Opini

Paradoks Regulasi Susi Pudjiastuti, Kesulitan Nelayan Lobster dan Kekacauan Sosial

Oleh: Rusdianto Samawa*

NUSANTARANEWS.CO – Menurut pengamat hukum dari Universitas Mataram Muhammad Nasir (2015) menilai bahwa larangan menangkap benih lobster ukuran tertentu yang dikeluarkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, menimbulkan “Kriminogen” atau suatu faktor yang menyebabkan munculnya tindak pidana baru.

Istilah Kriminogen ini sama halnya dengan Kriminalitas. Perbuatan atau tindakan kriminalitas dalam pengertian penyebab terjadinya kriminalitas baik melalui regulasi maupun bertindak sendiri.

Ada banyak regulasi Susi Pudjiastuti yang menimbulkan kekacauan sosial dan keresahan ditengah masyarakat yang kian santer. Regulasi KKP RI menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 1/Permen-KP/2015, tentang Penangkapan Lobster, Kepiting dan Rajungan, merupakan bagian dari penghianatan terhadap hak-hak nelayan.

Di dalam pasal 3 Permen-KP tersebut dijelaskan bahwa penangkapan lobster, kepiting dan rajungan dapat dilakukan dengan ukuran yang disetujui, yakni panjang karapas lebih dari delapan centimeter untuk lobster, kepiting lebar karapas lebih dari 15 centimeter, dan rajungan dengan ukuran karapas lebih dari 10 centimeter.

Baca Juga:  Apakah Orban Benar tentang Kegagalan UE yang Tiada Henti?

Regulasi ini menyulitkan rakyat dan nelayan Lobster. Selain itu, kepolisian yang terus menangkap nelayan Lobster dan menakut-nakutinya. Padahal, nelayan menangkap Lobster bukan dalam konteks kriminalitas. Justru Peraturan Menteri Susi Pudjiastuti penyebab kriminalitas yang terjadi, seperti di desa-desa pemuda yang selama ini menangkap Lobster, kini mereka kembali menjadi perampok, pencurian, penodongan, penjambretan dan lain sebagainya.

Menurut Muhammad Nasir (2015), Menteri KP harus mengkaji ulang aturan yang dikeluarkannya karena belum menyosialisasikan kepada masyarakat secara menyeluruh. Mestinya jangan dulu menerapkan aturan. Lakukan sosialisasi, mana keuntungan, mana kerugian, mana kelemahan dan mana keuntungan dari aturan. Sebagian masyarakat pesisir di selatan Pulau Lombok selama ini hidup dari benih lobster, namun tiba-tiba dilarang melakukan penangkapan disertai larangan ekspor. Maka sudah jelas menyebabkan pengangguran dan kemiskinan.

Sebelum menerapkan aturan, semestinya KKP mendengar suara nelayan. Namun, Susi Pudjiastuti sangat monolog komunikasinya (satu arah). padahal prinsipnta pemerintah itu melayani dan mensejahterakan rakyat.

Baca Juga:  Presiden Resmi Jadikan Dewan Pers Sebagai Regulator

Selain itu, Kriminalitas yang ditimbulkan Susi Pudjiastuti sudah sangat besar dan melanggar pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 itu sendiri bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Oleh sebab itu, Susi Pudjiastuti telah berhasil meningkatkan potensi kriminalitas baru di wilayah Lombok bagian selatan. Kondusifitas daerah selatan Lombok, sangat tergantung pada situasi. Jika kebiasan masyarakat terganggu, potensi konflik sangat tinggi. Tinggal tunggu pemicu jadi. Nah apakah itu yang ingin dilakukan pemerintah dan KKP.

Dalam mengeluarkan aturan, semestinya Menteri KP memahami budaya masyarakat, karena kultur budaya masyarakat di Lombok bagian selatan dengan di pulau lain berbeda. Terlebih, kantong kemiskinan terbesar di NTB, berada di kawasan pesisir, selain di pinggir kawasan hutan. Copot Susi Pudjiastuti dari Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia karena telah menyebabkan kemiskinan, penganggguran, kriminalitas dan prilaku pencurian yang tinggi.[]

Baca Juga:  Catatan Kritis terhadap Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024

*Penulis adalah Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)

Related Posts

1 of 12