HankamMancanegara

Pasca Deklarasi Panmunjeon Dua Korea, Kompetisi di Asia Pasifik Dinilai Masih Terus Membara

Pasca Deklarasi Panmunjeon Dua Korea, Kompetisi di Asia Pasifik Dinilai Masih Terus Membara
Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in meneken Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran dan Unifikasi Semenanjung Korea pada pertemuan puncak keduanya yang digelar di Gedung Perdamaian, Zona Demiliterisasi, Panmunjom, Korea Selatan, Jumat (27/4). (Foto: Getty)

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Pertemuan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in di Panmunjeon, Jumat (27/4) lalu telah menyita perhatian dunia terkait hubungan diplomatik yang mulai mencair antar kedua negara korea. Sejak perjanjian gencatan senjata 1953, dua negara tetangga diketahui masih terlibat permusuhan dan peperangan. Deklarasi Panmunjom pun tercipta di DMZ.

Namun, usai berkali-kali gagal mencapai kesepakatan diplomatik, akhirnya Kim dan Moon meneken Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Kemakmuran dan Unifikasi Semenanjung Korea pada pertemuan puncak keduanya yang digelar di Gedung Perdamaian, Zona Demiliterisasi, Panmunjom, Korea Selatan, Jumat (27/4).

Meski Deklarasi Panmunjeon, analis militer Susaningtyas Kertopati menilai perlu dicermati dua skenario yang paling menonjol dari perjanjian tersebut.

Baca juga: Evita: Denuklirisasi Semenanjung Korea Perlu Kerja Keras, Kesungguhan dan Trust

Pertama, skenario moderat untuk dunia global yaitu meredanya ketegangan Amerika Serikat versus Korea Utara menyusul pertemuan Donald Trump dan Kim Jong Un beberapa waktu mendatang. Korea Utara membuka pintu IAEA untuk membuktikan janji denuklirisasi sekaligus membangun kepercayaan.

Baca Juga:  Keingingan Zelensky Meperoleh Rudal Patriot Sebagai Pengubah Permainan Berikutnya?

“Jika Korea Utara benar-benar menepati Deklarasi Panmunjeon, maka kompetisi di Asia Pasifik tinggal fokus menghadapi Cina di Laut Cina Timur dan Laut Cina Selatan. Kedua Korea dan Jepang dapat menjadi sekutu baru bagi Amerika Serikat,” katanya melalui pesan singkat, Jakarta, Senin (30/4/2018).

Kedua, skenario ambiguitas, di mana Korea Utara tidak sepenuhnya menepati Deklarasi Panmunjeon akibat pengaruh baru Rusia. Perseteruan Korea Utara verssus Amerika Serikat memasuki tahapan yang belum terbayangkan sebelumnya.

“Korea Utara tetap menjadi boneka Rusia menghadapi hegemoni Amerika Serikat di Pasifik Barat. Justru kekuatan Rusia bergeser ke pangkalan di Vladivostok memberi tekanan baru ke Korea Utara,” ungkapnya.

Menurutnya, kedua skenario dapat diuji dalam dua bulan pertama mengingat perang dagang Cina versus Amerika Serikat memasuki babakan baru yang lebih serius. Tekanan dolar terhadap yuan minggu lalu sedikit banyak mempengaruhi stabilitas rupiah. Pemerintah harus mewaspadai kemungkian pengalihan perhatian yang tertuju kepada Deklarasi Panmunjeon ketimbang perang dagang Cina versus Amerika Serikat.

Baca Juga:  Rezim Kiev Wajibkan Tentara Terus Berperang

“Bila kita cermati kawasan maka ada 3 hal penting yang harus dikawal pasca Deklarasi Panmunjeon soal Perdamaian, Kesejahteraan dan Unifikasi di Semenanjung Korea ini yaitu denuklirisasi, trust building (membangun kepercayaan) dan humanitarian supports (dukungan humanitarian),” paparnya.

Bagi Indonesia, kata dia, harus lebih memperkuat basis pertahanan di bawah kerangka Asean Political-Security Community sekaligus menjalin kerjasama militer dengan negara yang jelas-jelas memiliki senjata nuklir dan memiliki hubungan emosional yang erat berlatar belakang sejarah.

“Mencegah Indonesia sebagai medan pertempuran hegemoni Amerika dan hegemoni Cina dalam perspektif perang ekonomi. Indonesia merupakan arena kompetisi kedua negara untuk memperkokoh pengaruh mereka di kawasan Asia Tenggara,” pungkasnya. (red)

Editor: Eriec Dieda

Related Posts

1 of 3,076