi tak hanya untuk memenuhi pasar dalam negeri, tetapi juga berorientasi untuk pasar kawasan dan dunia (global market). Strategi ini berhasil memacu pertumbuhan ekonomi hingga mencapai rata-rata 7,0 persen per tahun pada periode 1991 hingga 2010.
Lalu bagaimana dengan perencanaan pembangunan dan akokasi anggaran pemerintahan Indonesia pada Tahun 2020 sehingga tidak diperkirakan menjadi negara Asean yang tertinggi capaian pertumbuhan ekonominya?
Belanja Pusat Terbesar
Badan Anggaran DPR RI telah menetapkan postur sementara RUU APBN 2020 yang telah dibahas dengan pemerintah dalam Rapat Kerja berdasarkan hasil Panitia Kerja (Panja) pada Hari Jum’at tanggal 6 September 2019, yang terdiri dari pendapatan negara, belanja negara, keseimbangan primer, defisit, serta pembiayaan anggaran. Namun sayangnya postur APBN masih dirancang defisit, yang berarti lebih besar alokasi belanja dibandingkan pendapatan atau ibarat pepatah, “besar pasak daripada tiang”.
Alokasi anggaran belanja negara memang sudah mengalami penurunan sebesar Rp11,2 triliun dibanding tahun yang lalu. Namun, hal ini lebih dipengaruhi oleh subsidi energi yang terdampak penurunan asumsi ICP yang menyumbang penurunan sejumlah Rp12,6 triliun. Penyebab menurun yang lain adalah berkaitan dengan subsidi BBM yang turun sejumlah Rp15,6 miliar, dan subsidi LPG yang berkurang Rp2,6 Triliun, serta subsidi listrik diturunkan sejumlah Rp7,4 triliun.
Selain itu, anggaran kurang bayar yang semula berjumlah Rp4,5 triliun menyusut menjadi Rp2 triliun. Dana bagi hasil (DBH) mengalami peningkatan Rp1,4 triliun yang disebabkan oleh imbas kenaikan CHT, PBB, dan PNBP SDA migas.
Adapun pembiayaan defisit anggaran tidak mengalami perubahan, yaitu tetap sejumlah Rp307,2 triliun, dan jumlah defisit tersebut ditetapkan sebesar 1,76 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara itu, dari total alokasi belanja negara yang berjumlah Rp2540,4 triliun, maka alokasi belanja Pemerintah Pusat adalah Rp 1.683,5 triliun atau sebesar 66,3% dari porsi total belanja negara. Sedangkan alokasi belanja sebagai dana Transfer ke Daerah dan Dana Desa adalah sejumlah Rp 856,9 triliun atau sebesar 33,7%. Artinya alokasi belanja pemerintah pusat persentasenya lebih besar dibanding yang dialokasikan ke kabupaten/kota dan desa.
Dengan begitu, pemerintah pusat dapatlah dianggap yang melakukan pemborosan, tidak efektif dan efisien mengelola keuangan negara, sehingga menjadi penyebab terjadinya defisit sebesar 1,76 persen dan bahkan tahun-tahun sebelumnya.
Apabila defisit anggaran yang berjumlah Rp 302,7 triliun ini diatasi dengan melakukan pengurangan atau efisiensi atas alokasi belanja pemerintah pusat, yaitu menjadi Rp1.376,3 triliun, maka postur APBN akan berimbang atau defisit Rp 0. Mengapa pemerintah atau otoritas moneter dan keuangan justru malah menurunkan alokasi subsidi energi untuk masyarakat?
Besarnya alokasi belanja untuk pemerintah pusat ini dapat diartikan bahwa sumber defisit selama ini adalah penyelenggara negara di pusat yang bertindak boros, dan bukan disebabkan oleh daerah-daerah. Seharusnya untuk tujuan efektifitas dan efisiensi pembiayaan penyelenggaraan negara, maka pemerintah pusat lah yang harus melakukan evaluasi atas belanjanya yang sangat besar pada APBN 2020 ini.
Sedangkan Pendapatan Negara dalam anggaran tersebut hanya ditetapkan sejumlah Rp2.233,2 triliun, walaupun ada kenaikan sejumlah Rp11,6 triliun jika dibandingkan dengan jumlah awal yang dialokasikan pada RAPBN 2020. Dari angka tersebut, penerimaan perpajakan dialokasikan sejumlah Rp1.865,7 triliun atau sebesar 83,5 persen dari total penerimaan negara. mengalami kenaikan sejumlah Rp3,9 triliun. Peningkatan pendapatan ini berasal dari PPh migas sejumlah Rp2,4 triliun, PBB sejumlah Rp0,3 triliun, dan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sejumlah Rp1,2 triliun.
Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) juga mengalami peningkatan Rp7,7 triliun. PNBP SDA Minyak dan gas masing-masing naik sebanyak Rp6 triliun dan Rp0,7 triliun. Domestic Market Obligation (DMO) serta kekayaan negara yang dipisahkan (KND) juga meningkat Rp15,9 miliar dan Rp1 triliun. Pemerintah masih tetap mengandalkan sumber pendapatan dari penerimaan pajak yang terbesar, walaupun selama 15 tahun terakhir sektor industri tidak bergerak dan memberikan kontribusi atas pertumbuhan ekonomi nasional.
Dukungan Industri Daerah
Jika pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menyebut kabinetnya sebagai Indonesia Maju, maka alokasi pembiayaan pembangunan harus lebih besar ke daerah-daerah untuk membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Pembangunan infrastruktur (apalagi jalan Tol) tanpa memperhatikan daya ungkit (leverage factor) dan dampak pengganda (multiplier effect) yang menstimulus perekonomian daerah harus dihentikan, apalagi kalau pembiayaannya berasal dari utang.
Berbagai kebijakan harus diarahkan untuk lebih memudahkan kalangan investor dan industri dalam berpartisipasi membangun daerah. Angka defisit yang sejumlah Rp 307,2 Triliun itu sebaiknya dialokasikan untuk pembangunan industri-industri pertanian, perkebunan, perikanan dan kelautan serta pariwisata di daerah-daerah.
Sebagaimana halnya kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Vietnam dan Myanmar, yang dilakukan melalui penciptaan kawasan-kawasan industri baru, dan beragam insentif juga diberikan kepada investor manapun yang berminat mengembangkan industri. Melalui kebijakan inilah, perekonomian Vietnam yang hancur dan secara sosial politik sempat terbelah antara Utara dan Selatan melesat dengan cepat dibanding negara Asean lainnya.
Selain itu, kebijakan pemihakan (affirmative policy) ekonomi diarahkan pada generasi korban perang saudara yang menyaksikan kehancuran kehidupan sosial-politik dan ekonomi masyarakat Vietnam. Salah seorang korban yang kemudian tumbuh dan berkembang menjadi pelaku ekonomi berskala besar pada masa berlangsungnya Doi Moi ini adalah Pham Nhat Vuong.
Presiden Joko Widodo beserta Kabinet Indonesia majunya harus konsisten dengan jargon membangun dari wilayah terluar, terpinggir dan terdalam dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang masih stagnan pada angka 5 persen. Hal mana, berbeda dengan era pemerintahan Presiden ke-2 RI almarhum Soeharto yang membuat Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dengan mendorong swasembada di sektor pertanian (beras). Program ini mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga mencapai 10,92 persen pada Tahun 1970. Melalui perencanaan pembangunan dengan skala prioritas tersebut, maka pemerintahan Kabinet Pembangunan IV mampu memproduksi beras sebanyak 25,8 juta ton. Dan, Indonesia berhasil melakukan swasembada beras, lalu kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari Food and Agriculture Organization/FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985.
Malu rasanya apabila bangsa lain yang belajar strategi pembangunan dan skala prioritas pada Indonesia, sementara itu Indonesia sendiri justru sudah tidak menggunakannya lagi, cenderung tanpa arah dan sasaran yang jelas. Semoga Presiden Joko Widodo dapat mencermati postur APBN 2020 ini dan melakukan perbaikan atas alokasi APBN 2020 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen lebih dan memenuhi janji kampanye memandirikan ekonomi Indonesia.