Terbaru

PBNU Berharap Presiden Jokowi Angkat Menteri Urusan Pesantren

NusantaraNews.co, Lombok – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA menegaskan bahwa PBNU mengapresiasi Presiden RI Joko Widodo yang membatalkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 23 Tahun 2017 yang mengatur waktu sekolah 5 hari dalam seminggu atau 8 jam dalam sehari dengan Peraturan Presiden (Perpres)No. 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

“Ini menunjukkan Presiden Jokowi dan Pemerintah peduli terhadap nasib serta masa depan Pesantren dan Madrasah Diniyah yang telah terbukti mencetak kader-kader santri nasionalis,” kata Kiai Said dalam pidato pembukaan pada Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama Tahun 2017 (Munas Alim Ulama dan Konbes NU 2017), Lombok, Jumat, 23 November 2017.

Kaitannya dengan pesantren yang selama ini nampak kurang mendapat perhatian dari pemerintah, Ketum PBNU berharap Presiden Jokowi berkenan untuk lebih peduli terhadap pesantren dan santri.

“Alangkah berbahaginya jika Presiden berkenan mengangkat Menteri urusan pesantren dan bersama Dewan Perwakilam Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengesahkan RancanganUndang-Undang (RUU) Pesantren dan Lembaga Pendidikan Keagamaan,” ungkap Kiai Said menambahkan.

Baca Juga:  LSN Effect di Pemilu 2024, Prabowo-Gibran dan Gerindra Jadi Jawara di Jawa Timur

Dalam kesempatan yang sama, Kiai Said juga sampaikan bahwa PBNU mengapresiasi Presiden Jokowi yang mengakui jasa dan saham santri dalam berdiri dan tegaknya NKRI dengan menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri.

“Santri dan pesantren telah terbukti dan teruji dalam perjuangan nasional dengan mengusung slogan Hubbul Wathan minal Iman (nasionalisme bagian dari iman),” tegasnya.

Menurut Kiai Said, sebelum menggelorakan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, kaum santri telah menetapkan Nusantara sebagai Dârus Salâmpada tahun 1936, yang mendasari legitimasi fikih bagi berdirinya NKRI berdasarkan Pancasila pada 1945. Pada 1953, kaum santri menggelari Presiden Indonesia sebagai Waliyyul Amri ad-Dlarûri bis Syaukah, pemimpin sah yang harus ditaati, karena itu pemberontakan DI/TII berarti bughat yang harus diperangi. Tahun 1965, kaum santri berdiri di garda depan menghadapi rongrongan ideologi komunisme.
“Tahun 1983/84, kaum santri memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa-bernegara dan menyatakan NKRI final sebagai konsensus nasional (mu’âhadah wathaniyyah),” ungkapnya.

Baca Juga:  Prabowo-Gibran Menang Telak di Jawa Timur, Gus Fawait: Partisipasi Milenial di Pemilu Melonjak

Untuk diketahui, Munas Alim Ulam dan Konbes NU 2017 di NTB kali ini membahas sejumlah masalah penting yang diklasifikasi dalam 3 (tiga) bagian: Masâil Wâ qi’iyah (mencakup masalah penggunaan frekuensi publik, investasi dana haji, izin usaha bepotensi mafsadah, melontar jumrah ayyamut tasyriq qablal fajri, status anak dan hak anak lahir di luar perkawinan); Masâil Maudlûiyah (mencakup konsep fiqh penyandang disabilitas, konsep taqrîr jamâ’i, konsep ilhâqul masâil bi nazhâirihâ, ujaran kebencian (hate speech), konsep amil dalam negara modern menurut pandangan fiqh, dan konsep distribusi lahan/aset;sertaMasûil DîniyahQanûniyah(mencakup RUULembaga Pendidikan Keagamaan dan Pesantren, Regulasi Penggunaan Frekuensi, RUU Komunikasi Publik, RUUKUHP, RUUEtika Penyelenggara Negara, Regulasi tentang Penguasaan Lahan, RUULarangan Minuman Beralkohol, dan RUUAnti Terorisme).

Pewarta/Editor: Achmad Sulaiman

Related Posts

1 of 83