Hukum

PBNU Memujji PP 43/2018 Soal Hadiah Bagi Pengungkap Korupsi

Ketua Panitia Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (NU) 2017, Robikin Emhas. Foto: Dok. NusantaraNews/ Achmad S
Ketua PBNU Bidang Hukum, HAM dan Perundang-Undangan, Robikin Emhas. (Foto: Dok. NusantaraNews/ Achmad S)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Ketua PBNU bidang hukum, ham dan perundang-undangan, Robikin Emhas menyatakan, seperti dimaklumi, Pemerintah telah menerbitkan PP 43/2018. Isi PP tersebut antara lain mengatur peran serta masyarakat dalam mengungkap kasus korupsi.

Menurut Robikin, dalam PP yang diundangkan tanggal 18 September 2018 tersebut ditentukan, pemerintah akan memberi reward berupa uang bagi pelapor perkara korupsi yang menyertakan informasi valid beserta alat buktinya dan memberi perlindungan hukum terhadap pelapor.

Baca Juga:

PP 43/2018 itu sendiri, urai Robikin, merupakan pelaksanaan mandat dari ketentuan Pasal 41 ayat (5) dan Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca Juga:  Politisi Asal Sumenep, MH. Said Abdullah, Ungguli Kekayaan Presiden Jokowi: Analisis LHKPN 2022 dan Prestasi Politik Terkini

“Terbitnya PP ini merupakan angin segar bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Ini membuktikan pemerintahan Jokowi memiliki komitmen kuat untuk melakukan pemberantasan korupsi. Sesuatu yang patut dipuji,” ujar Robikin melalui keterangan resmi, Jakarta, Rabu (10/10/2018).

Dengan lahirnya PP 43/2018, lanjutnya, diharapkan masyarakat tidak ragu untuk berperan aktif mengungkapkan kasus korupsi yang hingga kini masih dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) ini.

“Mengapa? Karena korupsi merusak perekonomian bangsa dan negara. Korupsi merusak sendi-sendi keadaban suatu bangsa. Korupsi menyengsarakan warga. Korupsi melemahkan daya saing negara,” katanya.

Sungguh pun demikian, kata dia, pengungkapan kasus korupsi harus dilakukan sesuatu ketentuan peraturan perundang-undangan yang belaku. “Yakni, diungkapkan dan disampaikan kepada aparat penegak hukum yang diberi kewenangan untuk itu,” ujarnya.

Kendati demikian, kata dia lagi, tidak boleh atas nama peran serta masyarakat dalam memberantas korupsi lalu secara serampangan mengungkap kasus korupsi di laman sosial media atau di wilayah publik lainnya. Karena betapa pun seseorang yakin dengan informasi dan alat bukti yang dimiliki, masih perlu diklarifikasi lebih kanjut oleh penyelidik atau penyidik.

Baca Juga:  Korban Soegiharto Sebut Terdakwa Rudy D. Muliadi Bohongi Majelis Hakim dan JPU

“Pengungkapan kasus korupsi secara serampangan dapat berdampak buruk bagi seseorang dan keluarga yang belum tentu bersalah,” hematnya.

“Meskipun korupsi merupakan extraordinary crime, hindarkan kemungkinan terjadinya trial by the press. Karena dalam negara yang beradab, praduga tak bersalah (presumption of innocence) dalam penegakan hukum (law enforcement) harus tetap dijunjung tinggi,” tandas Robikin.

Pewarta: M. Yahya Suprabana
Editor: Achmad S.

Related Posts

1 of 3,226