Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 9: I) – Novelet Yan Zavin Aundjand

NUSANTARANEWS.CO – Aku belum juga terbangun, tubuh masih terasa lelah. Kulihat di alam sana begitu banyak peristiwa, kubiarkan saja diriku mengikuti jalan di mana aku berada. Kubiarkan alam memperkosaku. Oh, lagi-lagi aku seperti kembali ke masa lalu dalam mimpiku, seperti masih remaja, jauh peristiwa itu mengingatkan aku sebelum aku menjadi dewasa.

Ada kata-kata yang masih aku ingat: “Barangkali ini bukan tentang puisi, tapi rindu dari cinta yang berteriak-teriak dalam diri, barangkali tentang rindu yang telah ranum nafasnya.” Kata itu yang dulu pernah aku berikan kepada salah seorang perempuan.

Entahlah, ia seperti harum angin yang selalu membawa pekabar namanya yang berwarna rindu. Mungkin begitu namanya sebagai ingatan yang terus berbunga wanginya. Dulu, ketika aku menjadikan namanya sebagai zikir dan fikir di setiap hembusan nafasku, ia selalu datang dalam mimpi-mimpi, bahkan kami pun sempat berbagi, membaca kalimat tubuh masing-masing, menebarkan harum keringat dalam ruangan yang redup, hingga kami pun hampir lupa akan sehelai benang di pundaknya, tapi itu hanya mimpi; mimpi yang tak ada arti baginya.

Kukabari dirinya tentang sesuatu menjadi tujuanku, namun ia masih tuli dengan kabar itu. Ia masih di negerinya yang indah, sedang aku sudah berdiri di atas trotoar kota menunggunya datang.

“Kapan kau akan datang?” Kukirim salam padanya, agar aku tak lelah menunggu.

“Tanggal 4 Oktober,” balasnya singkat.

Di mimpi itu, aku merasa di setiap ada bus berhenti di bawah jembatan layang, di mana aku berdiri menantinya, kuperhatikan pelan wajah orang-orang yang turun dari bus itu. Tapi, ia belum juga datang hingga hari pun tak membawanya kembali. Dia tak dapat lagi bisa dihubungi, “kau kenapa? Kau di mana?” Tanyaku, tapi tak ada balasan darinya.

Setelah berapa lama, ada dering berbunyi membangunkanku di saat aku sudah lama terlelap di sandaran tiang jembatan layang. Ah, ternyata pekabar baru tentangnya.

Demi malam dan demi wajahku yang hilang, kutitip mimpiku pada nama-nama mimpi di antara senyumnya dan embun. Karena lambayan kupu-kupu seolah tak lagi melelapkanku. Ada apa dengan malam? Kenapa harus malam? Bahkan siang aku pun juga merindu. Begitulah yang kurasakan dalam mimpi seperti waktu masa mudaku.

Semenjak ia kirimkan kabar tentang kebingungannya itu, semenjak itu pula aku belum mendapat kepastiannya, entah dia berjalan ke arah mana, dan di mana keadaannya.

Di hari dan malam, perasaan dan pikiranku semakin lengket dengan wajahnya. Dengan keadaannya yang seperti itulah yang membuatku takut untuk kuungkap semua yang ada di hati. Karena diri yang tak berdaya dan tak tahu apa-apa.

Mungkinkah angin membawa takdir demi hatiku yang hampa, gundah gulana. Aku rindu akan kedamaian dalam cinta dan membawanya ke dalam sebuah cerita. Entah itu cerita dan entah ini derita untuk sementara kualami bersama waktu.

Diam itu cengkrama, sendawa bahkan bercinta, tak perlu kata untuk semua itu, dalam diam aku dengar seluruh penatmu, seluruh tanpa terkecuali, tapi aku hanya diam. Cukup diam dan kau tak tahu itu. Sebesar apa pun bongkahan di telingaku, kata-katamu bisa menembus, masuk ke dalam pikiranku, mengalir bersama dalam darah di nadiku, menyentuh hatiku dan keluar nada yang indah dari mulutku, dan itu berawal darimu.

 

Aku mulai ragu dengan apa yang dulu pernah menjadi pijakan antara aku dengannya, bahwa rasa cinta ini tak mampu menghidupkannya dalam belahan jiwa yang telah mati. Aku mulai putus asa, keajaiban yang kunanti-nantikan selama sebulan ini tampaknya adalah impian kosong, harapan yang mustahil diwujudkan.

Anakku yang tiba-tiba menjerit-jerit kesakitan, karena tersengat bau bangkai manusia bertebar di mana-mana. Alam memang mulai amarah akut, menenggelamkan segala yang mengapung, tak terkecuali bagi cinta yang musnah dalam diri manusia dan harapan yang sudah hilang dalam kenyataan.

Oh, kenapa mimpi menjadi seburuk ini, tak dapat meluluhkan apa yang kumau. Persetan dengan cinta, aku tak terjamahkan.

Di hari aku bertemu dengannya dalam sebuah ruangan, kulihat dia tergeletak dalam bisingnya suasana. Pada saat itulah aku mulai melukis alisnya pada sehelai benang merah. Bibirnya berlipstic bersuara lantang. Lalu dia berharap tak ada kenangan di antara aku dan dia, kami saling memuja hari, mengharapkan keabadian hari. Namun, hal itu telah dia musnahkan sendiri.

Tuhan, kutitip nama Jumailah pada malam yang kau janjikan sebagai wahyu, mungkin nama Jumailah sebagai wahyu di hatiku yang ranum.

Tuhan, aku tak mampu mengeja namanya di baris-baris ayat-Mu, karena alam mulai sombong dengan keangkuhan zaman dan keindahan manusia yang berbeda-beda. Berikan dia keterbukaan hati untuk kumiliki hatinya dengan sempurna, meski saja dunia ini telah membutakanku padanya, karena aku tak dapat memahami jalan hidupnya.

Jumailah, malam bukan malam, tapi kau sebagai rembulan malamku. Aku akan belajar menjadi diri sendiri yang setia menunggumu, meski kau tak merinduku terlebih kau tak mencintaiku.

 

Di sebuah perempatan, di simpang jalan, di depan gardu, aku berdiri menunggu bus datang. Oh, matahari pecah sinarnya di wajah-wajah lesu, pucat, seperti tak punya nafsu.

“Aku dalam bus, warna abu-abu, mungkin setengah jam lagi aku sampai,” katanya, surat yang dikirimkan dalam telepon genggamku.

Dia tahu bahwa aku menunggunya, tapi dia melewatiku di jalan itu.

Tak ada aku dan dia dalam hari. Padahal, kami tak pernah saling benci. Tapi, dia selalu mencurigai.

Kami seperti tak pernah berkisah setelah itu kemudian. Tak ada perjumpaan aku dengannya hingga kutemukan perempuan lain yang saat ini menjadi istri pertamaku.

Saat itu, setelah banyak pertimbangan dan setelah kupikir-pikir, lalu aku mendatanginya dalam mimpi-mimpi itu. Karena aku anggap itu adalah jalan untuk kupererat status namaku dan namanya. Tapi, dia malah memberikan yang lain, selain harapanku yang tersembunyi di dalam sebuah caffe tempat dulu kami bermain-main, dulu kami sempat tersenyum. Begitu yang kurasakan kisah dalam mimpi itu, seperti berputar-putar kisahnya mengingat masa lalu jauh sebelum aku dan Jumailah menjadi suami istri.

Dulu, kuberikan suatu tanda untuk Jumailah dalam surat, yang dulu pernah kutulis bersama sahabatku. Lalu dia mengharamkan surat itu, padahal aku sudah menghabiskan waktu untuk kunyanyikan lagu rindu.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: : Pelacur Negeri (Bagian 8: IV) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa(Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email:[email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40