Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 3: IV) – Novelet Yan Zavin Aundjand

NUSANTARANEWS.CO – Apalagi yang mau mereka tunggu? Bukankah pejabat negara ini banyak dan bekerja sesuai dengan fungsi dan tugas masing-masing? Apakah ini yang disebut negeri khayalan? Negeri kepura-puraan? Rakyat sudah banyak yang tewas, rakyat kelaparan, rakyat harus menderita atas permainan dan persekongkolan petinggi pejabat negeri ini dengan kelompok pengintai babi-babi di hutan, rakyat pun harus menerima kemarahan sang pemilik hutan yang sudah tak ada penghidupan yang layak bagi mereka. Aku tahu bahwa pemerintah hanya pemerintah, pemerintah yang tak ubahnya pengemplang upeti, pemerintah tak ubahnya perampok dan teror rakyat yang terstruktur.

Kepalaku terasa panas aku rasakan, badanku terasa gerah, karena mungkin sudah beberapa hari ini tidak mandi. Bau badanku tidak enak. Tubuh seperti tak enak diam. Aku gelisah. Pikiranku terus ke mana-mana. Aku juga dulu pernah jadi aktifis mahasiswa di kampus, menjadi aktifis mahasiswa yang suka demo, dan sampai saat ini pemerintah masih tetap sama perilakunya; berperilaku dajal yang terus memaksa, memeras, membunuh saudaranya sendiri demi kepentingan nafsu birahinya.

Jakarta sudah tidak asing lagi bagiku. Jakarta kota bising dengan mereka saling tuling menuding. Diskusi-diskusi, debat, dan segala macam akrobat politik mereka lakukan untuk bisa menjatuhkan lawan. Kalau makhluk berekor menganggap manusia itu sombong dan keras, aku pikir mereka yang di atas itu yang lebih parah dan lebih ganas dari manusia sekeras kepala batu sekali pun. Para pejabat, para koruptor, mereka tidak akan mau turun ke lapangan untuk merasakan bagaimana keadaan masyarakat yang sedang dibantai dan kelaparan. Rakyat dibiarkan terus dibantai, kelaparan, dan diperbudak makhluk berekor yang belakangan kutahui bahwa mekhluk berekor itu adalah segerombolan dajal—makhluk yang tak pernah mengenal hak hidup manusia dan Tuhan Sang Pencipta.

Di jalan-jalan dari Bandara menuju Hotel Indonesia Jakarta. Lalu lintas tebal dengan debu dan asap dan jalan-jalan licin dengan kereta api. Cerita dari salah satu aparat yang menemani aku ke Jakarta mengatakan dengan rinci tentang kasus pembantaian manusia oleh makhluk berekor masih belum aman. Aku sambil mengusap air mata. Gerah tubuhku memanas.

Kota Jakarta seketika itu hujan. Kabut semakin tebal. Jalan-jalan macet, seperti tempat parkir sepanjang jalan itu. Tapi aku yakin bahwa aku akan sampai juga ke hotel itu, tempat mereka mempersiapkan forum diskusi. Jika diskusi itu penting, maka mereka akan menungguku, pikirku.

Sesampainya di hotel, aku langsung diminta untuk memasuki ruangan. Tidak ada istirahat bagiku, pun mereka tidak menyuruhku untuk istirahat atau sekedar duduk menghilangkan lelah. Kedatanganku ternyata hanya untuk menyampaikan kejadian yang sebenarnya, karena mereka menganggap bahwa aku satu-satunya orang yang selamat tanpa luka. Aku tidak bertanya kenapa mereka tahu bahwa aku selamat dari sergapan makhluk berekor itu. Kubiarkan saja, kubiarkan keadaan mengikuti alur cerita yang akan terjadi.

Kulihat deretan depan dalam ruangan itu adalah pembesar-pembesar pemerintah sedang duduk santai. Suasana sunyi, hanya suaraku terdengar seperti reporter TV di layar kaca. Aku menceritakan kejadian sebelum menimpa kami, tapi tak ada satu pun di antara mereka berkomentar. Mereka hanya mendengarkan penuturanku yang menggebu-gebu.

“Kita akan segera mengamankan mereka sebelum serangan susulan terjadi. Karena waktu yang sudah sore, maka forum diskusi kali ini kita tutup. Selamat bekerja dan melaksanakan tugas,” ucap pemandu forum di ruangan itu.

Tak ada diskusi-diskusi panjang. Kurasakan dalam mimpi itu bahwa ternyata mereka hanya ingin tahu kejadian sebenarnya tanpa mereka terjun langsung ke tempat kejadian. Segera setelah itu, pasukan segera mengamankan para korban yang masih hidup. Tapi yang mati ditinggal di tempat dibiarkan begitu saja tanpa ada proses penguburan.

Lekas setelah itu, aku diantar ke sebuah apartement. Kulihat aparat pemerintah yang mengantarku tadi memesan sebuah unit apartement yang hanya satu kamar. Setelah itu, aparat itu memutuskan untuk kembali lagi ke lokasi kejadian. Roti panggang kecil dan minuman jus apel disiapkan untukku di atas meja di ruang tamu. Iya, seorang pelayan baru saja menaruhnya di meja, namun tanpa berkata apa-apa, selesai meletakkan pesanan, dia pun langsung pergi. Aku lapar sekali.

Seketika itu lampu-lampu unit menyala. Malam mulai tiba. Aku tersenyum ragu-ragu, inginnya segera melahap roti dan jus apel di atas meja. Jangan-jangan roti ini bukan untukku? Tanyaku sendiri. Kalau bukan untukku, lalu untuk siapa lagi? Gumamku.

Kunyalakan TV. Ah, tak ada kabar tentang korban pembantaian. Televisi beralih informasi pada kasus korupsi, pulau-pulau kecil yang telah dijual oleh negara, pembunuhan di tempat-tempat lain, dan penangkapan terhadap aparat yang semena-mena seenaknya sendiri dan tidak menjalankan tugasnya dengan benar. Kerugian negara mencapai triliun rupiah dimakan oleh pembesar-pembesarnya dan aparat-aparatnya yang tak pandai berbagi.

Pembunuhan dan penangkapan kaum koruptor yang sedang ramai diberitakan itu kulihat masih cenderung memihak, tak ada upaya pemberantasan dengan sungguh dan pasti, semua karena korban persaingan politik mencatuhkan lawan dan adu domba.

Kulihat memang berita-berita korupsi di negeri ini hanya sekedar action semata, bahwa “musuh politikku sudah saya amankan dan sudah saya tangkap”. Pemerintah saat ini memang sedang musim anggaran; musimnya para perampok anggaran negara yang dirampok oleh sesama perampok anggaran. Perilaku saling rampok lawan dan kawan politiknya di negara ini memang sedang berkembang biak. Bualan dari masing-masing petinggi negara yang seakan melawan ketidak baikan dan sok berani melawan sesuatu yang dulunya pun pernah dilakukannya juga.

Sejak aku jadi mahasiswa dulu, pola dan gaya semacam ini yang sering diumbar-umbar di layar TV sudah sejak lama ada, namun di era yang semakin bobrok ini perilaku itu semakin menjamur sebagai upaya masing-masing untuk melibatkan dirinya dalam sebuah upaya kebaikan dan upaya masing-masing pejabat melepas jeratan jaring komunikasi perampok, sebab masing-masing di antara mereka sesungguhnya adalah saling mengetahui dan saling terikat satu sama lain. Sementara hutang negara terus dipelihara bahkan semakin melambung tinggi hingga ribuan triliun rupiah oleh petinggi negara yang hanya tahu mengeluh dan menjual aset negara kepada asing.

Ah, aku tidak ingin memikirkan negara, negara sudah ada yang memikirkannya. Tumbuh dan matinya negara adalah di tangan dan di bawah kaki mereka. Aku hanya bagian kecil di antara mereka yang kecil. Dan terlalu kecil kalau orang kecil memikirkan negara. Tapi hati kecilku selalu mengatakan cinta. Aku selalu memberikan semangat. Membangun rumah-rumah kecil untuk menghidupkan negara, hanya saja mereka sering kali meratakannya, penggusuran di mana-mana tanpa mengenal apa-apa, anak-anak kami dibuang dipinggir kali, di pinggir sungai tempat mereka membuang kotoran-kotoran perutnya. Dan keberadaan kami semakin tidak manusiawi.

Kami tak lagi dianggap sebagai manusia yang menghidupkan bangsa sendiri, dikira orang asing yang terus berdatangan yang dianggap orang besar yang mampu membangun negara lebih maju. Tidak. Kamilah negara itu. Kamilah yang membangunnya dari rumah kecil berpagar bambu. Bukankah dulunya negara itu ada karena ada kami? Hanya orang-orang bodoh yang mengatur negara di bawah campur tangan asing. Aku muak dengan pemerintah ini, orang-orangnya culun, bodoh, seperti banci yang hanya mementingkan kepuasan nafsu birahinya sendiri.

Aku tatap jam di dinding itu, kemudian mengisap rokok yang hanya tinggal satu batang. Aku duduk diam menatap asbak, seperti aku menatap negara jauh ke jantung hatinya, lalu kutaruh ke dalam asbak. Kubuang sampah-sampah rokokku ke dalam asbak. Kasihan jadi asbak, hanya jadi pembuangan sampah setelah selesai dimakan habis kekayaannya, pikirku.

Aku kembali dikejutkan saat melihat berita di televisi mengabarkan tentang bunuh diri. Iya, bom bunuh diri di Bandara, Bandara yang aku sendiri baru keluar dari sana. Dua dari pelaku bom bunuh diri diperkirakan orang Yaman, tiga orang Indonesia. Ada lima orang yang tiba-tiba masuk ke lokasi Bandara itu, tutur reporter di lokasi kejadian. Kelima orang itu mendorong bom ke lokasi dengan mengendarai mobil taksi, tiba di Bandara dalam beberapa menit berikutnya. Di temukan mobil taksi itu berhenti di kawasan keluar penumpang Bandara, dan dua orang turun masuk ke dalam, yang tiganya lagi tetap di tempat semula. Keamanan Bandara tak dapat mencegahnya saat mereka mulai mengeluarkan bom yang menempel di tubuhnya. Seketika suara teriakan orang-orang berlarian menuju keluar, dan bom meledak tiba-tiba dengan dahsyadnya, sementara orang-orang yang berlari ke arah keluar juga tidak selamat karena di depan pintu bom sudah disiapkan untuk menghanguskan mereka. Tak ada yang selamat, semuanya hangus.

Di ruangan apartement yang hanya satu kamar itu, kurasakan begitu sangat sepi. Tak ada suara-suara hiburan. Jendela-jendela di apartement tertutup rapat. Tapi di musim hujan ini, orang-orang di luar sana ramai di jalanan mencari tempat berteduh dari hujan. Hujan turun lagi dengan lebatnya.

Pohon-pohon buatan yang telah dihiasi dengan ratusan lampu berwarna di apartement terlihat remang dari jendela, dari saking tebalnya kabut hujan. Aku mencoba berdiri, berjalan ke arah pintu. Kubuka pintu pelan, tapi tak bisa. Pintu terkunci rapat, entah siapa yang menguncinya. Tak ada kunci. Aku tak sadar bahwa pintu ini sebenarnya sudah ditutup sejak aku mulai masuk ke unit apartement ini. Pasti ada yang tidak beres dengan unit yang aku tempati. Aku kembali duduk di sofa tempat aku duduk tadi. Kulihat TV belum ada berita tentang peristiwa pembantaian manusia oleh makhluk berekor. Di mana mereka diungsikan?

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 3: III) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40