Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 4: I) – Novelet Yan Zavin Aundjand

Lukisan Pablo Picasso "Les Femmes D'Alger" atau "Women of Algiers"/Foto: waow-nesia.blogspot.co.id
Lukisan Pablo Picasso “Les Femmes D’Alger” atau “Women of Algiers”/Foto: waow-nesia.blogspot.co.id

NUSANTARANEWS.CO – Sebuah malam, aku terbangun dari mimpi, di mana aku hanya berenang-renang di atas kasur sendirian memeluk guling, tak ada yang menemaniku. Temanku, Jumailah, yang membawaku ke sini juga tiba-tiba sudah tidak ada. Setelah dia mengelus rambutku, lalu pergi begitu saja. Aku tidak tahu sedang ada di mana. Di sebuah ruangan yang nyaman sekali, indah pemandangannya saat aku melongohkan mataku keluar jendela, tinggi sekali kamar itu, seperti sebuah apartement yang pernah aku lihat dalam mimpiku. Ada seorang pelayan di ruang tamu, aku datangi dia dan bertanya, “ini tempat apa?” Dia hanya menatap ke dalam jiwaku jauh, lalu pergi tanpa meninggalkan jawaban. Mungkin saja dia merasa takut melihatku yang baru saja bangun dari tidur.

Aku menunggu Jumailah, sepertinya di tempat ini tidak ada yang beres, gumamku. Aku mulai khawatir dengan keadaanku, namun aku tak tahu harus ke mana di Jakarta yang padat ini. Aku belum bisa menyadari apa-apa dengan sesuatu yang telah terjadi pada diriku sebelumnya. Aku ingin pikiranku tenang. Kamar sebagus ini tidak membuat pikiranku nyaman kemudian, padahal aku baru saja merasakan kenyamanan itu. Apa yang kurang dari kamar ini? Semua kebutuhan serba ada, fasilitas sangat lengkap. Tapi aku tidak menginginkannya di tempat ini.

Setelah beberapa lama, Jumailah dating dengan senyumnya yang khas; senyum seperti tak selesai dilepaskannya. Dia bawa banyak oleh-oleh dan minuman kesukaannya untukku. Aku pandangi saja dia memasuki kamar, dan mulai mendekatiku di ranjang. Plastik berwarna hitam yang dibawanya dibuka di depanku, mataku tak lepas menatap gerak-geriknya.

Ada banyak buah, mulai dari apel, salak, jeruk, dan durian serta minuman botol bermerek vodka dan wine. Aku tak berkata apa-apa, sedang mataku tetap menatap gerak-geriknya yang sibuk mencari piring dan gelas buatku.

“Ini dimakan, ya,” kata Jumailah. “Aku mau keluar dulu bentar, ada klien nunggu di bawah. Nggak apa-apa, ya.”

“Iya, nggak apa-apa.”

“Jangan lupa, dimakan.”

“Iya,” jawabku sambil mengangguk.

Jumailah meninggalkan aku lagi di dalam kamarnya. Aku terus perhatikan langkahnya mendekati pintu. Aku lihat di depan pintu ada dua seorang lelaki yang sepertinya menunggu Jumailah. Satu di antara lelaki itu orang asing berpakaian jubah putih dan sorban diikat di kepalanya, dan satunya lagi orang Indonesia berpakaian rapi. Aku tidak ada rasa curiga apa-apa, namun hatiku seperti gelisah dan cemburu melihatnya. Apa mungkin laki-laki itu adalah kliennya yang sedang meminta bantuan hukum? Mungkin saja, karena dia seorang pengacara.

Semenjak sampai di Jakarta, aku belum sempat keluar dari ruangan yang serba gedung ini. Entah kenapa, sejak dari perjalanan mataku merasakan kantuk yang sangat. Aku tak mungkin terus-terusan tinggal di dalam kamar yang seolah tidak punya jalan keluar karena kehilangan segalanya.

“Tok, tok, tok….” suara mengetuk pintu.

Kubiarkan saja, karena aku tidak menguncinya.

“Tok tok… tok tok…” ketuknya lagi.

Sepertinya dia orang baru atau mungkin tamu Jumailah. Aku beranjak mendekati pintu dan membukanya. Seorang pelayan perempuan membawa nampan berisi roti dan nasi goreng. Kupersilahkan dia masuk.

“Mas Yadi, ini pesanannya dari Ibu Mila,” ucapnya dengan senyum di bibirnya tanpa lipstik.

“Terima kasih.”

Pelayan perempuan itu terus melangkah masuk ke dalam kamar, seperti sudah sering masuk ke dalam kamar itu, seperti tak asing baginya. Dengan langkah pelan dia letakkan nampan itu di atas meja depan kasur tempat aku tidur, lalu mengambil duduk di tempat kasur itu juga. Sembari berkata, “dari Ibu Mala, Mas,” ucapnya sambil senyum.

Aku mengangguk heran sambil menatap tingkah pelayan itu yang tidak biasa, seperti sudah sering ke tempat Jumailah.

“Ibu Jumailahnya ke mana, Mbak?” Tanyaku.

“Dia lagi keluar sama kliennya. Ada rapat sama kliennya. Dia pasti lama pulang.”

“Mbak temannya?”

“Iya. Aku sekretarisnya Ibu Mila.”

Lalu aku diam, pun pelayan itu juga diam lama, tapi senyumnya yang manis tak lepas dari bibirnya sambil menatapku yang bingung mau bicara apalagi, sementara pelayan itu tak kunjung pergi dari kamar itu.

“Dimakan, Mas,” pintanya kemudian setelah lama diam.

“Iya. Mbak nggak makan?” Tanyaku mencoba membiasakan obrolam meski seolah masih salah tingkah.

“Udah. Masnya yang belum makan.”

“Wah, aku jadi nggak ini makan sendirian.”

“Nggak apa-apa, Mas. Makan saja. Kata Ibu Mila mas belum makan dari kemarin.”

“O… Aku makan, ya. Ngomong-ngomong mbaknya tinggal di mana?”

“Di sini juga, Mas, sama ibu Mila,” tuturnya, dia pun tidak beranjak dari kamar. Saat kulihat, senyumnya membalas tatapanku. Kubiarkan saja dia tersenyum.

Aneh, sekretaris itu tidak mau keluar dari kamar. Iya, setidaknya dia pergi ke kamarnya sendiri, katanya dia tinggal di sini juga, kenapa masih di sini juga, pikirku. Aku merasa tidak nyaman bila makan harus diawasi seperti itu. Sekretaris itu terus memandangiku tanpa henti.

“Aku diminta sama Ibu Mila… memastikan mas ini benar-benar makan,” ucapnya sambil berdiri menuangkan wine ke dalam gelas. Kulihat memang tak ada air putih yang dibawa sekretaris itu, lalu dia menyodorkannya gelas itu ke hadapanku.

“Ini, Mas,” katanya. “Aku ke kamar dulu, ya. Mau bilang dulu ke Ibu Mila kalau masnya udah makan.”

“Iya, silahkan. Makasih!”

“Oh ya, lupa. Kenalin, namaku Elisa.”

“Suryadi.”

“Habisin nasi sama rotinya, ya, Mas.”

Aku mengangguk.

Sekretaris itu keluar dari kamar menuju kamarnya.

Perut sudah kenyang, nasi goreng roti sudah kulahap habis. Minum sudah dua gelas kuhabisi. Badan kembali rebahan di kasur. Kepala terasa berat sekali, mungkin karena baru dan banyak makan dan minum. Jakarta, oh Jakarta. Iya, aku sudah sampai di Jakarta. Tapi, entah. Aku tak ingat kapan aku sampai Jakarta. Aku tertidur pulas dari perjalanan Surabaya menuju Jakarta sampai saat itu pun aku tidak ingat hari apa aku makan yang diantar oleh sekretarisnya Jumailah.

Tak lama Elisa kembali ke kamar, kulihat dia sedang mengupas buah apel di meja dan memotongnya kecil-kecil. Meski mata seperti ada kunang-kunang sebab kepala terasa berat kurasakan, kulihat Elisa sudah ganti baju menggunakan tengtop berwarna abu-abu. Tato bunga mawar di pundaknya kulihat remang. Kuperhatikan saja tubuhnya yang putih membelakangiku sampai dia selesai memotong buah apel menjadi kecil-kecil di piring.

“Mas belum tidur?” Katanya seolah dia tahu bahwa aku sedang memperhatikannya.

“Apelnya dimakan, Mas. Udah aku potong-potongin,” lanjutnya sambil membawakan buah apel itu ke ranjang.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 3: V) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40