NUSANTARANEWS.CO – Pendaki lain yang kami jumpai sepanjang jalur pendakian mulai memadati Ranu Kumbolo. Biasanya para pendaki akan menginap terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendakian ke Kalimati. Tapi kami sepakat untuk tetap melanjutkan pendakian ke Kalimati sore itu juga.
Sebenarnya pendakian malam hari melewati hutan Cemoro Kandang tentu tidak dibolehkan. Kami tidak bermaksud menghiraukan peringatan. Kami berniat baik, dan tentunya kami ditemani mas Qirun salah satu tim SAR Malang. Jadilah sekitar pukul 05.00 petang perjalanan kami mulai kembali melewati Tanjakan Cinta, Oro-oro Ombo, dan Cemoro Kandang.
Kisah sebelumnya: Kisah Traveler di Tanah Para Dewa Semeru
Mendaki malam hari bukan pertama kali bagi saya. Bahkan saya selalu suka mendaki dan mencium keringat hutan di malam hari. Biasanya jalur pedakian juga ramai di malam hari. Tapi tidak di Semeru.
Perndakian malam menuju Kalimati tentu tak dihimbau, sebab masih banyak Macan tutul yang berkeliaran dan ini jelas berbahaya. Saya merasakan perjalanan yang luar biasa, memantapkan diri di tengah kesunyian malam antara rasa was-was dan senang. Sebab saya selalu suka kesunyian malam.
Tidak ada pendaki lain selain kami berempat. Kami berjalan dengan lirihan do’a yang tak pernah putus tentunya. Sesampainya di Jambangan, kaki saya semakin payah, dengan tertatih perjalanan tetap saya lalui ditemani padang bulan dan angin genit malam gunung Semeru yang tak segan-segan membekukan gemertak tulang kami.
Hampir putus asa, saya merasakannya. Lutut sudah tak bisa lagi digerakkan, namun semagat selalu menggebu. Dengan payah akhirnya sekitar pukul 21.00 tibalah kami di Kali Mati, pos terakhir pendirian tenda. Kami segera beristirahat sebab pukul 12.00 malam kami akan melakukan summit ke puncak Mahameru.
Lutut yang sudah sulit untuk digerakkan membuat saya berpikir ulang untuk tidak melanjutkan pendakian. Namun teman-teman menyemangati dan siap menemani saya agar sampai ke puncak para Dewa. Tepat pukul 01.00 dini hari kami sudah bersiap-siap untuk memulai summit. Kembali kami menuturkan doa, memohon keselamatan.
Apa yang saya takutkan terjadi. Belum terlalu jauh dari kalimati lutut sudah semakin nyeri, jadilah saya berjalan tertatih-tatih. Awalnya saya hendak kembali ke Kali Mati. Namun lagi-lagi mas Qirun menyemangati “sebentar lagi” dia meyakinkan.
Disisa-sisa tenaga, saya sudah menapkkan kaki di pasirnya Mahameru, semakin payah tentunya. Dalam gelap malam air mata pun bercucuran menahan sakit tentunya. Tak terasa hampir setengah badan puncak Semeru, rasa sakit semakin membara semangatpun kian menurun.
Saya terhenti, menarik nafas panjang, dan akhirnya ditemani buliran air mata saya memutuskan kembali turun dan tak lama saya terkapar di tanah para Dewa, Semeru. Mas Qirun dan dua teman saya lainnya sepakat untuk menemani saya kembali turun. Sungguh perasaan yang bercampur aduk, tak henti-hentinya air mata ini mengalir.
Tak apalah tak menjejak di puncak Mahameru, pendakian bukan prihal puncak sebab kembali pulang dengan selamat adalah tujuan utamanya. Malam itu saya terkapar.
Pendakian panjang menguras banyak energi, menguji kemampuan diri, melampaui batas kemampuan, dan mempererat persahabatan. Bagi saya pendakian kali ini bukanlah kegagalan, tidak ada kegagalan dalam pendakian. Untuk keluar dari kebiasaan-kebiasaan, mencoba hal-hal baru, memutuskan keputusan, melawan ketakutan adalah cara saya mensyukuri perjalanan. Bukankah perjalanan dan pelajaran itu begitu dekat. (Gunung Semeru, Jumat, 5 Agustus 2016)
*Acik, Perempuan penyuka rembulan, senja, kabut, dan kopi. Penyanjung kesunyian, selalu senang dengan budaya dan ritual adat. Lahir di Pangkalpinang, 16 Oktober 1992. Email: jannah_brigth@yahoo.com