OpiniPolitik

Partai Baru, Gagasan, Pemilik Modal dan “Politics as Usual” (Bag. I)

NUSANTARANEWS.CO – Wartawan bertanya pada saya tentang dua fenomena pada partai baru, kasus PSI (Partai Solidaritas Indonesia). Pertama, bagaimana memahami mengapa partai (PSI) yang menggembar gemborkan memperjuangkan anti korupsi, tapi menjadikan tokoh yang pernah dicekal KPK pada posisi sangat penting: Sekretaris Dewan Pembina: Sunny Tanuwijaya?

Kedua, bagaimana memahami mengapa partai yang menggembar gemborkan perjuangan pemerintahan yang transparan, tapi tidak transparan mengumumkan siapa saja pengurus partai itu yang sebenarnya di laman resmi, apalagi untuk posisi yang powerful (Ketua Dewan Pembina dan Sekretaris Dewan Pembina)?

Menjawab dua pertanyaan itu, kita menyelami sisi pahit realitas politik. Membangun partai di masa kini memerlukan tak hanya gagasan, tapi juga modal besar. Tak hanya ide, tapi juga dana bejibun. Yesss! It is the Big Money!

Penjelasan atas dua pertanyaan ini bisa dilacak melalui apa yang dulu dipopulerkan oleh film “All the President Men“: Follow the money. Lacak saja aliran dana partai ini.

Baca Juga:  Anton Charliyan: Penganugrahan Kenaikan Pangkat Kehormatan kepada Prabowo Subianto Sudah Sah Sesuai Ketentuan Per UU an

Kita membela prinsip, semua warga negara berhak atas posisi politik secara equal. Itu prinsip Hak asasi manusia. Ini prinsip konstitusi. Yang kita analisa hanya mengapa tokoh ini di posisi itu.

Mengapa harus Sunny? Mengapa tokoh yang pernah dicekal KPK tetap dipilih diletakkan dalam posisi sepenting itu untuk partai yang memperjuangkan korupsi? Karena ini partai yang mengklaim perjuangan anti korupsi, mengapa bukan tokoh yang punya rekor perjuangan anti korupsi yang di sana?

Sunny bukan ikon pejuang anti korupsi. Dicari dalam rekornya, bulak balik dari pagi sampai sore, tak akan kita jumpa rekor Sunny memperjuangkan pemerintahan yang bersih. Yang ada justru sebaliknya. Ia pernah dicekal KPK.

Diletakkannya Sunny di sana apa iya seperti yang kini diberitakan oleh tokoh partai itu sendiri? Bahwa itu hasil dari pansel independen? Bahwa Sunny seorang peneliti ilmu sosial?

Jika penjelasan peristiwa politik dipahami dalam kerangka “sinerji antara gagasan dan kepentingan modal,” lebih masuk akal penjelasan ini. Dipaksakannya Sunny dalam posisi sepenting itu karena keperluan modal besar. Sunny dikenal dekat dengan pemilik modal besar negeri ini.

Baca Juga:  Pleno Perolehan Suara Caleg DPRD Kabupaten Nunukan, Ini Nama Yang Lolos Menempati Kursi Dewan

Media online sudah banyak menjelaskan jaringan bisnis di seputar Sunny. Umumnya mereka memang dikenal sebagai pemilik Big Money. Tak ada yang salah sampai titik ini. Problem semata mata karena Sunny pernah luas diberitakan media, ia pernah dicekal KPK. Keperluan modal besar yang membuat partai mengambil resiko meletakkan Sunny, yang pernah dicekal KPK, dalam posisi sepenting Sekretaris Dewan Pembina.

Petinggi partai sepenuhnya sadar. Nama Sunny, juga nama Jeffry Geovani, tak bisa dijual sebagai pengharum partai. Sunny pernah dicekal KPK. Sementara Jeffry tak pernah betah lama di satu partai. Jeffry sering meloncat. Ia pernah di PAN. Lalu ke Golkar. Kemudian ke Nasdem. Lalu keluar lagi.

Itu pula yang dapat menjelaskan. Mengapa dua tokoh ini seolah “disembunyikan.” Mereka berdua sangat menentukan, dapat posisi sangat penting sebagai ketua Dewan Pembina dan Sekretaris Dewan Pembina. Tapi nama mereka tidak dicantumkan dalam laman resmi PSI.

Ketika partai lain terbuka menuliskan seluruh pengurus penting di laman resmi, apalagi posisi ketua dan sekretaris Dewan Pembina, PSI tak menyertakan nama mereka berdua.

Baca Juga:  Bukan Emil Dardak, Sarmuji Beber Kader Internal Layak Digandeng Khofifah di Pilgub

Jika pengurus PSI yakin nama dua tokoh ini harum di mata voters dan publik luas, pastilah sedini mungkin dua tokoh ini sudah digelumbungkan sebagai ikon partai. PSI melakukan itu, marketing tokoh, ketika ia merekrut penyanyi Giring Niji misalnya.

Itulah yang disebut politics as usual. Untuk tokoh yang diyakini membawa harum, menarik pendukung, ia akan dimarketingkan. Sebaliknya, untuk tokoh yang mungkin negatif, ia tak akan ditonjolkan. “Tak ditonjolkan” itu kata yang lebih halus dibanding disembunyikan.

Dari zaman kuda gigit besi hingga kuda gigit handphone, hukum besi itu berlaku. Suka ataupun tidak. Terlepas dari retorika pembelaannya, ya itulah politics as usual: marketingkan tokoh yang harum. Sembunyikan tokoh yang “bermasalah.” (bersambung)

*Denny JA, Konsultan Politik sekaligus Direktur LSI 

Related Posts

1 of 21