NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pergerakan Pemuda Merah Putih (PP Merah Putih) mencatat, pada Pemilu 2004, Partai Demokrat menduduki peringkat ke 5 (lima) dengan perolehan suara 7,45 persen. Namun pada Pemilu 2009, SBY mampu ‘menyulap’ Partai Demokrat meraih nilai tinggi 25,39 persen suara, meningkat tiga kali lipat. Hal di atas berbanding terbalik dengan PDI-P yang di saat Jokowi menjadi Presiden, justru PDI-P tersungkur di berbagai daerah strategis dalam Pilkada serentak 2017-2018.
“Menurut hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu Legislatif 2014 KPU, menempatkan PDI-P yang dipimpin Megawati berada pada posisi pertama dengan meraih 23.681.471 suara atau 18,95 persen. PDI-P menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014, sehingga menjadi Parpol utama yang mencapreskan Jokowi dengan segala drama politiknya,” kata Koordinator PP Merah Putih, Wenry Anshory Putra kepada media, sebagai dikutip NUSANTARANEWS.CO, Sabtu (30/6/2018).
Karena, jelas Wenry, bukan rahasia lagi bila pada awalnya Megawati sangat enggan menjadikan Capres yang diusung oleh PDI-P, mengingat Jokowi adalah nama baru yang muncul setelah memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2012.
Namun, lanjutnya, ada hal menarik yang saya ingin sampaikan terkait “Bersama Jokowi, PDIP “Dikadalin” dan Nyungsep” ini: Pertama, pada Selasa, 22 Juli 2014 KPU menetapkan Jokowi sebagai Presiden terpilih Pilpres 2014. Sehingga pada 20 Oktober 2014, Jokowi resmi dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia ke 7 (tujuh). Selang beberapa hari tepatnya pada 26 Oktober 2014, Jokowi yang saat itu telah menjadi Presiden, mengumumkan susunan Kabinetnya yang diberikan nama Kabinet Kerja.
“Anehnya, Jokowi yang diusung oleh PDI-P yang menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014 justru menempatkan kader-kader PDI-P bukan pada Kementerian/Lembaga strategis, misalnya; Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian BUMN, Kementerian Keuangan, Kementerian ESDM, Kementerian Perdagangan, Jaksa Agung, dan Bappenas,” ujar dia.
Namun, kata Wenry, Jokowi memasukkan nama-nama di luar PDI-P untuk menempati kementerian-kementerian strategis tersebut; Sofyan Djalil (Kemenko Perekonomian), Rini Soemarno (Menteri BUMN), Bambang Brodjonegoro (Menteri Keuangan), Sudirman Said (Menteri ESDM), Rachmat Gobel (Menteri Perdagangan), HM Prasetyo (Jaksa Agung), dan Andrinof Chaniago (Kepala Bappenas). PDI-P hanya mendapat jatah Puan Maharani mendapat jatah Menko PMK (Menko PMK), Yasonna Laoly (Menteri Hukum dan HAM), Tjahjo Kumolo (Menteri Dalam Negeri), dan Anak Agung Gede Ngurah Puspayoga (Menteri Kooperasi UKM).
“Hingga beberapa kali melakukan reshuffle Kabinet, kader-kader PDI-P tetap tidak ada yang ditempatkan pada Kementerian/Lembaga strategis,” imbuhnya.
Kedua, sambung Wenry, mengapa pada Pilkada serentak 2017-2018, Cagub/Cawagub yang diusung PDIP di daerah-daerah strategis malah tersungkur? Misalnya; Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Utara, dan Kalimantan Barat.
“Bagi saya ini sangat aneh. Bagaimana bisa PDI-P yang menjadi Parpol pemenang Pemilu 2014 dan mencapreskan Jokowi, justru tersungkur dalam Pilkada serentak tahun 2017-2018? Apalagi pada tahun 2019 akan diadakan Pemilu serentak,” ujarnya.
Wenry pun mempertanyakan, apakah Megawati sebagai Ketua Umum PDI-P tidak merasakan adanya keanehan-keanehan ini? Apakah kader-kader PDI-P yang selama ini berjuang ‘berdarah-darah’ tidak mencium aroma ‘tangan-tangan gelap’ yang bermain secara senyap melumpuhkan PDIP?
Bagi dia, fokus utamanya harus dilihat pada masalah proses penentuan Cagub/Cawagub yang akan diusung. Misalnya pada Pilgub DKI Jakarta yang Cagubnya bermasalah, Jawa Barat yang bermasalah dengan kasus Bakamla, Jawa Tengah yang bermasalah dengan kasus E-KTP, Jawa Timur yang tiba-tiba terjadi pergantian Cawagub ‘di tengah jalan’ yang justru merusak konsolidasi Partai. “Tentu, ini bukanlah sebuah kebetulan, ada semacam pengkondisian keadaan secara by design,” tegasnya.
Ketiga, pihaknya menduga ‘tangan-tangan gelap’ yang bermain secara senyap ini adalah mereka yang memiliki kekuasaan, mereka bertujuan untuk melemahkan PDI-P agar tidak memiliki kekuatan untuk ‘sandera’ Jokowi dalam menentukan Cawapres 2019. Apalagi Megawati berulang kali menyebut Jokowi adalah Petugas Partai, berarti Jokowi harus patuh dan tunduk dengan aturan Partai.
“Bagi ‘tangan-tangan gelap’ yang bermain secara senyap tersebut, bila PDI-P sukses Pilkada serentak tahun 2017-2018, bisa saja ‘mengganggu’ Cawapres yang mereka telah persiapkan,” hematnya.
Menurut dia, Jokowi yang diharapkan mampu mendongkrak suara Cagub/Cawagub PDI-P pada Pilkada serentak 2017-2018, malah justru tidak mampu mendongkrak. Maka, muncul pertanyaan krusial, sebenarnya Jokowi ini kadernya siapa? Kader murni PDI-P atau kader pihak lain yang menumpang di PDI-P?
“Jika PDI-P tidak peka dan takut merubah haluan politik, maka tidak menutup kemungkinan operasi senyap oleh tangan tangan gelap kekuasaan akan melumpuhkan PDIP pada Pileg 2019. PDIP bisa saja ambruk menjadi Partai menengah,” tandasnya.
Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.