Cerpen

Pelacur Negeri (Bagian 3: III) – Novelet Yan Zavin Aundjand

NUSANTARANEWS.CO – Di kamar apartement Jumailah, aku kembali terlelap. Entah kenapa, aku benar-benar merasakan lelah, lelah sekali seperti tidak pernah tidur. Jiwaku masih dalam mimpi; mimpi yang terus memaksaku memasuki dunia yang lain dan aku belum mau kembali sadar mimpi khayal itu.

Iya, aku yang kusadari tadi ada dalam surga, tiba-tiba tempat itu berubah menjadi tanah liat, kering, tapi banyak pepohonan yang masih bertahan hidup di sana. Suasana seperti pagi hari, pagi menjelang fajar. Tanah kering. Daun-daun diam bersembunyi di balik reranting. Kulihat jalan untukku sudah ada. Tapi jalan begitu becek, becek dengan darah asin dan nyinyir. Aku takut. Aku seakan tidak sempat menghitung jalan yang ada belokan ke kanan dan ke kiri. Aku hanya berlari dan berlari kencang lurus kemudian, tanpa menoleh sedikit pun ke belakang.

Ah, orang-orang berekor itu mengejarku yang seakan tidak mampu lagi berjalan. Aku memilih bersembunyi di balik pohon pisang dekat pertigaan jalan yang entah di mana. Aku benar-benar takut tat kala mereka mencoba mendekat ke pohon pisang itu. Untungnya, mereka tidak menemukan aku, pohon pisang itu begitu banyak dan aku bersembunyi di balik lebat pohon-pohon pisang, lalu mereka meneruskan mengejarku ke arah selatan, dianggapnya aku lari ke sana mengikuti jalan.

“Huuuuuh…” kukeluarkan nafas dalam-dalam.

Aku bebas dari kejaran mereka. Aku tahu bahwa aku tidak mungkin bisa melawan, mereka begitu ganas dan kuat. Aku selamat. Namun, aku masih saja khawatir dan takut keluar dari balik pohon-pohon pisang itu. Seketika memang ada banyak kehidupan manusia sebagaimana yang kulihat dalam kehidupan nyata, tapi makhluk-makhluk berekor itu seperti haus darah, dengan buasnya membunuh manusia, merobek tubuh-tubuh manusia dan mencincangnya. Aku ingin kembali ke rumah dan mengabari saudara-saudaraku, tetanggaku, orang tuaku. Namun, aku tetap saja tidak punya keberanian keluar dari tempat persembunyian. Makhluk-makhluk berekor terlalu banyak berkeliaran di jalan-jalan aku lihat. Aku diburu.

Ada keberingasan makhluk berekor ketika itu saat mendengar suara manusia. Fajar, menjelang subuh. Rasanya, kulihat ada banyak rumah penduduk manusia, tapi mereka masih banyak lelap dengan tidurnya. Aku jadi teringat dengan cerita nenekku waktu aku kecil dulu. Konon, makhluk berekor (nenekku menyebutnya makhluk berekor) makan orang, mereka keluar dari dari hutan, bersatu padu dengan suku-suku makhluk berekor yang lain di seluruh hutan itu. Di dalam hutan, ternyata ada enam suku besar makhluk berekor yang tergabung dalam pembantaiannya terhadap suku manusia. Mereka memburu manusia seperti memburu binatang.

Mataku mengecil di balik sela pohon-pohon pisang. Aku lihat dari arah samping jalan, seperti di sana juga ada rumahku, mereka semua dibantai, mereka tak tahu apa-apa karena mereka masih tertidur pulas. Ada juga yang lebih derastis dari itu, mereka memotong-motong anggota tubuh manusia menjadi beberapa bagian. Tidak hanya kepala, tangan, dan kaki, tapi juga isi perut mereka dan alat kemaluannya di pamerkan di sepanjang jalan yang terlihat masih gelap remang. Aku jadi muntah-muntah dibuatnya, “baru kali ini aku melihat orang disiksa dan dibantai.”

Dalam hati aku berdoa, meminta pertolongan kepada sang Maha Pencipta.

Banyak sebab yang membuat makhluk berekor itu melupakan hak manusia hidup di muka bumi yang nyata-nyata dijanjikan Tuhan untuk manusia, baik sebab langsung mau pun tidak langsung. Dari penyebab kelakuan nenek moyang manusia yang tidak senonoh terhadap mereka selaku nenek moyangnya yang pertama. Mungkin saja mereka merasa setelah itu terancam dengan keberadaan manusia yang semberonoh itu, sehingga makhluk-makhluk berekor mengamuk sampai tidak mengenal apa-apa, padahal manusia itu juga keturunannya. Ini yang menjadi alasan mereka, kenapa mereka memburu manusia dibantai dan dimakan seperti hewan.

Iya, aksi makhluk berekor itu merupakan pembalasan terhadap manusia yang menelan banyak korban jiwa ini. Manusia dulu berjanji akan melestarikan dan ikut menjaga tempat mereka, tapi manusia menghancurkannya dengan ambisi dan keserakahan, yang akhirnya mereka tak mau tinggal diam mengawasi gerak-gerik manusia dari alam sana. Jika mereka punya kesempatan, mereka akan membantainya. Dari pembakaran rumah-rumah manusia ditenggelamkan dengan tanah, gunung-gunung seperti diguncang menghancurkan tanah manusia, katanya manusia telah menghancurkan tempat mereka dulu sebelum manusia menempati bumi ini.

Aku tak tahu, kenapa angin pagi itu tak ada. Mereka sibuk mencatat air mata yang jatuh, seperti darah yang juga berjatuhan berceceran di tanah. Udara tak sedap menghimpit langit. Leher-leher anjing busuk terpotong-potong dilihatnya di persimpangan jalan depan aku bersembunyi. Orang-orang meneriakkan tangisannya masing-masing, terdengar seperti sardadu perang padang pasir mau menyerang lawan.

Orang-orang yang hidup pada mengemas cemas, tak ada senjata pada mereka, aku pun juga tak punya. Mereka dilarang bawa senjata tajam. Katanya senjata tajam itu membahayakan orang lain, padahal mereka mau dibantai. Makhluk berekor itu pergi setelah mereka merasa puas. Nafasku mulai lega sekali, seperti aku akan hidup seribu tahun lagi.

Kulihat manusia yang berhasil menyelamatkan diri, bahkan yang luka-luka diungsikan di sebuah tempat yang aku sendiri tak tahu tempatnya. Tempat itu asing bagiku, tak pernah aku jumpai sebelumnya. Tapi anehnya, sebelum mereka sampai di tempat pengungsian, mereka dilarang membawa senjata-senjata tajam tanpa alasan apa pun. Mereka di geledak oleh aparat keamanan dari kalangan manusia itu sendiri, beda dengan aku yang memang tidak punya senjata—katanya mereka yang akan menjaga darah dan nyawa mereka. Keadaan sepertinya tetap kacau, ada penyakit dari bangkai manusia yang tak ditemukan menyerang sebagian mereka yang hidup. Ada luka-luka bacok yang tak mendapatkan pertolongan midis pihak rumah sakit. Ada perut lapar berteriak-teriak minta makan.

Kulihat kemudian ada banyak wartawan pada sibuk dengan kameranya. Mereka tak mungkin akan menolong kami, anggapku, mereka hanya bisa menyampaikan kabar kepada mereka di seluruh tanah air, bahkan ke seluruh dunia akan tahu bahwa kami di sini dibantai oleh makhluk berekor tanpa ampun.

Salah satu aparat keamanan mencari-cari orang. Aku terus memperhatikan salah satu petugas keamanan itu menunjuk orang-orang di didekatku. Mungkin dia kehilangan sesuatu, lalu dia menyangka orang-orang di dekatku itu yang mengambilnya. Aku tidak tahu, dan aku tetap memperhatikan dia, sampai akhirnya dia sampai di depanku.

Aku tidak tahu apa yang dia tanyakan kepada orang-orang di depanku itu, karena suara-suara begitu ramai dengan tangisan, jeritan, ketakutan, kekhawatiran saling bersahutan. Mereka yang di depanku kemudian menunjuk ke arahku semuanya. Entah kenapa. Perasaanku kaget. “Ada masalah apa aparat keamanan memeriksa kami satu-satu? Tanyaku sendiri.

Aku sedikit merasa takut dan waswas ketika aparat keamanan itu mulai mendekat kepadaku. Dia menatapku lama, lalu tersenyum dengan kepala mengangguk. Seperti tak punya urusan lain, padahal mereka butuh pertolongan secepatnya, dan menemukan bau bangkai busuk manusia yang lain.

“Kamu yang bernama Suryadi?” Tanya aparat keamanan itu. Pikiranku bertanya, ada apa? Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Oh, ya. Dia tersenyum berkali-kali.

“Iya, benar. Bapak ada perlu saya?” ucapku.

“Tenang. Tidak ada apa-apa. Aku ada perlu denganmu.”

“Ada perlu apa, ya, Pak?”

“Atasan kami, di Pusat, memintaku untuk membawa salah satu di antara kalian pergi ke Jakarta, di sana ada acara pembukaan agenda publik peringatan mengenang pahlawan di Hotel Indonesia Jakarta, sekaligus dilanjutkan dengan menindak lanjuti peristiwa ini di sana,” papar bapak itu yang kulihat tulisan nama menempel di dada kanannya bernama Nurman.

“Ah, kenapa tidak mereka saja yang ke sini, Pak? Sekalian biar tahu seperti apa keadaan kami di sini,” sanggahku. Suasana dalam mimpi seperti benar-benar nyata. Namun, aku tetap lelap dengan lelahku.

“Ini darurat. Bapak Peresiden tidak ada di Indonesia. Presiden ada tugas negara keluar Negeri. Mereka itu perlu keputusan bersama.”

“Urusan negara yang bagaimana, Pak?”

“Tidak tahu. Ini perintah. Intinya mereka meminta dari antara kalian itu ada yang ke sana. Aku minta… biar kamu saja yang ke sana. Yang lain juga setuju kamu yang berangkat ke Jakarta.”

“Bagaimana aku bisa sampai ke sana?”

“Biar kami yang ngantar.”

“Terus, bagaimana dengan yang lain ini di sini?”

“Saya tidak bisa memberikan keputusan. Kamu sendiri nanti yang akan mendengarkan diskusi pembesar-pembesar pemerintah tentang peristiwa ini.”

Ah, orang sudah mau mati disuruh diskusi.

“Baik,” jawabku kemudia. Kebetulan sekali aku bisa berkumpul dengan bajingan negara. Ini kesempatan bagiku. Tapi sungguh aneh, aneh sekali, orang sudah mau mati mereka masih mau berdiskusi. Bukankah semestinya pemerintah menggerakkan desakan pemberlakuan darurat sipil. Sudahlah, barangkali ini sebuah masalah yang perlu dirumuskan, semacam temuan baru seputar masalah keilmuan, penemuan baru yang membutuhkan diskusi panjang, atau bisa jadi membutuhkan ijtihat ulama bahwa kematian kami itu syahid atau bukan, bahwa kematian kami itu bentuk perjuangan di jalan Allah atau di jalan syaitan.

(Bersambung…. Baca cerita sebelumnya: Pelacur Negeri (Bagian 3: II) – Novelet Yan Zavin Aundjand)

Yan Zavin Aundjand
Yan Zavin Aundjand

*Yan Zavin Aundjand, Sastrawan asal Madura. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Labuk Dhellika (Antologi Puisi), Jejak Tuhan (Novel), Tarian di Ranjang Kyai (Novel), Sejarah Agama-agama Besar Dunia (Sejarah), Pinangan Buat Najwa (Antologi Puisi), Kupu-kupu di Jalan Simpang (Antologi Puisi), Bangkai dan Cerita-cerita Kepulangan (Kumpulan Cerpen), Garuda Matahari (Buku), dll. Mukim di Jakarta.

_____________________________

Bagi rekan-rekan penulis yang ingin berkontribusi karya baik berupa puisi, cerpen, dan esai dapat dikirim langsung ke email: [email protected] atau [email protected].

Related Posts

1 of 40