Politik

Para Pemimpin Tindas Umat Islam, Pancasila Mulai Terusik

lukisan Yakubsuketilalang
lukisan Yakubsuketilalang

NUSANTARANEWS.CO, Jakarta – Aktivis kemanusiaan Natalius Pigai menilai Pancasila sebagai landas pijak bangsa atau norma dasar mulai terusik.

Tuhan mulai dipertentangkan antara sentrum utama kekuasaan dan sumber moral, kemanusiaan terasa tidak beradab dan tidak adil, persatuan terkungkung dalam polarisasi SARA, permusyawaratan dimonopoli komunitas mayoritas berlindung di dalil dan jargon one men, one vote, dan one value di negeri yang penduduknya tidak seimbang, keadilan yang kontradiktif tanpa disertai distribusi kekuasaan yang merata (no distribution of justice without distribution of power).

“Kita patut mempertanyakan, di mana posisi dan keberadaan bagi komunitas agama dan sosial di negeri ini? Mengapa para pemimpin menindas perlawanan umat Islam yang menentang penetrasi politik dan ekonomi dianggap sebagai kaum perusak bangsa?,” ucap Pigai, Jakarta, Jumat (31/8/2018).

Menurut Pigai, sesungguhnya pemimpin negeri mesti empati ketika sekelompok rakyat dengan defile dan berparade menampilkan dengan simbol dan panji-panji kekuatan muncul berjuang menegakan keyakinan agamanya, namun pemimpin di Bizantium tutup mata, hati dan pintu.

Baca Juga:  Aliansi Pro Demokrasi Ponorogo Tolak Hak Angket Pemilu 2024

“Mereka berlagak ibarat novel Mangunwijaya ikan ikan hiu, ido oma; Novel trilogi perjuangan di perairan Ambon dan Laut Bandanaira, budak belian di kekuasaan imperium Belanda,” sebutnya.

Mantan komisioner Komnas HAM ini menguraikan negara memang memiliki kewajiban untuk memastikan adanya jaminan kehidupan dan perlindungan bagi semua warga negara, negara memiliki daya paksa untuk taat dan tunduk pada simbol-simbol negara bangsa, negara memiliki kewajiban untuk memastikan hukum berjalan tanpa diskriminasi, juga negara memiliki kewajiban untuk mewujudkan kepastian hidup seluruh rakyat secara adil dan merata.

“Perilaku arogan yang dipertontonkan oleh pemimpin negeri ini seperti Megawati dan Sukmawati dengan mengkultuskan diri sebagai pemilik negara adalah absurd, arogan, kronisme dan cenderung primordialisme. Namun harus diingat bahwa bangsa ini tidak pernah diperjuangkan oleh kelompok, satu orang, satu suku dan agama,” urainya.

“Laksamana Malahyati berjuang di Aceh, Sisingamangaraja di tanah Batak, pangeran Diponegoro di Jawa Tengah, Hasanudin di Makasar, Patimura di Ambon, demikian pula ada 7 Pahlawan keturunan China, ada Baswedan dari keturunan Arab, pahlawan beragama Katolik dari Jawa Tengah, Slamet Riyadi, Adi Sutjipto, Adi Sumarmo, Yos Sudarso, I.J. Kasimo dan lain-lain, yang merintis kemerdekaan ini semua suku bangsa dan agama,” ungkap Pigai. (eda/edd/nvh/anm)

Baca Juga:  DPRD Nunukan Gelar Paripurna Laporan LKPJ Bupati TA 2023

Editor: Alya Karen & Novi Hildani

Related Posts

1 of 3,092